Benarkah Kita Dilarang Berteman Dekat dengan Orang Kantor?

Sebagai karyawan baru, “Alya”, 29 sering merasa sungkan jika pulang duluan. Selain takut di-gaslighting atasan yang biasanya sengaja berdiam di kantor sampai malam, ia juga ingin dekat dengan teman-teman. Alasannya, kata dia, berteman erat dengan orang-orang kantor bisa membantunya menggenjot produktifitas, bikin betah, dan tak membuatnya tersisih.

“Punya teman dekat di kantor penting ya, meskipun ongkos yang harus dibayar, gue harus pulang lebih malam, terus-menerus ramah, dan basa-basi lebih banyak ke orang yang sebenarnya enggak gue suka-suka amat,” ujarnya pada Magdalene, (18/10).

Perempuan asal Bogor, Jawa Barat itu mengaku punya kepribadian ekstrovert, sehingga ia tak keberatan jika harus mengorbankan waktu dan tenaganya untuk berteman dengan semua orang kantor.

“Meskipun orang kantor itu toksik?” tanya saya.

“Iya, meskipun dia toksik. Suatu saat berteman dengan orang macam itu akan membantu gue kok suatu hari.”

Pendapat yang berseberangan disampaikan oleh Rudi Wibawanto, 33, karyawan perusahaan startup berkembang di Jakarta Selatan. Ia menolak menjadi people pleaser apalagi pulang lebih malam cuma bisa dekat dengan orang-orang kantor.

Gue selalu memegang prinsip, berteman boleh tapi jangan terlalu dekat. Lo juga enggak perlu merasa punya kewajiban untuk berteman dengan semua orang jika lo enggak mau,” ungkapnya, (19/10).

Sebagai gantinya, Rudi justru sengaja menetapkan batasan (boundaries) saat berteman dengan orang-orang di tempatnya bekerja. “Cara kerjanya mirip seperti pertemanan di luar kantor. Gue bakal menyeleksi siapa orang yang cocok jadi teman. Siapa yang cuma pantas diketahui namanya saja.”

Gue juga biasanya menghindari berteman dekat dengan orang yang berpotensi banyak drama, terlibat politik kantor, dan bikin jadi enggak nyaman. Intinya, sih, gue cuma berusaha sebisa mungkin untuk profesional aja, bisnis ya bisnis, teman ya teman, susah kalau dicampur-campur,” terangnya.

Baca juga: Apa itu Politik Kantor dan Bagaimana Cara Menavigasinya

Benarkah Berteman dengan Orang-orang Kantor Nirfaedah?

Umumnya, saat membahas soal preferensi pertemanan di kantor, para karyawan terbelah. Ada yang mendukung pertemanan dekat, tapi tak sedikit menolaknya dengan pelbagai alasan.

Buat Rudi yang tak mau punya teman dekat di kantor, ia beralasan, semakin dekat dengan orang, kian besar pula gesekan dan potensi konflik di depan mata. Menurutnya, berkonflik dengan teman kantor adalah salah satu hal yang rumit, karena ujung-ujungnya berpengaruh terhadap produktivitas atau kualitas kerja.

Lalu, apa kata riset soal ini? Sayangnya, banyak riset yang juga menunjukkan hasil beragam. Gallup meneliti karyawan-karyawan di Amerika Serikat (AS) hingga berkali-kali selama sepuluh tahun dan mencatat, 63 persen responden perempuan pekerja setuju memiliki teman dekat di kantor, sedangkan mereka yang menolak berteman dekat ada 29 persen. Persahabatan dengan teman kantor ini membuat karyawan merasa aman sekaligus membantu kita untuk tampil dalam performa yang baik, tutur Donald Clifton, mantan psikolog pendidikan yang mendirikan Gallup.

