Petani Perempuan di Garda Depan Industri Kopi

Urusan kopi, mulai dari penikmat, pebisnis, hingga petani, kerap dicap maskulin karena didominasi para lelaki. Bahkan, keterlibatan petani kopi perempuan tak otomatis membuat industri ini menjadi lebih setara. Pasalnya, mayoritas penentu keputusan, dari menentukan harga kopi sampai transaksi jual beli, masih dikontrol oleh laki-laki.

Untuk menggeser kesan maskulin di industri kopi, yang dibutuhkan adalah melibatkan perempuan lebih banyak serta menciptakan sistem yang adil untuk mereka. Dalam sebuah diskusi daring, peneliti dan spesialis gender World Agroforestry (ICRAF), Elok Mulyoutami menuturkan, kesetaraan gender dapat dihasilkan dalam sistem agroforestri kopi.

Sistem ini telah diterapkan dalam skala nasional dan internasional, dengan menanam pohon atau tanaman pelindung sesuai dengan jarak tanam yang diatur sedemikian rupa. Tujuannya untuk menggenjot produksi kopi sekaligus meningkatkan ketahanan pangan dan lingkungan terhadap dampak perubahan iklim.

Mengapa sistem agroforestri ini perlu diimplementasikan pada kopi? Karena para petani kopi hanya menikmati hasil panen sebanyak satu kali dalam setahun. Karenanya, tanaman yang digunakan sebagai alternatif pun bersifat komersial, seperti rempah-rempah, buah, dan sayur.

Dari situlah, kata Elok, diharapkan ada pembagian relasi yang adil antara lelaki dan perempuan.

“Misalnya dalam pembagian tugas dalam berkebun kopi, pembagian pendapatan, akses terhadap kehidupan rumah tangga, manajemen waktu, keuangan, pengambilan keputusan rumah tangga, serta akses untuk mendapatkan pembangunan kapasitas,” ujarnya.

Baca Juga: Tak Ada Tanah dan Air untuk Perempuan

Intervensi Gender Mendesak dalam Pertanian Kopi

Berdasarkan data Lota Bertulfo dalam “The Conference Board of Canada” terkait peranan gender di industri kopi, sebagian besar tugas dalam produksi kopi masih dilakukan oleh petani laki-laki. Jika diperinci, kelompok ini mengerjakan sembilan rangkaian kerja, dari persiapan lahan, pembenihan, hingga penyimpanan. Sementara, tugas petani perempuan terbagi menjadi lima bagian, dari penanaman hingga pemilihan.

Dari pembagian itu saja sudah tampak ada perbedaan peran, di mana laki-laki lebih difokuskan untuk mengurus lahan. Intervensi gender di sini diperlukan sebagai salah satu langkah untuk menjembatani ketimpangan peran itu. 

ICRAF meneliti 125 responden pada September hingga Oktober 2020 di Kecamatan Dempo Tengah dan Dempo Utara dan terbukti, intervensi gender dalam sistem agroforestri kopi tidak berdampak negatif pada kualitas rumah tangga. Suami istri petani kopi justru jadi saling mendukung dan melengkapi. Namun, masih ada risiko ketidakseimbangan hubungan, mengingat lelaki masih dianggap sebagai kepala rumah tangga yang memegang kunci terakhir pengambilan keputusan.

Merespons ini, Do Ngoc Sy, Sustainability Manager Jacobs Douwe Egberts (JDE) menjelaskan, peran perempuan harus selalu ada dalam sistem rantai nilai kopi. 

“Jika diabaikan, maka kita akan kehilangan potensi peningkatan produktivitas dan kesejahteraan bagi keluarga petani secara keseluruhan,” ujarnya.

Baca Juga: Akibat Stigma, Kelompok Minoritas Masih Sulit Mengakses Kesempatan Kerja

Keterlibatan Petani Perempuan dalam Agroforestri Kopi

Berikutnya, kerja sama antara perempuan dan laki-laki dinilai mampu mengembangkan produktivitas usaha kopi. Hubungan ini didukung oleh S&D SUCDEN COFFEE sebagai green coffee merchant berskala global.

“S&D SUCDEN COFFEE telah bekerja sama dengan beberapa mitra dalam program peningkatan kapasitas praktik pertanian yang baik, bagi para petani, khususnya petani perempuan agar dapat membuka peluang bagi mereka dalam meningkatkan kapasitasnya,” ujar Veronika Semelkova, Sustainability Manager S&D SUCDEN COFFEE.

Sayangnya, sejauh ini keterlibatan perempuan dalam agroforestri kopi tergolong masih minim. Sartika Monalisa, Robusta Master Trainer Sustainable Coffee Platform of Indonesia (SCOPI) berujar, di Ogan Komering Ulu Selatan, Sumatera Selatan, hanya terdapat 20 persen kelompok petani perempuan dengan perwakilan tiga kelompok per desa. Padahal, petani perempuan memiliki pengaruh dalam kemajuan perekonomian keluarga. Mereka bisa melakukan sembilan pekerjaan laki-laki di kebun saat sedang dibutuhkan, sehingga produksi jalan terus dan pendapatan keluarga tetap stabil.

Lalu apa solusinya?

Dengan menyelenggarakan pelatihan yang tepat, kepercayaan diri, kemampuan, dan keterampilan perempuan cenderung mudah ditingkatkan. Mereka juga bisa memiliki kesadaran tentang kapabilitas diri agar terbentuk keinginan untuk terlibat.

Baca Juga: Seabad Lebih Setelah Kartini Gagas Emansipasi Perempuan, Kesetaraan Gender Masih Jadi PR

“Ada stigma di masyarakat kalau perempuan enggak perlu ikut pelatihan, lebih baik di rumah saja, sehingga mereka merasa tidak berhak mendapatkan kesempatan tersebut,” tutur Elok

Dengan memberikan ruang kontribusi lebih besar bagi perempuan, cakupan yang dibantu tak hanya sebatas perekonomian keluarga. Perempuan juga memiliki kemampuan lebih baik untuk berbagai pengetahuan secara detil kepada orang lain.

“Sudah saatnya perempuan diberikan kesempatan untuk berperan optimal sebagai aktor utama dalam menciptakan manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan,” pungkas Elok.

Read More