Seabad Lebih Setelah Kartini Gagas Emansipasi Perempuan, Kesetaraan Gender Masih Jadi PR
Salah satu pahlawan perempuan Indonesia, Raden Adjeng Kartini telah menginisiasi gerakan emansipasi perempuan lewat pendidikan lebih dari seabad lalu. Lewat pemikirannya yang tertuang dalam tulisan-tulisan, Kartini dan saudara-saudaranya berupaya mendobrak budaya patriarki yang menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua.
Seiring dengan muncul dan berkembangnya berbagai organisasi yang membela kepentingan perempuan, masyarakat Indonesia saat ini sudah mulai merasakan manfaat gerakan emansipasi. Namun, ini bukan berarti gerakan emansipasi dan kesetaraan gender di Indonesia sudah seratus persen berhasil.
Baca juga: Nama Pahlawan Perempuan dari Jawa Tengah yang Perlu Kalian Ketahui
Capaian Kemajuan Berkat Gerakan Emansipasi Perempuan
Meningkatnya taraf pendidikan perempuan telah membuka akses kepada perbaikan hidup sekaligus menjamin kontribusi mereka terhadap pembangunan negara. Hal ini dapat kita lihat dalam tiga hal.
Pertama, perempuan Indonesia telah mendapat hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya. Data menunjukkan bahwa angka partisipasi murni perempuan dalam pendidikan tinggi melebihi laki-laki.
Artinya, perempuan telah mendapatkan akses pendidikan yang setara dengan laki-laki, yang berdampak pada peningkatan kontribusi perempuan dalam berbagai bidang. Misalnya, saat ini ibu yang akan melahirkan dapat memilih apakah dokter yang membantunya laki-laki atau perempuan karena jumlah tenaga medis perempuan semakin meningkat.
Kedua, representasi perempuan dalam bidang politik meningkat dan mampu menghadirkan berbagai kebijakan negara yang pro perempuan. Sebagai wakil kaumnya, perempuan lebih mengerti kebutuhan mereka.
Meskipun masih perlu ditingkatkan, pengarusutamaan gender dapat mendorong kebijakan pro perempuan. Beberapa contoh kebijakan tersebut ialah kredit usaha yang ramah perempuan atau jaminan kesehatan universal yang dapat mengurangi tingkat kematian bayi dan ibu melahirkan.
Ketiga, keterlibatan perempuan dalam bidang ekonomi meningkat. Saat ini, perempuan Indonesia sudah dapat memilih untuk bekerja di sektor yang dikehendakinya meski masih harus berhadapan dengan aneka hambatan di dalamnya. Bergabungnya perempuan pada angkatan kerja bukan hanya membantu mereka menjadi lebih mandiri secara finansial, tetapi juga meningkatkan martabat diri.
Akses terhadap pendidikan telah mampu membuka pilihan lebih banyak bagi perempuan dalam menentukan nasibnya. Sebagian dari perempuan ini mampu meningkatkan jenjang karier hingga pucuk pimpinan tertinggi.
Dalam bidang bisnis, laporan Grant Thornton menyebutkan bahwa perempuan Indonesia dengan jabatan senior menempati proporsi cukup tinggi. Hal ini menunjukkan semakin banyak perempuan Indonesia yang mampu menunjukkan kapabilitasnya untuk memimpin sebuah organisasi, wilayah, bahkan negara.
Masih Banyak Hambatan Setelah Gerakan Emansipasi Perempuan Dimulai
Walau sudah banyak kemajuan, saat ini perempuan masih mengalami berbagai tantangan terkait peran mereka. Hal ini bisa dilihat dalam kacamata konstruksi sosial terhadap femininitas (keperempuanan).
Masyarakat menyematkan karakteristik femininitas tertentu sebagai tuntunan segala tindakan perempuan, mulai dari cara berpakaian, berbicara, dan bertindak. Ada pula ekspektasi bahwa perempuan harus bertindak secara feminin, yaitu menunjukkan sifat penyayang, lemah lembut, dan halus.
Harapan masyarakat atas femininitas tidak sama dengan bagaimana masing-masing perempuan menampilkan diri mereka. Tidak semua perempuan memiliki sifat-sifat yang identik dengan femininitas. Akibatnya, perempuan yang dianggap menyimpang dari harapan ini akan mendapatkan sanksi sosial.