Riset senada ditunjukkan oleh Virgin Pulse yang berkolaborasi dengan Future Workplace pada 2018. Meneliti lebih dari 2.000 manajer dan karyawan di 10 negara, hasilnya 1 dari 10 orang yang tak memiliki teman dekat di kantor, merasa kesepian dan tertinggal dari pekerjaan mereka. Lebih lanjut, dua per tiga responden bilang, mereka cenderung betah di tempat kerja jika menganggap orang-orang kantor sebagai teman dekat bahkan keluarga.

Sebuah studi terpisah yang dilakukan Officevibe mencatat, sebanyak 70 persen karyawan mengatakan, teman di tempat kerja adalah elemen paling penting untuk kehidupan kerja yang bahagia. Bahkan, 58 persen pria akan menolak pekerjaan bergaji lebih tinggi jika mereka tidak cocok dengan rekan kerja. Apalagi mengingat jumlah waktu yang dihabiskan di tempat kerja dengan durasi cukup intens, mustahil jika hubungan pertemanan—entah bagaimanapun wujudnya—bisa terhindarkan.

Baca juga: Mengejar Karier: Antara Passion dan Realitas

Berteman Boleh Asal Ada Batasan

Di luar riset-riset di atas, ada juga pernyataan pakar yang menyebutkan, berteman terlalu dekat dengan orang kantor justru bisa jadi bumerang. Amy Cooper, psikolog industri yang dikutip oleh CNN misalnya bilang, berteman dekat dengan rekan kerja bisa meningkatkan daya saing dan bibit-bibit kebencian. Karena itulah menurut Cooper, karyawan di kantor tak perlu memaksakan diri untuk berteman dekat, tapi mencoba bersikap ramah dengan rekan-rekan.

“Kita sering menyebut orang yang dekat dengan kita di tempat kerja sebagai ‘teman’, tetapi ada perbedaannya. Meskipun bersosialisasi dapat membantu meningkatkan kebahagiaan di tempat kerja, batasan adalah kunci. Kamu bisa minum kopi atau makan siang bareng, tapi tak perlu mengundang mereka pulang ke rumah untuk pesta barbekyu atau mengikuti acara keluarga khusus,” ucapnya.

Selain menjaga jarak, Cooper juga menyarankan agar batasan yang dibuat, termasuk tidak mudah curhat semua hal sensitif dan rahasia tergelap hidup kita. Sebab, kata dia, curhat hal pribadi berlebihan, bisa membuat perasaan tak enakan rentan mendominasi hubungan profesional. Semisal, saat kamu temanmu butuh uang, tapi kamu yang dapat promosi atau penugasan proyek

Pertanyaannya, apakah mungkin membuat jarak dan batasan dengan rekan kerja di kantor? Elizabeth Grace Saunders, penulis Divine Time Management and How to Invest Your Time Like Money (2015) memberi lima tips untuk membuat batasan di kantor, untuk berteman dengan orang kantor dengan porsi yang pas:

  1. Ucapkan terima kasih hanya untuk bantuan yang berarti

Kamu tak wajib membalas semua email atau pesan teks dari rekan kerja, apalagi jika pesan-pesan itu relatif mengganggu. Silakan balas pesan dan beri apresiasi rekan-rekan kerjamu yang jelas-jelas telah melakukan pekerjaan ekstra pada suatu proyek atau berbuat baik padamu. Tunjukkan apresiasimu secara langsung dengan tatap muka jika memungkinkan.

  1. Luangkan waktu untuk bertemu

Bagian ini penting untuk memberi pesan bahwa kamu adalah rekan yang baik dan mau meluangkan waktu untuk teman-teman kerja. Namun sekali lagi kamu harus menyeleksi orang-orang yang mau kamu prioritaskan untuk bertemu demi tujuan yang jelas. Bukan sekadar haha-hihi, menggunjingkan orang, atau melakukan hal yang membuang-buang waktumu.

