Ratusan pencari kerja meramaikan Jakarta Job Festival 2025 di Balai Kartini, Jakarta Selatan. Di tengah kerumunan anak muda yang berburu peluang karier, ada satu sosok yang mencuri perhatian: Endang Tjahjati, perempuan berusia 65 tahun yang ikut bersaing mencari pekerjaan.
Dalam artikel Semangat Endang, Lansia 65 Tahun Mencari Kerja di Job Fair, kehadiran Endang di bursa kerja yang diadakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ini adalah pengalaman pertamanya. Ia terlihat menyusuri berbagai stan perusahaan, mencoba menemukan posisi yang sesuai dengan keahlian yang sudah ia kumpulkan selama puluhan tahun bekerja.
Namun, proses itu bukan hal yang sederhana. Endang bercerita bahwa dirinya punya pengalaman panjang di industri sepatu, khususnya di bidang pengembangan produk. Sayangnya, tidak semua perusahaan membuka lowongan yang relevan dengan latar belakang tersebut.
“Saya adalah latar belakang development di pabrik sepatu, terakhir kerja kira-kira satu tahun lalu tapi bukan di pabrik sepatu tapi pabrik kasur, development juga,” ungkap Endang dalam wawancaranya dengan Bloomberg Technoz.
Endang mengaku datang ke job fair ini karena kebutuhan ekonomi. Ia memahami betul bahwa meski sudah memasuki usia lanjut, tetap aktif bekerja adalah hal yang penting, baik secara finansial maupun untuk menjaga kesehatan fisik dan mental.
“Pertama karena finansial, kedua, Allah beri saya kesehatan jasmani dan rohani jadi ingin beraktivitas,” tuturnya.
Kisah Endang hanya satu dari banyak cerita tentang lansia yang masih ingin dan sebenarnya masih mampu berkontribusi di dunia kerja. Namun, pengalaman yang ia hadapi di job fair menunjukkan bahwa jalan bagi pekerja senior di Indonesia memang belum sepenuhnya mulus.
Tantangan seperti minimnya lowongan yang sesuai, stereotip soal kemampuan lansia, hingga kebijakan perusahaan yang membatasi usia rekrutmen, memperlihatkan realitas yang lebih besar. Untuk memahami persoalan ini secara lebih menyeluruh, kita perlu melihat bagaimana kondisi pekerja lansia di Indonesia saat ini dan mengapa dunia kerja kita masih jauh dari kata setara.
Baca Juga: Kemenaker Dorong Rekrutmen Tanpa Batasan Usia dan Syarat ‘Good Looking’
Pekerja Lansia dan Dunia Kerja yang Belum Setara
Menurut laporan Magdalene dalam artikel Jadi Lansia di Indonesia, Boleh Kerja tapi Syarat dan Ketentuan Berlaku, data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2024 menunjukkan bahwa populasi lansia di Indonesia sudah mencapai 33 juta jiwa, atau sekitar 12 persen dari total penduduk. Namun, jumlah besar ini belum berbanding lurus dengan kesempatan mereka untuk tetap produktif di dunia kerja.
Banyak perusahaan masih menerapkan batas usia maksimal dalam rekrutmen, bahkan untuk posisi yang sebenarnya tidak membutuhkan kemampuan fisik yang berat. Aturan seperti ini akhirnya menciptakan diskriminasi usia yang tidak sepenuhnya mencerminkan kemampuan nyata para pekerja senior.
Penelitian Jati Waskito dari Universitas Muhammadiyah Surakarta berjudul “Faktor-faktor Pendorong Keniatan Pekerja Lansia untuk Melanjutkan Bekerja” menemukan bahwa pekerja lansia kerap dianggap sebagai opsi terakhir. Stereotip seperti dianggap lebih lambat, kurang melek teknologi, atau susah diarahkan masih sering muncul. Padahal, dengan pelatihan dan pendampingan yang tepat, banyak lansia yang tetap bisa bekerja secara optimal dan memberikan kontribusi besar.
