Meski Ada Budaya Matrilineal, Jumlah Perempuan Masuk Politik di Sumbar Masih Rendah

Sumatra Barat dikenal dengan posisi perempuan yang kuat dalam masyarakatnya, karena menganut sistem matrilineal. Masyarakat suku Minangkabau percaya dengan konsep Bundo Kanduang, di mana perempuan memiliki peran sentral sebagai penerus keturunan, pewaris harta, penyimpan hasil ekonomi, pemilik rumah gadang (tempat kediaman), dan penentu keputusan.

Namun sayangnya, posisi perempuan yang kuat itu berbanding terbalik dengan keterlibatan mereka di bidang politik. Sumatra Barat adalah salah satu wilayah dengan partisipasi perempuan dalam politik yang masih rendah. Sejak 2004, hanya ada lima orang atau setara dengan 9,09 persen anggota perempuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) yang terpilih.

Kendati sempat mengalami kenaikan pada periode 2009-2014 menjadi tujuh orang (12,72 persen), namun angka itu kembali turun di periode 2014-2019 menjadi enam orang. Bahkan, di periode 2019-2024, diketahui hanya ada empat anggota DPRD perempuan di Sumatra Barat yang terpilih.

Di level pemimpin daerah pun menunjukkan angka yang sama. Pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) periode 2016-2021, dari tujuh kota dan 12 kabupaten di Sumatera Barat, wali kota dan bupati terpilih seluruhnya adalah laki-laki.

Kenyataan rendahnya partisipasi perempuan di ranah politik ini cukup membuktikan bahwa budaya matrilineal kepemimpinan perempuan masyarakat Sumatera Barat hanya berlaku dari segi kultural atau adat masyarakat Minangkabau saja, sedangkan di tatanan politik yang lebih formal tidak begitu berpengaruh.

Baca juga: Politik Afirmasi dan Permasalahannya Bagi Perempuan

Budaya Matrilineal Minangkabau: Pergeseran Posisi Bundo Kanduang

Akademisi Universitas Jayabaya, Jakarta, Nurwani Idris, dalam artikel jurnal berjudul “Perempuan Minangkabau dalam Politik” (2010), menyatakan bahwa budaya masyarakat Minangkabau yang egaliter dan setara, nyatanya tidak punya pengaruh signifikan dalam membangun keterwakilan perempuan dalam politik. Meskipun sudah didukung dengan politik afirmasi ketersediaan 30 persen tempat bagi perempuan.

Menurutnya, keterbatasan peran pemimpin perempuan masyarakat Minangkabau yang hanya berlaku secara kultural itu tidak terlepas dari pengaruh periode kekuasaan di Indonesia. Dalam sejarah Minangkabau, perempuan sangat berperan dalam berbagai urusan publik sebagai pengontrol kekuasaan.

Hal ini terlihat dari banyaknya tokoh perempuan pada masa lalu yang merupakan tokoh publik yang diakui dan punya pengaruh besar terhadap kebijakan pemerintah. Sebut saja, Rohana Kudus, Siti Manggopoh, Rasuna Said, dan Rahmah El Yunusiah. Ketiganya merupakan tokoh sejarah yang diakui secara nasional punya misi sangat progresif dalam memajukan nusantara di masa lampau.

Tetapi menurut Nurwani, dalam tiga dekade terakhir ini, peran perempuan tersebut mengalami penurunan, bahkan bisa dikatakan hilang. Hal ini akibat proses pemarginalan yang sangat panjang, mulai dari masa kolonialisme Hindia Belanda, hingga Orde Baru dan sekarang. Peran mereka secara perlahan terus bergeser dan direduksi, tulisnya.

“Khususnya pada masa Orde Baru di Indonesia, pola sentralistis yang dipraktikkan sangat mereduksi peran politik perempuan Minangkabau. Belum lagi faktor sosial dan agama yang tidak mendukung perempuan dalam politik, maupun peluang mereka untuk mendapatkan kedudukan sebagai pemimpin daerah,” tulis Nurwani.

Posisi perempuan yang kuat dalam sistem matrilineal sekarang ini hanya diartikan sebatas pada peran domestik perempuan dan adat belaka. Kepemimpinan mereka hanya bersifat personal (personal effort), belum sampai pada gerakan politik progresif yang dapat membawa perubahan pada posisi perempuan di ranah publik. Kekuasaan perempuan Minangkabau masih berkutat pada peran ganda sebagai seorang ibu dan pemimpin adat, terkait dengan budaya patriarkal yang membatasi ruang perempuan.