  1. Proaktif menawarkan dukungan

Ada saat-saat ketika teman-teman kerjamu merasa sangat rentan di kantor, entah karena masalah di kantor atau rumah. Kamu tak perlu mengobrol secara teratur sampai larut malam, pulang bareng, atau menunggunya untuk pergi bersama kemana-mana, tapi sediakan bahumu atau kupingmu jika orang kantor memercayaimu untuk bercerita masalah yang mereka hadapi.

Tips-tips itu mungkin terdengar simplistis dan penuh perhitungan, tapi penting kamu lakukan agar nyaman di kantor: Bisa berteman, tapi juga tak terjebak pada drama politik kantor karena terlalu dekat dengan rekan-rekan kerja.

Read More

Balada Budak Korporat dan Solusi Lawas Jadi PNS

Bayangan saya soal profesi Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah pulang lebih cepat, izin jemput anak di jam makan siang, dan asyik main gim Solitaire di komputer Windows jadul. Meskipun dugaan saya cuma apriori karena mengamati segelintir tetangga saja yang jadi ambtenaar, tanpa mengalami langsung, tapi setidaknya kenikmatan beban kerja secuil ini tetap berlaku hingga sekarang. Tentu saja buat beberapa orang, karena ada juga PNS yang berdedikasi tinggi.

Saya mewawancarai teman saya, Putri Rahmawati (30) yang ngebet banget jadi PNS sejak ia masih di bangku Taman Kanak-Kanak (TK). Saya ingat betul, jawaban guru saat bertanya cita-cita di masa depan, ia menjawab dengan mantap, “Mau jadi PNS.” Sementara yang lain kebanyakan menjawab dengan template kanak-kanak yang jarang diraih ketika mereka dewasa: Pilot, dokter, polisi, astronaut.

Tak seperti teman yang lain, Putri termasuk yang setia pada cita-cita masa kecilnya. Saya sendiri sudah belasan kali berubah cita-cita, dari yang mulanya mau jadi manten zaman TK, dosen, ilmuwan, ahli Kimia, sampai akhirnya takdir saya mentok jadi jurnalis. Sementara, teman saya yang lahir dari keluarga PNS ini berjuang untuk menggolkan mimpinya hingga bertahun-tahun kemudian. Tentu saja ia tahu, influencer zaman sekarang bisa mendapat upah hingga Rp80 juta sekali mengunggah konten endorse di media sosial, ia juga tahu PNS di kebanyakan formasi digaji dengan ikhlas (Baca: Kecil. Red). Namun, ia teguh pendirian.

“Bukan cuma karena malu jika gagal jadi PNS. Dari yang gue lihat dari keluarga besar, hidup mereka rata-rata berkecukupan. Jika Surat Kerja (SK) sudah terbit, bisa disekolahkan untuk modal renovasi rumah, kuliahin anak, dan tentu saja beban kerjanya enggak bikin gue rentan kena penyakit gangguan mental,” ujarnya pada saya, (10/8).

Pendapat Putri ada benarnya jika mengacu pada artikel di Forbes India bertajuk Here’s why youth prefer government jobs over private jobs for building up career. Dalam artikel tersebut dinyatakan beberapa sebab mengapa profesi pegawai pemerintahan jadi magnet untuk anak muda sekali pun. Pertama, jam kerja PNS sudah dipatok secara tegas, dalam artian ketika ada kelebihan kerja, mereka akan diberikan upah lembur—sesuatu yang musykil didapatkan oleh gig workers, pekerja seni, atau jurnalis seperti saya yang cuma bisa kerja, kerja, kerja, tipes.

Baca juga: Jangan Sebut Kami Budak Korporat

Kedua, dari sisi keamanan kerja dan stabilitas, saya kira tak ada yang bisa mendebat kenapa profesi ini dianggap paling aman buat karyawannya. Apalagi di tengah kondisi yang tak bisa diprediksi seperti pandemi COVID-19, profesi ini takkan membuat kamu dipecat dengan alasan efisiensi cuan perusahaan atau karena bos enggak suka aja sama kamu tanpa alasan jelas.