Pandangan ini juga dirasakan oleh Almanzo Komasula, Operational Manager Uma Oma Cafe. Menurutnya, tantangan terbesar justru datang dari perspektif industri yang masih ragu mempekerjakan lansia.
“Karena katanya takut tidak harmonis di cafenya. Malah ternyata lansia dan pekerja muda bisa bersinergi dan harmonis. Justru gap umur antara oma dengan yang muda bukan masalah,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa para pekerja lansia justru sering membawa semangat yang tinggi, serta nilai-nilai disiplin dan etos kerja yang kuat.
Cerita positif lain datang dari industri kuliner berskala besar. Boga Group, perusahaan F&B dengan lebih dari 200 outlet di Indonesia, kini membuka ruang bagi pekerja lansia. Presiden Direktur Boga Group, Kusnadi Rahardja, bercerita bahwa awalnya perusahaan sempat ragu soal produktivitas mereka. Namun setelah beberapa kali mencoba, hasilnya jauh lebih baik dari ekspektasi.
“Bagi kami, ini bukan sekadar membuka lapangan pekerjaan untuk kepentingan perusahaan, namun lebih dari itu, ini adalah bagian dari tanggung jawab sosial kami,” jelas Kusnadi. Ia mengatakan proses rekrutmen bagi lansia dibuat lebih ramah, tanpa seleksi usia dan tanpa persyaratan administratif yang rumit, cukup dengan satu syarat utama: lulus tes kesehatan dasar.
Kebijakan ini pun ikut mengubah pandangan publik tentang peran lansia di dunia kerja. Bahkan, seorang warganet mengunggah kisah ayahnya, seorang lansia yang diterima bekerja di Boga Group. Unggahan tersebut langsung mendapatkan respons positif, menunjukkan apresiasi besar masyarakat terhadap perusahaan yang memberi ruang bagi pekerja lintas usia.
Melihat berbagai dinamika yang dihadapi Endang dan banyak pekerja lansia lainnya, jelas bahwa isu ini bukan sekadar cerita personal, ini adalah gambaran struktural tentang bagaimana dunia kerja di Indonesia masih tertinggal dalam memberi ruang bagi pekerja senior.
Padahal, pengalaman dan keterampilan yang mereka miliki tidak kalah pentingnya dibanding tenaga kerja muda. Karena itu, penting untuk menengok bagaimana negara lain membangun sistem yang lebih inklusif dan berpihak pada lansia, bukan hanya sebagai tenaga kerja, tapi sebagai warga negara yang tetap punya hak untuk hidup produktif dan bermakna.
Dari sini, kita bisa melihat praktik terbaik yang sudah terbukti berhasil memberdayakan lansia dan mungkin bisa jadi inspirasi bagi Indonesia. Berikut adalah negara-negara yang paling sukses menciptakan ekosistem kerja ramah usia.
Baca Juga: Ketika ‘Ageism’ dan Seksisme Bersinggungan Bagi Perempuan Pekerja
Negara yang Paling Sukses Memberdayakan Lansia
Pemberdayaan tenaga kerja lansia di suatu negara bukan cuma soal statistik, tapi juga cerminan struktur sosial yang inklusif dan adaptif. Beberapa negara berhasil menciptakan kebijakan konkret agar lansia tetap produktif dan bermakna di usia tua.
1. Jepang: Pemimpin Global dalam Pekerjaan Lansia
Di Jepang, populasi lansia sangat besar, tapi pemerintah malah menjalankan kebijakan untuk membuat mereka tetap bekerja lama. Dikutip dari One-third of Japanese companies keep workers employed until 70, banyak perusahaan menawarkan reemployment atau pekerjaan kembali setelah pensiun, bahkan hingga usia 70 tahun. Menurut laporan, sekitar sepertiga perusahaan Jepang sudah memperbolehkan karyawan tetap bekerja sampai usia ini.