Misalnya, perempuan yang dianggap tidak berpakaian sesuai dengan ekspektasi masyarakat akan cenderung mendapat stigma negatif dibandingkan dengan laki-laki karena perempuan dinilai dari tubuhnya sementara laki-laki dari isi kepalanya.
Contoh hambatan lain adalah perempuan yang berkiprah di ranah publik masih dibebani dengan tanggung jawab yang tidak seimbang. Riset menunjukkan bahwa dalam pasangan yang sama-sama bekerja, tanggung jawab rumah tangga masih dibebankan kepada perempuan secara tidak proporsional .
Penyebabnya adalah karena perempuan identik dengan femininitas yang diasosiasikan dengan kegiatan merawat, misalnya membesarkan anak. Sementara, laki-laki identik dengan maskulinitas yang diasosiasikan dengan kegiatan yang membutuhkan ketegasan, misalnya menjadi pemimpin. Jadi meski sama-sama bekerja, jika anak gagal di sekolah, maka ibunya akan lebih disalahkan dibandingkan ayahnya.
Baca juga: Dari Budaya sampai Agama, Ini 4 Hal yang Hambat Perempuan Berkarier
Selain tidak proporsionalnya beban perempuan, di Indonesia, perempuan juga masih harus menanggung beban mulia seorang diri. Beban mulia adalah beban untuk bertanggung jawab atas moralitas bangsa dan generasi muda.
Hal ini berujung pada kelanggengan stereotip peran perempuan yang sebatas ranah domestik. Sebagai contoh, jika suaminya korupsi atau selingkuh, maka istrinya akan cenderung disalahkan karena dianggap tidak bisa menjaga moralitas suaminya.
Konstruksi Feminitas dan Kepemimpinan Perempuan
Hambatan-hambatan yang dihadapi perempuan di ranah publik pada dasarnya disebabkan oleh kesalahpahaman akan karakteristik femininitas dan maskulinitas sendiri.
Tetapi, apakah benar bahwa peran perempuan lebih baik dalam ranah rumah tangga? Apakah kompetensi perempuan dalam bekerja lebih rendah dibanding laki-laki?
Riset menunjukkan bahwa kategori femininitas dan maskulinitas merupakan sebuah kesepakatan sosial dan bukan bawaan biologis. Jadi, manusia belajar untuk menjadi feminin dan maskulin melalui pengamatan budaya dan tuntunan sosial. Yang lebih penting lagi, menjadi maskulin atau feminin tidak menjamin keberhasilan seseorang dalam berkarier atau menjalankan tugas domestik.
Sebuah riset di periklanan di Swedia pada akhir 90-an membuktikan bahwa gaya kerja yang disebut ‘feminin’ – dalam artian membutuhkan kerja sama, kreativitas, dan fleksibilitas – yang menjadi kunci keberhasilan dalam periklanan ini dapat dilakukan oleh laki-laki dan perempuan.
Sama halnya dengan kepemimpinan perempuan dan laki-laki. Gaya kepemimpinan yang maskulin atau feminin dapat dijalankan oleh kedua gender dan efektivitasnya tergantung dari situasi. Jadi, di tempat kerja, perempuan memiliki tingkat kompetensi dan keahlian yang sejajar dengan laki-laki.
Begitu pula dengan peran domestik. Pola asuh bersama dipandang memiliki efek yang lebih baik bagi anak, dan dapat menciptakan kehidupan pernikahan yang lebih bahagia. Dapat disimpulkan bahwa keterlibatan seorang ayah sama pentingnya dengan seorang ibu.
Tidak tepat jika kita menganggap bahwa seorang ibu harus bertanggung jawab seorang diri atas pendidikan anaknya. Justru, kerja sama ayah dan ibu dalam mendidik anak akan lebih berdampak positif bagi anak, istri, dan rumah tangga yang dibina.
Gerakan kesetaraan gender bukan merupakan usaha perempuan ingin menyaingi atau mengalahkan laki-laki. Gerakan ini tumbuh dari kesadaran perempuan untuk memperbaiki nasibnya.
Untuk menjamin kesuksesan gerakan ini, perlu usaha perempuan dan juga laki-laki. Masyarakat perlu mulai melepaskan dikotomi antara pembagian kerja laki-laki dan perempuan untuk mencapai kemajuan bersama.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Fitri Hariana Oktaviani adalah dosen dan peneliti di Universitas Brawijaya, dan kandidat PhD bidang Gender dan Komunikasi Organisasi, The University of Queensland.
Nurenzia Yannuar adalah dosen, Universitas Negeri Malang.
Read More