Mari kita lihat angka yang timpang dengan jumlah pekerja di sektor privat Indonesia yang memecat nyaris 10 jeti pekerjanya. Melansir laman Badan Pusat Statistik per Agustus 2020, angka pengangguran meningkat 2,67 juta orang. Jika ditotal jumlah angkatan kerja di Indonesia yang menganggur menjadi sebesar 9,77 juta orang. Pagebluk ini sendiri telah menyebabkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) yang berhasil ditekan di angka 5,23 persen terkerek naik jadi 7,07 persen. Saya sendiri bukan korban pemecatan, tapi di perusahaan lama, gaji saya disunat hingga 50% dengan alasan perusahaan harus mengirit pengeluaran.

Ketiga, PNS—bahkan mereka yang digaji kecil sekalipun—relatif jarang khawatir soal keuangan. Pasalnya, ada pos-pos honor lain yang didapat di luar gaji pokok, ada tunjangan keluarga, tunjangan jabatan, pinjaman perumahan, perawatan anak, asuransi kesehatan, hingga tunjangan daerah. Ini belum termasuk keuntungan yang didapat ketika PNS pensiun dari pekerjaannya. Berbeda dengan para pegawai di sektor privat, pegawai pemerintahan tak perlu cemas menghidupi dirinya di masa tua karena bakal ajek menerima uang pensiun.

Putri, teman saya yang akhirnya berhasil menjadi PNS setelah dua kali kandas di tes masuk Calon PNS mengungkapkan, “Gaji gue di pemerintahan memang sedikit, apalagi sebelum diangkat, tapi ada saja ‘uang-uang gaib’ yang bikin rejeki gue enggak pernah surut.”

Contohnya, kata dia, uang perjalanan dinas. Ia pernah mengumpulkan kocek hingga melampaui gaji pokoknya lantaran diperintahkan untuk dinas ke luar kota hingga satu pekan.

Namun, yang paling jadi pertimbangan Putri adalah soal work life balance. Sebelum akhirnya berhasil diterima di kantor pemerintahan di Jawa Tengah, ia bekerja sebagai tenaga pemasaran di perusahaan finansial (consumer finance). Dalam seminggu, ia harus masuk enam hari, bekerja lembur tanpa bayaran tambahan, dipatok target-target yang enggak masuk akal, dan menjalani hari-hari panjang penuh tekanan.

Gue sampai turun berat badan 7 kilogram hanya karena bekerja di sini, bolak-balik diomelin atasan jika target tak tercapai di akhir bulan. Stres banget,” imbuhnya.

Perkara kesehatan mental dalam dunia kerja diungkapkan pula oleh teman saya lainnya, Erista (29). “Dulu, lulus perguruan tinggi, maunya sok-sok idealis kerja di bidang yang gue mau. Karena passion gue menulis, gue memilih jadi wartawan TV. Nyatanya, gue justru stres berat karena susah buat istirahat. Belum lagi problem stereotip pekerja TV yang dituntut untuk tampil cantik, pelecehan seksual verbal, dan lainnya. Berkali-kali balik ke rumah sakit dan psikiater karena kondisi mental gue. Saking parahnya, gue bisa sampai menstruasi hingga dua bulan lebih tanpa henti.”

Erista bercerita, menjadi wartawan sebenarnya menyenangkan. Namun, beban di media TV ia rasakan tak cukup memberi ruang baginya untuk menyeimbangkan kehidupan sosial. “Di profesi ini, gue ngrasain putus cinta dua kali karena gue yang terlalu sibuk,” tuturnya.

Ia mengenang pengalamannya diputus saat sedang ditugaskan meliput gempa di Palu-Donggala. “Mental breakdown banget, karena di tengah hectic kerjaan, kurang tidur, cowok gue justru memutuskan buat pisah. Habis gimana, gue juga enggak bisa kontrol kesibukan,” ucapnya.

