Dari luar, keberhasilan perempuan di dunia kerja sering terlihat keren dan penuh inspirasi. Tapi, ada sisi lain yang jarang dibicarakan, yaitu fenomena Queen Bee Syndrome. Ini adalah situasi ketika perempuan yang sudah mencapai posisi tinggi justru bersikap kurang suportif, atau bahkan menjatuhkan rekan perempuan lainnya yang sedang berusaha naik level di jalur karier yang sama.
Fenomena ini biasanya muncul karena ada rasa terancam. Perempuan yang sudah “sukses duluan” kadang merasa pencapaiannya jadi kurang istimewa kalau makin banyak perempuan lain yang juga berhasil. Akibatnya, mereka bisa jadi enggan membantu, atau malah mempersulit rekan perempuannya untuk berkembang. Bukannya saling dorong, malah jadi saingan yang enggak sehat.
Baca Juga: Hak Pekerja Perempuan di Indonesia yang Perlu Diketahui
Asal Usul Istilah Queen Bee Syndrome
Dikutip dari BBC, Queen bees: Do women hinder the progress of other women?, istilah Queen Bee Syndrome pertama kali muncul di tahun 1973, lewat penelitian tiga profesor psikologi dari University of Michigan: GL Staines, TE Jayaratne, dan C. Tavris. Waktu itu, mereka melihat sebuah pola menarik, perempuan yang sudah mencapai posisi tinggi di kantor malah sering bersikap dingin atau kurang mendukung perempuan lain yang sedang berjuang membangun karier.
Nama “Queen Bee” sendiri diambil dari dunia lebah, di mana hanya ada satu betina dominan yang bisa berkembang biak dan menguasai sarang. Dalam konteks tempat kerja, istilah ini merujuk pada perempuan yang berusaha mempertahankan posisi puncaknya dengan menghalangi perempuan lain agar tidak “naik kelas”.
Awalnya, konsep ini sempat jadi perdebatan karena dianggap menyudutkan perempuan, seolah-olah merekalah penyebab kurangnya solidaritas antar sesama. Tapi, seiring berkembangnya studi feminis dan psikologi kerja, semakin jelas bahwa sikap seperti itu biasanya bukan murni karena karakter si perempuan, tapi karena tekanan struktural dalam sistem kerja yang masih sangat maskulin.
Dalam dunia kerja yang cuma menyisakan “satu-dua kursi” untuk perempuan di level atas, persaingan bisa terasa lebih tajam. Jadi, wajar kalau ada rasa terancam saat perempuan lain mulai menunjukkan potensi. Hal ini juga diamini oleh Naomi Ellemers, profesor dari Universitas Utrecht, yang bilang bahwa perempuan yang sudah berhasil sering merasa mereka harus kerja ekstra keras untuk membuktikan diri. Karena itu, mereka cenderung ragu kalau ada perempuan lain yang ingin mengikuti jejaknya.
Peneliti juga menekankan bahwa Queen Bee Syndrome sering disalahpahami. Sebenarnya, ini bukan akar masalah, tapi lebih ke akibat dari sistem kerja yang masih bias gender. Jadi, kalau kita mau menghapus sindrom ini, solusinya bukan menyalahkan individunya, tapi memperbaiki sistem yang membuat perempuan merasa harus bersaing satu sama lain.
Baca Juga: Tersandera ‘Glass Cliff’, Perempuan Pekerja Sulit Berkembang
Kenapa Sih Queen Bee Syndrome Bisa Terjadi?
Queen Bee Syndrome enggak muncul begitu saja tanpa sebab. Ada banyak faktor yang memengaruhi, mulai dari tekanan di lingkungan kerja, pola pikir yang terbentuk sejak lama, sampai sistem yang belum benar-benar ramah perempuan.
Dikutip dari artikel Forbes, Queen Bees Still Exist, But It’s Not The Women We Need To Fix, berikut ini beberapa alasan kenapa sindrom ini bisa muncul di tempat kerja:
- Budaya Kerja yang Maskulin dan Super Kompetitif
Banyak kantor masih menjunjung tinggi nilai-nilai yang maskulin, seperti kompetisi ketat, sistem hierarki kaku, dan ekspektasi bahwa kalau mau sukses, perempuan harus bersikap “seperti laki-laki”. Dalam lingkungan seperti ini, perempuan yang berhasil naik ke atas sering kali merasa harus bertahan dengan cara menyesuaikan diri dan mengorbankan rasa solidaritas dengan perempuan lain.
