Beberapa tahun lalu, ada satu iklan cat merek lokal yang membuat dahi saya berkerut. Iklan tersebut memperlihatkan seorang perempuan menggunakan gaun putih sedang berjalan di taman dan memutuskan untuk duduk di sebuah kursi taman biru.
Sesaat setelah duduk, seorang tukang cat langsung berteriak “Awas cat basah” dan si perempuan langsung buru-buru mengangkat roknya hingga pahanya tersibak dan kamera menyoroti daerah pahanya.
Iklan ini hanya salah satu contoh yang memperlihatkan bahwa perempuan masih diseksualisasi dalam industri periklanan.
Isu dalam periklanan Indonesia dan global tidak hanya berhenti pada seksualisasi perempuan. Ada juga peran-peran gender kaku dalam skenario iklan yang memperkuat stereotip gender. Salah satu contoh yang paling legendaris adalah pada gambar kemasan kaleng biskuit Khong Guan, yang menggambarkan ibu beserta anak-anaknya yang sedang makan bersama ini banyak mengundang pertanyaan, “Loh, bapaknya ke mana?”.
Baca Juga: Nangis atau Bengis: Stereotip Perempuan di Sinetron
Ilustrator gambar kaleng biskuit yang melegenda itu, Bernadus Prasodjo, mengatakan kepada media bahwa ia hanya mengikuti arahan dari pihak Khong Guan untuk gambar itu. Tapi ia punya teori sendiri: Itu cara Khong Guan untuk memengaruhi ibu rumah tangga agar membeli produk mereka. Jadi, karakter yang penting dalam ilustrasi tersebut adalah sang ibu, karena toh yang belanja ibu.
Dikutip dari laman Campaign setidaknya ada enam stereotip gender terhadap perempuan yang sering kali ditemukan dalam periklanan.
- Domestik obsessive: stereotip yang menggambarkan perempuan sangat bersemangat penuh energi ketika mengerjakan pekerjaan domestik yang biasanya berhubungan dengan membersihkan rumah.
- Selfless nurturer: stereotip karakter perempuan yang digambarkan mengutamakan keluarga ketimbang dirinya, biasanya karakter tersebut digambarkan sebagai seorang ibu.
- Sex object: Ini seperti yang terjadi pada iklan cat di awal, bagaimana karakter perempuan digambarkan sangat menggoda dengan atribut-atribut sensual.
- Unattainable goddes: perempuan digambarkan sangat sempurna, tidak ada kekurangan sama sekali secara fisik, sangat ideal tapi tidak realistis.
- The fraught juggler: stereotip karakter perempuan, khususnya ibu, yang digambarkan super sibuk dengan banyak pekerjaan yang ia kerjakan dari domestik hingga publik, dan ia terlihat tidak bahagia.
- The bit part: karakter perempuan hanya dijadikan peran pendukung karakter laki-laki.
Potret Laki-Laki yang Gagah dalam Iklan
Lalu bagaimana dengan laki-laki dalam skenario-skenario iklan? Bapak di kaleng Khong Guan menghilang entah ke mana, dan biasanya dalam iklan pembersih pakaian pun bapak juga absen. Apakah memang skenario tersebut masih relevan dalam situasi sekarang?
Dalam podcast FTW Media episode “Stereotip Perempuan dalam Iklan”, Fauzan, dari komunitas Aliansi Laki-Laki Baru (ALB), sebuah gerakan laki-laki untuk kesetaraan gender, mengatakan hingga saat ini ia masih belum melihat perubahan yang signifikan dalam iklan.
Baca Juga: Guru Perlu Hapus Stereotip Gender untuk Dorong Kepemimpinan Perempuan
“Meski terkadang ada beberapa konten menggambarkan perempuan di ruang publik seperti di perkantoran dan sekor bisnis, tetap saja mereka belum banyak digambarkan sebagai pembuat keputusan,” ujar Fauzan.
Ia menambahkan, laki-laki yang diposisikan di ranah domestik, mereka hanya digambarkan sebagai pembantu ibu atau bahkan cuma menonton televisi atau berkegiatan lain sementara ibu memasak.