Sama seperti Putri, Erista juga memutuskan untuk mendaftar jadi Calon PNS dan berhasil masuk. Profesi kewartawanan pun ia tinggalkan. “Setelah dewasa di mana kebutuhan makin nambah, gue jadi makin realistis, cuma orang-orang beruntung yang bisa bertahan, hidupin diri bahkan keluarga dari passion-nya. Selebihnya kayak gue, kalau enggak mengidap gangguan kesehatan mental ya diputus pas lagi sayang-sayangnya karena terlalu sibuk,” ungkapnya.

Baca juga: Mau Jadi PNS atau Pasangan Tentara/Polisi? Pikir Lagi Baik-baik

Antara PNS dan Karyawan Swasta

Beberapa waktu lalu di Twitter, tagar #budakkorporat sempat trending. Seperti memutar kaset rusak berulang-ulang, tagar ini mayoritas berisi cuitan betapa pekerjaan sebagai karyawan swasta bahkan freelancer tak cukup digunakan untuk menopang hidup di tengah pandemi. Gaji yang byar pet byar pet, kepastian dan keamanan kerja yang nihil, jadi pertimbangan mengapa orang-orang yang bekerja di sektor ini merasa perlu mengidentikkan dirinya sebagai budak korporat.

Budak korporat sendiri menjadi terma yang peyoratif akhir-akhir ini. Sebab, itu tak lagi merujuk pada prestise mendapatkan pekerjaan di perusahaan, tapi justru terasosiasi pada jam-jam kerja panjang tanpa ujung, honor yang tak seberapa, dan ketidakpastian karier. Budak korporat adalah mereka yang umumnya bekerja dari jam 9 pagi hingga pukul 5 sore, terkadang harus lembur, dan cepat diganti oleh karyawan baru ketika kita cabut karena sakit, punya gangguan kesehatan mental, atau mati. Sebuah pil pahit yang sayangnya harus ditelan begitu saja.

Anita Fanny (27), penulis konten di start-up media bercerita pada saya, ia harus bekerja hingga pukul 9 malam ketika tenggat tulisan belum terpenuhi. Hasilnya, penyakit maag sudah jadi sahabat karib, ujarnya. Sebagai informasi, perempuan asal Bogor itu ditargetkan menulis 10 artikel saban harinya, di mana 1 artikel terdiri atas minimal 500 kata. 

“Harus ambil pekerjaan ini karena enggak punya pilihan. Masih untung punya pekerjaan di masa pandemi saat temen-temen gue banyak yang jadi pengangguran,” terangnya, (10/8).

Nyatanya, prestise bekerja dari kantor besar di pusat kota Jakarta tak membuat ia bahagia menjadi pekerja swasta. Karena itulah, ia sepakat jika dilabeli sebagai budak korporat. Sesuai teori, perusahaan tempat bekerja ia juga memiliki turn over karyawan ekstra tinggi, sehingga Fanny pun harus berpikir berulang kali jika mau mundur dari pekerjaannya sekarang.

Masalah prestise dalam Survei Pusat Kajian Reformasi Administrasi 2017 yang dikutip Tirto, cukup penting ketika seseorang memutuskan untuk menjadi pekerja, termasuk pekerja pemerintahan. Persentase orang yang memilih bekerja jadi PNS karena faktor prestise mencapai 29,9 persen dan berada di urutan ketiga sebagai alasan terkuat mengapa memilih profesi PNS. Sementara, mereka yang memilih profesi ini karena jaminan hidup hanya 4 persen. Alasan terbesar ada pada job security yang mencapai 60 persen serta alasan gaji yang mencapai 54, 5 persen. Mereka yang memilih PNS sebagai suatu pengabdian bahkan hanya 9 persen. Sedangkan yang memilih profesi PNS sebagai passion hanya berjumlah 1 persen.