Mereka mungkin khawatir kalau terlalu mendukung sesama perempuan, justru bisa dianggap lemah atau enggak profesional. Akhirnya, mereka memilih jaga jarak dan mempertahankan posisi mereka sebagai “yang terpilih”.
- Seksisme yang Terinternalisasi (Internalized Sexism)
Kadang, tanpa sadar perempuan bisa menyerap pandangan patriarkal, misalnya percaya bahwa perempuan enggak sekuat atau sepantas itu berada di posisi puncak. Kalau ini sudah mengakar, mereka bisa merasa seolah-olah hanya ada satu kursi untuk perempuan di atas, dan itu harus dipertahankan sendiri.
Akibatnya, alih-alih saling dorong, mereka justru saling sikut. Mereka melihat diri sendiri sebagai pengecualian, dan menilai perempuan lain belum cukup layak untuk ada di level yang sama.
- Tekanan Jadi “Satu-satunya Perempuan” di Lingkungan Top-Level
Dalam banyak organisasi, masih jarang banget perempuan yang ada di jajaran atas. Ketika cuma ada satu atau dua perempuan di posisi penting, mereka sering dapat tekanan besar karena dianggap mewakili seluruh gender. Istilahnya, tokenism.
Karena merasa harus kerja ekstra keras untuk membuktikan diri, kehadiran perempuan lain bisa terasa seperti ancaman. Rasa persaingan pun muncul, dan bukan lagi soal kerja sama, tapi soal bertahan di posisi langka.
- Minimnya Role Model dan Mentor Perempuan
Enggak semua perempuan punya kesempatan dapat mentor atau panutan perempuan saat membangun karier. Akibatnya, mereka tumbuh dengan pola pikir “harus berjuang sendiri”. Gaya kerja yang individualis ini bisa bikin mereka enggan berbagi pengalaman atau membimbing rekan sesama perempuan.
Tanpa kultur mentoring, hubungan antarperempuan di kantor bisa jadi terasa kaku, canggung, atau malah penuh curiga.
- Belum Punya Kesadaran Gender dan Semangat Kolektif
Enggak semua orang punya akses atau pemahaman soal pentingnya solidaritas antarperempuan dan nilai-nilai feminisme. Tanpa bekal ini, gampang banget terbawa arus individualisme dan saling bersaing, daripada saling angkat.
Padahal, makin tinggi kesadaran gender, makin besar peluang kita untuk melihat kesuksesan bukan sebagai ancaman, tapi sebagai peluang membuka jalan untuk perempuan lainnya.
Baca Juga: Menjadi ‘Ally’: Mengapa Pria Perlu Berjuang untuk Kesetaraan Gender
Mengatasi Queen Bee Syndrome
Menurut Naomi Ellemers, Queen Bee Syndrome enggak bisa diselesaikan hanya dengan menyalahkan atau “memperbaiki” para perempuannya saja. Masalah utamanya ada di sistem dan budaya kerja yang masih penuh bias gender. Jadi, solusinya adalah membenahi lingkungan kerjanya, mulai dari mengurangi diskriminasi, membangun budaya yang lebih inklusif, sampai memastikan setiap orang punya kesempatan yang sama buat berkembang.
Selain itu, penting juga untuk mulai mengapresiasi pencapaian perempuan di tempat kerja, sekaligus membuka ruang agar mereka bisa bantu sesama perempuan lain untuk tumbuh bersama.
Satu hal yang enggak kalah penting adalah membangun solidaritas. Hubungan yang sehat dan suportif antarperempuan bisa dibangun lewat mentoring, kerja sama tim, serta dukungan dalam perjalanan karier. Perusahaan juga punya peran besar, mereka perlu menciptakan budaya yang enggak cuma menghargai keberagaman, tapi juga mendorong lingkungan kerja yang adil dan setara bagi semua.
Kevin merupakan SEO Specialist di Magdalene, yang sekarang bercita-cita ingin menjadi dog walker.