Di tengah masyarakat patriarkal, masih relatif banyak orang yang melarang perempuan Muslim berkarier dengan dalih interpretasi agama. Apalagi sesudah menikah, masih ada perempuan yang justru dianjurkan untuk berdiam di rumah dan mengurus kerja-kerja domestik saja, alih-alih bebas memilih sendiri.
Etin Anwar, profesor dari Hobart and William Smith Colleges, New York, Amerika Serikat dan penulis buku Feminisme Islam angkat bicara soal ini dalam Webinar bertajuk “Menjadi Wanita Karier dalam Islam”, (3/7).
Berikut kutipan penjelasan Etin Anwar dalam bincang-bincang yang dipandu oleh Hera Diani dari Magdalene tersebut.
Di Indonesia, bagaimana kondisi perempuan dalam dunia karier? Sudah cukup ideal kah kondisi itu menurut Prof. Etin Anwar?
“Untuk melihat sejauh mana baik atau tidaknya, kita bisa lihat melalui gender gap Indonesia yang berada di peringkat 85 menurut World Economic Forum. Dari sini, kita bisa melihat career choice atau career orientation di Indonesia yang masih sangat rendah. Di politik, keterwakilan perempuan di jabatan kepemimpinan di pemerintahan minim. Di bidang pendidikan, jumlah dosen yang diangkat menjadi dekan atau rektor [perempuan] juga masih sangat sedikit.
Dalam keterbatasan itu, kita harus melihat genealogi karier yang dalam buku saya. Itu dibagi dalam lima era, yaitu era emansipasi, asosiasi, pembangunan, integrasi, dan proliferasi.
Era emansipasi ini adalah awal era promosi pendidikan di Indonesia. Perempuan mulai mengembangkan dan memperluas peran publik mereka dengan tokoh perempuan pionir di bidang pendidikan, seperti R.A. Kartini, Dewi Sartika, dan Rahmah El Yunusiyyah. Dari sinilah perempuan yang tadinya tidak mengenyam pendidikan, dapat bersekolah karena dulu pendidikan hanya untuk Belanda dan kaum aristokrat saja.
Kemudian, kita masuk ke dalam era asosiasi. Dalam era ini, terdapat ekspansi ruang publik perempuan yang cukup besar yang didorong melalui ajaran agama, seperti melalui fastabiqul khairat atau ajakan berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan. Pada era ini, Budi Utomo dan Muhammadiyah menciptakan gerakan perempuannya sendiri, termasuk Putri Mardika dan Aisyiyah. Perempuan dalam era tersebut terlibat dalam penyebaran dakwah ajaran Islam yang penting dalam hubungannya dengan jaringan karier karena perempuan mendapatkan exposure ke pendidikan.
Masuk ke era pembangunan ditandai dengan meningkatnya jumlah orang yang memiliki pendidikan dan pilihan karier yang lebih beragam. Hasil era pembangunan sendiri bisa kita lihat dari banyaknya jumlah SD Inpres. Akan tetapi, meski bisa dibilang karier perempuan meningkat, pemerintah memaksakan ideologi gender atau atas nama “kodrat”. Perempuan diberikan kesempatan untuk menjadi agen pembangunan, tapi dibatasi pada peran dalam keluarga. Hal inilah yang kemudian kita kenal dengan domestifikasi perempuan atau yang lebih dikenal sebagai ibuisme dalam istilah Julia Suryakusuma.
Lalu dalam era integrasi, promosi karier yang saya namakan Islamic sphere jadi area publik. Ini artinya, area publik berangsur-angsur berorientasi pada agama Islam atau Islamic oriented. Tahapan itu tidak lepas dari munculnya “hijau royo-royo”, yakni politik Pak Harto yang memiliki keberpihakan pada umat Islam. Maka kemudian muncul lah Islamic Banking, Islami Management, Islamic this, Islamic that.
Era terakhir adalah proliferasi. Era ini mempromosikan pengalaman perempuan dan agensi perempuan sebagai ethical beings. Hubungan semaraknya pendidikan Islam serta integrasi kelompok sekuler dan Islam memicu kemunculan gerakan pembaharuan Islam yang dimotori tokoh-tokoh, seperti Cak Nur, Gus Dur, dan lainnya. Mereka berkontribusi pada diskusi-diskusi mengenai perempuan dan diskusi ini sangat penting karena mereka menyejajarkan perempuan sebagai ethical agent.
Lalu bagaimana pandangan Islam mengenai karier itu sendiri menurut Prof. Etin Anwar? Karena banyak sekali narasi agama yang menganggap bahwa tempat perempuan adalah di rumah. Bagaimana cara kita meng-counter narasi semacam ini?