Lepas dari angka-angka itu, profesi PNS maupun pekerja swasta memang menjanjikan masing-masing keuntungan, pun kerugian. Apa saja jalan yang kamu pilih, setidaknya kamu berpegang pada koentji bahwa kebahagiaan dalam pekerjaan adalah nomor wahid. Jika kamu bahagia dengan menjadi PNS, jalani, sebaliknya jika mau jadi pekerja swasta karena perkawa idealisme dan tetek bengeknya, ya lanjutkan. Tak ada pilihan benar dan salah.

Read More

Sebuah Ode untuk Ilmuwan Perempuan Kala Pandemi

Pertandingan tenis antara Novak Djokovic melawan Jack Draper belum juga dimulai, tapi tepuk tangan 7.500 penonton sudah bergemuruh di Stadion Wimbledon, Inggris. Hari itu, 28 Juni 2021, Sarah Gilbert, profesor Universitas Oxford yang melepas hak patennya atas vaksin COVID-19 AstraZeneca jadi sorotan. Sarah bersama rekannya, sesama ilmuwan perempuan, Catherine Green termasuk dua di antara perempuan yang jadi buah bibir karena membantu masyarakat di dunia bisa mengakses vaksin itu dengan lebih mudah dan murah. Video yang diunggah di akun Youtube Wimbledon dan viral itu sendiri telah ditonton oleh lebih dari 70 ribu orang.

Sarah Gilbert adalah contoh ilmuwan yang mendobrak gelas kaca dan membuktikan bahwa perempuan yang berkarier di bidang pengetahuan dan riset juga patut dilirik. Kita mungkin hanya beberapa kali mendengar nama harum ilmuwan perempuan. Marie Curie, pelopor penelitian radioaktivitas dan perempuan pertama yang memenangkan hadiah Nobel contohnya. Lalu ada ilmuwan roket NASA Yvonne Brill yang menemukan pendorong roket hemat bahan bakar yang menjaga satelit tetap di orbit saat ini. Pun, Rosalind Franklin dengan penelitiannya yang paling sohor terkait dengan struktur double-helix DNA.

Ilmuwan perempuan yang berada di garda depan seperti mereka patut diapresiasi, mengingat titik berangkat mereka untuk meniti karier, proses, hingga hambatan yang dihadapi relatif berlapis. Seorang Yvonne Brill masih dianggap sebagai pengekor karier suaminya dan dikenang sebagai ibu dengan tiga anak, kendati ia berjasa buat NASA. Bahkan, obituarinya saat meninggal delapan tahun silam ditulis oleh The New York Times secara seksis dengan menyisipkan keterampikan sebagai ibu rumah tangga dengan diksi mean beef stroganoff (hidangan daging sapi terkenal ala Rusia. Red).

Baca juga: 11 Perempuan Berpengaruh dalam Bidang Sains di Dunia

Apalagi di tengah pandemi saat ini, ilmuwan perempuan dihadapkan pada beban yang jauh lebih berat ketimbang laki-laki. Sebuah riset bertajuk “Only Second-Class Tickets for Women in the COVID-19 Race” yang dilakukan oleh Flaminio Squazzoni dkk. (2020) menyebutkan, perempuan telah menerbitkan lebih sedikit makalah, memimpin lebih sedikit uji klinis, dan menerima lebih sedikit pengakuan atas keahlian mereka selama pandemi. Sebabnya sesuai dugaan: Perempuan mengalami pergolakan emosional dan tekanan pandemi, protes atas rasisme struktural, kekhawatiran tentang kesehatan mental dan pendidikan anak-anak, serta kurangnya waktu untuk berpikir atau bekerja. Celakanya beban semacam ini sudah memberatkan langkah perempuan sejak sebelum pandemi.

Dalam liputan Times, beberapa ilmuwan perempuan di Imperial College yang diwawancara wartawan menyebutkan, harus datang lebih pagi dan pulang ke rumah di waktu petang dalam kondisi sangat lelah. Beruntung jika mitra dan keluarga penuh memberi dukungan untuk mereka berkarier.