“Mereka jadinya tidak mempermasalahkan siapa pemimpin daerah yang secara formal terpilih, karena posisinya sebagai perempuan pemimpin adat dan keluarga itu akan tetap sama. Ini yang menjadi salah satu faktor kenapa kepemimpinan perempuan di Sumatera Barat masih belum sampai pada pergerakan kolektif dan kesadaran politik,” tulis Nurwani.

Minat dan motivasi politik yang rendah itu menyebabkan kesadaran terhadap pentingnya perempuan menduduki kepemimpinan politik juga rendah.

Baca juga: Masalah Perempuan Kepala Daerah dan Anggota DPR: Jumlah dan Kualitas

Konservatisme Agama Jadi Penghambat Perempuan Sumbar

Konservatisme agama di Sumatra Barat juga berperan penting dalam hal dukungan perempuan di bidang politik. Baik calon legislatif maupun calon pemimpin daerah perempuan sering kali menghadapi kampanye hitam yang menyebutkan bahwa dalam ajaran agama Islam, perempuan tidak seharusnya menjadi imam atau pemimpin.

Emma Yohana, anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) yang mencalonkan diri menjadi Wali Kota Padang pada 2013 misalnya, merasa kampanye hitam yang membawa dalil agama itu cukup menghambat dirinya untuk maju ke Pilkada Sumatera Barat.

“Beberapa kali saya terhambat karena pemahaman soal imam itu. Padahal kita tidak dalam rangka ibadah salat, tetapi ibadah yang lain,” ujar Emma seperti yang dikutip dalam artikel Magdalene.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengatakan isu agama dalam politik Sumatera Barat memang sudah lama terjadi, namun semakin menguat semenjak polarisasi politik setelah Pemilihan Presiden 2019 lalu, sehingga berakibat pada menurunnya jumlah perempuan yang berhasil terpilih menjadi DPD.

“Kalau kita lihat kan politiknya cenderung konservatif, apalagi setelah Pilpres 2019. Terjadi dikotomi yang sangat kuat dalam konteks isu agama,” ujar Titi kepada Magdalene (8/7/2020).

Baca juga: Mahalnya Ongkos Politik Hambat Perempuan Jadi Wakil Rakyat

Partai yang Masih Elitis dan Peluang Perempuan Sumbar

Kampanye hitam dengan narasi agama biasanya tidak akan menjadi isu besar jika calon pemimpin daerahnya merupakan bagian dari politik kekerabatan atau sang calon punya basis massa yang besar.

“Masih sangat elitis, misalnya dia istri bupati sebelumnya dan memiliki posisi strategis di dalam partai. Atau memiliki basis massa yang besar sebagai ketua organisasi keagamaan,” ujar Titi.

Isu sistem partai politik yang elitis dan ongkos politik selangit sebetulnya bukan permasalahan baru. Keduanya akan terus menjadi batu sandungan besar bagi perempuan untuk terjun ke politik. Padahal, perempuan Sumatera Barat punya peluang yang besar untuk menjadi pemimpin.

Hasil survei Spektrum Politika pada Juli 2020, yang melibatkan 1.220 responden di 19 kabupaten kota di Sumatra Barat menunjukkan, hampir 56,9 persen responden mengatakan bahwa adat dan budaya Minangkabau mendukung perempuan beraktivitas dalam kegiatan politik. Selain itu, 60,3 persen responden setuju bahwa perempuan mampu bersaing dengan laki-laki.

Titi mengatakan bahwa peluang besar perempuan Sumatra Barat tersebut bisa dioptimalkan jika partai politik mau membenahi tata kelola internal partai yang masih mengedepankan elite sebagai penentu proses kontestasi. Selain itu, partai harus mau lebih mengedukasi perempuan-perempuan yang punya basis masa yang besar di provinsi itu

“Sistem di internal partai harus diperbaiki, termasuk perekrutan kader partai perempuan. Dan tentu edukasi politik dari parpol perlu berjalan ke masyarakat. Banyak perempuan yang memiliki basis massa besar dan sangat berpotensi tetapi mereka minim edukasi politik,” kata Titi.

Read More