“Nah, narasi agama seperti itu siapa yang menarasikan? Seolah-olah narasi agama itu seragam dan dianggap sebagai kebenaran mutlak, padahal tidak demikian. Terus terang saja, menurut saya ini ada kaitannya dengan budaya kodrat. Dari zaman Soeharto, kita sudah dicekoki nilai-nilai keibuan dan pernikahan. Seolah-olah kalau kita tidak menjadi ibu atau menikah, ada yang kurang atau something wrong with us.
Menurut saya, counter-nya adalah dengan memperbanyak orang yang memahami [berbagai interpretasi agama] karena saya mendukung kedewasaan orang untuk memilih dalam beragama. Kalau kita masih terus mengikuti indoktrinasi agama tertentu, enggak selesai-selesai perbincangan mengenai hak perempuan Muslim untuk bekerja. Sementara, masih banyak persoalan lain yang harus kita hadapi.
Lagipula, bagaimana pandangan Islam mengenai karier tidak semata-mata mengenai halal dan haram saja. Kita butuh lepas dari pembacaan Alquran yang bersifat hierarkis. Maksudnya, pembacaan yang cuma mengandalkan kacamata lelaki sebagai imam yang cenderung menganggap posisi mereka lebih tinggi dari perempuan.
Apa yang kita pahami mengenai pesan di dalam Alquran dan ajaran agama Islam itu sendiri adalah tentang mempertahankan relasi kuasa melalui ayat-ayat tertentu. Misalnya, [Surat] An-Nisa yang ditafsirkan banyak orang memberi pesan adanya kepemimpinan absolut laki-laki. Padahal, kita juga perlu memahami Alquran juga memberikan kesejajaran relasi gender. Misalnya, tentang keluarga sakinah mawadah wa rahmah dibangun atas dasar cinta dan kasih sayang, yang bisa kita lihat dalam Surat Ar-Rum ayat 21.
Lalu, bagaimana menurut Prof. Etin Anwar dengan dilema perempuan yang harus mempertimbangakan kariernya karena ada pemahaman agama bahwa perempuan harus patuh pada suami? Apakah perempuan tidak bisa lepas dari hegemoni pemikiran laki-laki sebagai imam?
Perempuan itu kebanyakan punya pertimbangan ya, jika ingin melanjutkan kariernya, terutama yang sudah berkeluarga. Biasanya mereka mau promosi jabatan pun harus menanyakan pendapat suami. Namun, harus diketahui Allah sangat menghendaki tiap makhluknya termasuk perempuan untuk mampu menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri. Ini ditegaskan dalam Surat Al-Baqarah ayat 30 yang menyatakan: “Sesungguhnya Allah menciptakan manusia, laki-laki, dan perempuan untuk menjadi pemimpin.”
Kesejajaran relasi di dalam Alquran juga bisa dilihat dari ayat Ati’ullaha Wa Ati’ur Rasul pada An-Nisa ayat 59 yang menegaskan bahwa ketaatan kita sebagai Muslim hanya pada Allah dan Rasul, bukan kepada laki-laki atau dalam relasi keluarga itu suami.
Jadi, karier perlu dipahami sebagai wacana yang selalu bergerak dengan tujuan tunggal bahwa perempuan berperan di ruang publik adalah bentuk ketaatan mereka kepada Allah dan Rasulnya. Ini juga bentuk usahha dirinya menyebar kebaikan dan manfaat bagi alam semesta, sebagai bagian dari misi manusia yang telah dijelaskan di dalam kitab suci.
Pertanyaan terakhir, karier disebutkan di awal sebagai produk kapitalisme dan kolonialisme. Apakah model tersebut sudah cukup Islami, atau kita hanya melanjutkan produk kapitalis saja?
Kata Shahab Ahmed dalam bukunya What is Islam, yang memberikan kita label Islam ya kita sendiri. Misalnya, karier saya sebagai guru saya katakan Islamic karena I think so. Sama halnya dengan terorisme, apakah itu Islamic? Kalau orang itu percaya itu Islamic, ya itu Islami. Jadi menurut Ahmed, agama Islam itu individualis bergantung pada masing-masing orang secara spesifik.
Betul, karier itu produk kapitalisme dan kolonialisme tetapi cara keluar dari lingkaran itu tak cukup dengan retorika agama saja, karena Allah menginginkan orang Islam itu kuat secara ekonomi. Dalam sejarah Islam pun, Rasul hijrah ke Madinah untuk memperjuangkan Islam dalam rangka apa? Dalam rangka livelihood. Ketika Nabi menyatukan Makkah dan Madinah, apakah enggak ada konsiderasi ekonomi? Tentu ada.
Jadi kita enggak bisa melihatnya hitam-putih, we have to make it as Islamic. Balik lagi ke tujuannya, niatnya, Rasul ketika itu juga enggak berbicara dari haram atau halal, do and don’ts. Lebih fleksibel, kalo enggak ya Islam enggak akan mudah diterima.
Jasmine Floretta V.D. adalah pecinta kucing garis keras yang gemar menghabiskan waktunya untuk membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.