Lewat Undang-Undang Stabilitas Pekerjaan Lansia, perusahaan harus memilih strategi seperti menaikkan usia pensiun, menghapus pensiun wajib, ataupun membuat sistem kontrak hingga usia 70.
Budaya “ikigai” (tujuan hidup) di Jepang juga mendukung lansia untuk tetap bekerja bukan hanya demi uang, tapi karena rasa berarti.
2. Singapura: Kebijakan Pensiun dan Reemployment yang Pro-Lansia
Dikutip dari Allen & Gledhill, Retirement and re-employment ages under Retirement and Re-employment Act 1993 raised to 63 and 68, Singapura punya Retirement and Re-Employment Act (RRA) yang mewajibkan perusahaan untuk menawarkan pekerjaan ulang bagi pekerja lansia yang memenuhi syarat. Undang-undang ini membantu pekerja yang ingin terus aktif bekerja.
Menurut Kementerian Tenaga Kerja Singapura, batas pensiun minimum telah dinaikkan ke 63 tahun sejak Juli 2022, dan re-employment hingga 68 tahun.
Rencananya, usia pensiun akan naik jadi 64 tahun dan re-employment jadi 69 tahun pada 2026, menuju target 65 dan 70 tahun pada 2030.
Selain itu, pemerintah memberikan insentif lewat Senior Employment Credit untuk perusahaan yang merekrut pekerja lanjut usia.
3. Jerman: Pelatihan Ulang (Retraining) untuk Lansia
Di Jerman, pelatihan ulang menjadi kunci pemberdayaan lansia. Melalui Bundesagentur für Arbeit, pekerja tua bisa mengakses kursus teknologi digital, pelatihan vokasional, dan sertifikasi kantor, yang memudahkan mereka bergeser dari industri berat ke jasa.
Pemerintah Jerman juga punya regulasi kuat untuk melindungi pekerja senior agar tidak di-PHK tanpa alasan yang jelas, dan perusahaan didorong memberi peran baru sesuai kemampuan.
Budaya kerja di Jerman pun menunjang kolaborasi antar generasi: pekerja lansia sering menjadi mentor teknisi muda, berbagi pengalaman sekaligus keahlian.
4. Amerika Serikat: Inklusif dan Fleksibel bagi Semua Usia
Di AS, hukum memberikan perlindungan bagi pekerja senior lewat Age Discrimination in Employment Act (ADEA), yang melarang diskriminasi berdasarkan usia dalam rekrutmen, promosi, dan pemecatan.
Selain itu, fleksibilitas kerja sangat tinggi: banyak lansia memilih pekerjaan paruh waktu, menjadi konsultan, penulis, atau mentor.
Sektor-sektor seperti pendidikan, layanan pelanggan, dan konsultasi sangat terbuka karena menghargai pengalaman hidup yang dibawa oleh pekerja senior.
5. Australia: Kultur Kerja yang Humanis dan Inklusif Lansia
Australia mendorong kebijakan “age-positive” di tempat kerja. Dikutip dari Australian Human Rights Commission, Age Discrimination Legislation, Ada regulasi perlindungan usia lewat Age Discrimination Act, jadi perusahaan tidak boleh mendiskriminasi berdasarkan umur.
Selain itu, organisasi seperti Australian Human Rights Commission menyediakan sumber daya bagi perusahaan untuk mengelola tenaga kerja multigenerasi dan memahami nilai pekerja lansia.
Workplace di Australia juga makin fleksibel: jam kerja bisa disesuaikan, lingkungan kerja diubah agar ramah untuk pekerja yang lebih tua, dan ada dukungan untuk peralihan karier agar lansia tetap aktif dan sehat.
Kevin merupakan SEO Specialist di Magdalene, yang sekarang bercita-cita ingin menjadi dog walker.