“Pesan-pesan yang disampaikan dalam visual seperti ini bisa melanggengkan pemikiran patriarkal dalam masyarakat, dan sebetulnya sudah tidak relevan dengan keadaan seperti ini. karena pada kenyataannya peran laki-laki dan perempuan itu bisa dipertukarkan,” kata Fauzan.
Mengapa ini Terus Terjadi
Jika produsen dan pembuat iklan selalu berdalih bahwa iklan yang mereka buat sesuai dengan keinginan pasar, secara pribadi Fauzan merasa tidak terwakili oleh iklan-iklan seperti itu.
“Nyatanya yang ditampilkan dalam iklan tersebut jauh dari realitas yang ada, sebab peran laki-laki dan perempuan sangat cair banget dan bisa saling mengisi dan bisa berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan kebutuhan,” ujarnya.
Sebagai konsumen, Fauzan mengatakan bahwa iklan yang masih menggunakan skenario yang stereotip gender seperti ini juga bisa mempengaruhi keputusan konsumen secara sadar atau tidak sadar.
Baca Juga: Tokoh Perempuan Disney Masih Terjebak Stereotip Negatif Perempuan Pemimpin
“Iklan yang seperti itu bisa menimbulkan pengelompokan produk berdasarkan jenis kelaminnya misalnya, kebutuhan dapur itu yang tahu hanya perempuan, lalu iklan susu anak pun juga sama diperlihatkan hanya ibu saja yang paham. Ketika laki-laki ingin mencari referensi soal produk-produk tersebut, ya dia jadi bingung sendiri,” katanya.
Liestianingsih dari Pusat Penelitian Studi Wanita Lembaga Penelitian Universitas Airlangga, mengatakan bahwa narasi-narasi penuh stereotip gender ini seperti lingkaran setan yang agak sulit untuk diputus sebab terkadang stereotip tersebut juga datang dari pihak produsen.
“Agak sulit untuk keluar dari konstruksi seperti ini. produsen dan biro iklan perlu melihat lagi sekarang di masyarakat sudah ada perubahan loh. Laki-laki ada juga yang mengerjakan pekerjaan domestik dan perempuan yang bekerja. Ini kan menjadi menarik ketika dihadirkan dalam sebuah iklan. Dan ini butuh waktu yang panjang untuk membongkar cara pandang seperti ini,” ujarnya.
Walaupun Kecil Perubahan Tetap Ada
Meski pekerjaan rumahnya masih sangat banyak, beberapa produsen dan biro iklan sudah memulai melakukan perubahan sedikit demi sedikit. Salah satu iklan yang viral dibicarakan masyarakat adalah iklan kecap ABC dengan kampanyenya “Suami Sejati” yang menggambarkan para suami mulai memasak di dapur.
Eldon D’Cruz, Planning Lead dari Eldon D’Cruz, Planning Lead VML&R, agensi pemasaran digital yang bekerja bersama kecap ABC dalam menggarap kampanye tersebut, mengatakan bahwa iklan yang progresif seperti kampanye ABC tadi lebih berarti bagi masyarakat sebab iklan tersebut bermakna. Hal ini secara otomatis menjadi pembeda bagi Band yang bersangkutan yang pada akhirnya berpengaruh juga pada market share serta penjualan.
Baca Juga: Pelecehan Seksual di Industri Film dan Kenapa Perlu Lebih Banyak Pekerja Film Perempuan
Sebetulnya sudah ada panduan bagi pengiklan dalam membuat iklan yang non-stereotip. Di Indonesia, panduan tersebut sudah tertuang dalam bentuk Etika Pariwara Indonesia yang dibuat oleh Dewan Periklanan Indonesia yang anggotanya termasuk perusahaan pengiklan, perusahaan periklanan atau agensi, dan media periklanan.
RTS Masli, Mantan Direktur Eksekutif Dewan Periklanan Indonesia sekaligus Ketua Umum Dewan Perguruan Periklanan Indonesia, aturan itu termasuk idak boleh mempertentangkan atau membiaskan kesetaraan hak gender dalam segala aspek kehidupan sehari-hari.
“Contohnya nih ya, dari segi kewenangan, laki-laki dan perempuan memiliki kewenangan yang setara,” kata Masli.