Buntung jika mereka terjebak dalam lingkungan yang tak cukup suportif. Ini mirip seperti kumpulan kisah ilmuwan perempuan yang dikutip The New York Times. Daniela Witten, ahli biostatistik di University of Washington di Seattle misalnya menuturkan, yang dihadapi ilmuwan perempuan tak cuma jalan curam untuk mencapai puncak karier mereka atau apresiasi yang sepadan, tapi juga seterotip yang terus menggema di mana-mana. Bahwa perempuan tak sepandai pria, bahwa perempuan yang sukses pastilah melawan kodratnya dan menelantarkan keluarga.

Bagi seorang ilmuwan perempuan yang juga menjadi ibu, tantangan dan stereotip yang dihadapi lebih ngeri-ngeri sedap. Di Amerika, bahkan selama cuti hamil, ilmuwan perempuan diharapkan tetap mengikuti praktikum, persyaratan mengajar, publikasi, dan pendampingan mahasiswa pascasarjana. Ketika mereka kembali bekerja, sebagian besar tidak memiliki penitipan anak yang terjangkau. Di buku Mothers in Science: 64 Ways to Have it All (2008) yang ditulis ahli biologi tanaman Dame Ottoline Leyser, ia menguraikan, sebanyak 64 ilmuwan perempuan terkemuka, merencanakan karier dengan melawan kehidupan rumah tangga mereka. Artinya, kecemasan ibu-ibu yang juga menjadi ilmuwan perempuan adalah valid dan jadi hal jamak.

Baca juga: Kizzmekia Corbett Ilmuwan Perempuan Kulit Hitam di Garis Depan Pengembangan Vaksin Covid-19

Ini belum termasuk dengan diskriminasi berbasis gender di dunia akademis dan riset. Dilansir dari Times, STEM Women, sebuah agen rekrutmen di Inggris mencatat, hanya 35 persen dari lulusan sains, teknologi, teknik, dan matematika adalah perempuan. Pun, perempuan hanya 22 persen dari angkatan kerja STEM. Survei lain tahun lalu oleh perusahaan elektronik RS Components mengklaim bahwa hanya 17 persen profesor sains adalah perempuan. Angka-angka ini cukup beralasan mengingat perempuan kerap dianggap sebagai makhluk kelas dua yang tak akan mampu mengatasi tantangan berat di dunia yang dicap oleh lelaki, maskulin ini.

Kita tentu masih ingat, peraih Nobel Inggris Sir Tim Hunt sempat melontarkan keluhan seksis bahwa ilmuwan perempuan cuma bisa menangis di laboratorium ketika dikritik. Jangankan di dunia akademis, buat saya yang jurnalis, beberapa lapangan kerja memang didesain dan ditahbiskan sebagai tempat kerja lelaki.

Beberapa teman jurnalis pernah bercerita, ia ditempatkan di desk liputan gaya hidup karena dinilai tak mampu bertahan di politik-hukum-nasional, kendati artikel-artikel ia terbilang bernas. Ada juga yang bilang, ia urung masuk tim investigasi di kantornya atau liputan bencana hanya karena ia perempuan, dan sebagaimana lazimnya perempuan, ia disebut-sebut takkan bisa tidur sembarangan di emperan atau depan gerbang rumah narasumber hingga tengah malam.

Buat saya sendiri, beberapa kisah ilmuwan perempuan di atas menjadi pengingat bahwa kondisi yang dihadapi mereka belum cukup ideal. Sehingga, dibutuhkan kebijakan afirmatif yang membuat para ilmuwan perempuan merasa lebih aman dan nyaman dalam mengembangkan kariernya. Dukungan dari teman, keluarga, dan kepercayaan publik juga jadi faktor kunci agar perempuan jadi lebih berdaya berkarier di bidang ini. 

Read More