Erike Kusumawati: Berdikari Sejak Pandemi lewat Jualan Roti

“Perempuan itu harus tangguh, kuat, dan cerdik. Kalau tidak begitu, dia akan musnah ditelan kehidupan,” tutur Erike Kusumawati saat ditemui di kediamannya di kawasan Pegadungan, Kalideres, Jakarta Barat. 

Menjadi seseorang yang sempat mengidap COVID-19 membuat Erike harus mencari pekerjaan tambahan untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan kebutuhan sehari-hari seperti belanja bulanan. Hanya sekadar bertahan dengan komisi yang didapatkan suaminya, Sonwell Santoso, sebagai agen asuransi tidaklah cukup. Terlebih, ada kebutuhan sehari-hari yang semakin meningkat sejak resesi ekonomi karena pandemi. Oleh sebab itu, berawal dari 2020, Erike memutuskan untuk berjualan roti. 

Cikal bakal usaha kuliner ini sesungguhnya bermula dari hobi dan sekadar coba-coba. 

Sebelumnya, perempuan 48 tahun ini tidak tahu cara membuat roti dan hanya mencoba-coba memasuki dunia usaha panganan tersebut. Dengan bantuan teknologi seperti YouTube, semua orang bisa belajar apa pun, termasuk dirinya. Melalui video-video YouTube yang dia tonton, perlahan-lahan Erike belajar membuat roti dari nol. Salah satu yang dipelajarinya adalah roti baso atau biasa disebut roti Henis. 

“Dari dulu saya suka sekali sama roti Henis, tapi kalau terus-terusan beli kan mahal, ya. Jadi, saya coba bikin saja. Mumpung peminatnya banyak,” kata Erike sambil tertawa kecil saat diwawancarai pada Senin (26/04). 

Baca juga: Dian Eka Purnama Sari: Perempuan Pengusaha yang Lawan Stereotip
Dari penjualan roti tersebut, Erike bisa meraup penghasilan hingga 2 juta rupiah per harinya. Namun, hanya satu macam makanan saja tidak cukup, begitu pikir Erike. Ibu beranak satu ini juga membuat makanan kecil seperti kroket dan risol, kue, serta dessert seperti puding. 

Hampir Selalu Semua Pekerjaannya Dilakukan Sendiri

Roti buatan Erike bisa didapatkan melalui proses pemesanan terlebih dahulu atau sistem pre order (PO). Untuk pendistribusiannya yang dalam jumlah besar, mereka tidak memungut biaya alias gratis.

Proses pengerjaan roti dimulai Erika dari pukul 06.00 pagi. Pekerjaan pertamanya hari itu adalah membuat kroket–makanan kecil yang berbahan dasar kentang dan diisi dengan cincangan wortel, sayuran hijau, dan potongan ayam kecil-kecil. Olahan itu dipadukan dengan isian krim gurih yang disebut rogut–berjumlah 112 buah.

Sebagian besar pekerjaan Erike tidak dibantu siapa pun. Hanya kadang-kadang saja dia dibantu oleh pembantu paruh waktunya, Kesi, jika beban kerja yang ditanggung terlalu banyak.  

“Kalau udah orderan banyak gini, saya ngakalinnya dengan buat isinya dulu satu-dua hari sebelumnya. Hal ini juga udah termasuk ngupas dan numbuk kentangnya. Kalau semua itu sudah, akan dibumbui kentangnya supaya nggak hambar-hambar banget,” ujar Erike di sela-sela kerjanya.

Sekitar pukul 14.00 WIB, Erike itu tampak serius menguleni adonan kroket. Proses ini dilakukan selama beberapa menit sebelum akhirnya berlanjut ke tahapan selanjutnya yaitu, memecah adonan menjadi bagian-bagian kecil sebelum nantinya dibentuk seukuran bola kasti. Usai itu, adonan akan dipipihkan seukuran tidak lebih dari telapak tangan dan diisi dengan filling rogut.

Setelah berkutat selama tiga jam, kroket yang sudah jadi akan dibalur dengan lapisan telur dan tepung roti sebelum memasuki penggorengan.

Selanjutnya, Erike memasuki tahap pengerjaan yang kedua yaitu, membuat roti baso. Proses yang dilakukan untuk membuat roti tidaklah mudah dan cepat. Kalau dihitung-hitung, untuk menyiapkan satu loyang berisi 20 buah adonan, memakan waktu pengerjaan selama 3-5 jam. Mulai dari membuat adonan, menguleni, membulatkan adonan menjadi bola-bola berdiameter 2-5 cm, hingga masuk ke panggangan. 

“Total-total 12 jam untuk pesanan 200 buah, sama seperti kroket dari siang hingga malam,” kata Erike setengah menghela. 

Dari segi modal, uang yang dikeluarkan untuk usaha ini tergolong tidak besar dan relatif terjangkau. 

“Kalau dihitung-hitung, pengeluarannya sebesar 200-300 ribu. Ini sudah termasuk dari pembelian bahan-bahan, tenaga, packaging, dan waktu pengerjaan. Dan, tergantung juga dari pesanan dan jumlahnya mau apa dan seberapa,” kata Sonwell.

Bisnis Perempuan Lebih Bisa Bertahan Selama Pandemi

 Usaha yang dilakukan Erike dan Sonwell seperti ini tengah digandrungi banyak orang khususnya di tengah pandemi wabah virus COVID-19. Terlebih, mengingat semakin besarnya jumlah pekerja yang di-PHK dari hari ke hari. 

Sebanyak 60 persen usaha kecil dan mikro yang paling baik bertahan dari krisis moneter, ekonomi pangan, dan energi dimotori oleh perempuan. Dilansir Katadata.id, sebanyak 49 persen perempuan merupakan pewirausaha dengan bisnis yang mereka jalankan sendiri. 

Namun, ketidakpercayaan diri, pikiran akan takut gagal masih merundungi sebagian perempuan untuk berwirausaha. Belum lagi, jeratan konstruksi sosial yang mana mengharuskan perempuan untuk hidup di ranah sumur, dapur, dan kasur yang membatasi potensi perempuan untuk lebih menggerakan UMKM dan kewirausahaan di Indonesia.

Baca juga: Dari Budaya sampai Agama, Ini 4 Hal yang Hambat Perempuan Berkarier

Oleh karenanya, dibutuhkan suatu lembaga atau pelatihan khusus untuk mendukung kemajuan perempuan dalam hal berwirausaha dan berbisnis baik dalam skala kecil maupun besar. Tentunya, pelatihan yang dimaksud tidak harus bersifat formal dan mengeluarkan uang. Tapi, bisa dimulai dari video-video YouTube, online training, dan sebagainya.


Evania Raissa, seorang introver yang doyan nulis, baca, dan fangirl soal BL. Connect with me @karinnaseraphine @evaniaraissa_99

+ posts