Tersandera ‘Glass Cliff’, Perempuan Pekerja Sulit Berkembang
Sampai saat ini bias gender relatif masih menyandera pekerja perempuan, khususnya di perusahaan yang didominasi laki-laki. Buntut bias ini membuat kemampuan mereka dipandang sebelah mata.
Bahkan jika ingin meniti karier lebih jauh, kebanyakan perempuan terjebak dalam keadaan stagnan. Penyebabnya, masyarakat mengondisikan mereka untuk tidak berkembang dalam karier, dan perusahaan turut berperan dalam hal ini.
Saat menghadiri Pesta Perempuan yang digelar Magdalene pada (26/3), Executive Director Indonesia Business Coalition for Women (IBCWE) Maya Juwita menceritakan, salah satu perusahaan di bawah koalisi itu sempat enggan mempromosikan perempuan.
“Akhirnya mereka mempromosikan dua perempuan dari bagian sales, ke suatu daerah yang sales-nya nggak pernah nutup” ujarnya. “Setelah enam bulan, ternyata sales di sana menutup dari targetnya. Mereka menempati posisi ketiga dan keempat top sales di perusahaan.”
Peristiwa seperti yang dijelaskan Maya, merupakan contoh glass cliff. Itu merupakan kondisi ketika perusahaan mempromosikan perempuan untuk jabatan lebih tinggi, saat mengalami krisis atau sewaktu resesi, ketika kegagalan lebih mungkin terjadi.
Baca Juga: Bias Gender yang Harus Dialami Perempuan STEM
Kondisi tersebut umumnya diberikan kepada perempuan, karena perannya lebih mudah digantikan dan dikambing hitamkan. Pun jika kesuksesan diraih perempuan, akan membawa keberhasilan bagi perusahaan. Sedangkan jika gagal dan situasi di perusahaan memburuk, perempuan justru disalahkan dan laki-laki kembali ditunjuk mengambil alih peran tersebut.
Dalam Think crisis—think female: The glass cliff and contextual variation in the think manager—think male stereotype (2011) oleh profesor psikologi di University of Queensland, Australia S. Alexander Haslam, dkk., disebutkan, pada dasarnya perempuan tidak selalu diharapkan memperbaiki situasi. Acapkali, mereka diposisikan sebagai sosok yang dapat disalahkan atas kegagalan.
Pasalnya, perusahaan tidak ingin mengorbankan pekerjanya yang lebih potensial dan bernilai—dalam hal ini laki-laki. Namun, perempuan kerap menerima promosi tersebut karena tidak memiliki akses informasi terkait posisinya. Dalam hal ini, tawaran itu dianggap satu-satunya kesempatan mengembangkan karier, padahal mereka dianggap tidak berharga.
Maka itu, pekerja yang menerima promosi jabatan perlu menerima dukungan yang membantunya mengembangkan perusahaan. Karena apabila gagal membawa perusahaannya ke arah lebih baik, kemungkinannya perempuan akan meninggalkan perusahaan. Ini juga yang memperkuat stereotip tentang mereka yang kurang ahli dalam kepemimpinan, seperti disebutkan Investopedia.
Baca Juga: Kerap Dinomorduakan, Karier Perempuan Minim Harapan
Glass Cliff Merupakan Second-Generation Gender Bias
Glass cliff merupakan salah satu second-generation gender bias, yaitu bias yang tidak terlihat dan dilakukan secara tidak sadar, tetapi mendiskriminasi gender dan membentuk stereotip. Bias ini juga umumnya terjadi di perusahaan, misalnya ketika pemimpin perempuan diharapkan bersikap tegas, justru dipandang terlalu agresif dan dominan.
Sebenarnya bias ini mencerminkan nilai maskulinitas di dalam perusahaan, dan mengakar dalam kultur. Alhasil berdampak pada pengambilan keputusan proses rekrutmen, kesempatan promosi jabatan, dan penghasilan pekerja.
Pernyataan ini didukung oleh akademisi asal India, Vijay Grover, dalam Second generation gender bias: Invisible barriers holding women back in organizations (2015). Pada penelitian tersebut disebutkan, kesenjangan gaji merupakan fenomena yang terjadi di seluruh dunia, dan lebih tinggi di beberapa negara. Seperti Korea mencapai 37,5 persen, Rusia sejumlah 32,1 persen, adn Estonia sebesar 27,9 persen.
Menurut Grover, pay gap itu adalah strategi untuk memengaruhi perempuan, agar memegang jabatan tinggi di perusahaan.
Belum lagi, sebagian perusahaan cenderung lebih menyukai pekerja yang memprioritaskan pekerjaan, dibandingkan keluarga. Kondisi ini menjadi hambatan bagi perempuan yang memikul beban ganda, tepatnya mengurus anak dan rumah tangga.
Karena itu, mereka tidak memiliki waktu kerja yang cukup fleksibel, dan pekerja laki-laki kembali berdiri di bawah spotlight. Dan perempuan cenderung menginternalisasi bias tersebut, sehingga menganggap dirinya tidak memiliki kapabilitas yang cukup untuk meraih suatu jabatan.
Namun, sebetulnya tidak menutup kemungkinan second-generation gender bias dilakukan perempuan. Maya mengungkapkan, tanpa disadari ia melakukannya beberapa waktu lalu.
“Kami harus pergi ke Manila di pertengahan Mei. Nah, dua hari sebelumnya ada seorang staf yang menikah. Saya langsung bilang supaya dia jangan pergi, kan baru menikah,” ceritanya.
Bias seperti yang dilakukan Maya adalah contoh yang dilakukan atas dasar empati. Hal ini juga berlaku dalam beberapa kasus lainnya, seperti perusahaan yang tidak mengizinkan pekerja perempuan pulang malam hari karena dianggap membahayakan keselamatan. Padahal laki-laki juga sama rentannya untuk menjadi korban kejahatan.
Karena itu Maya menggarisbawahi. Yang terpenting dalam menangani second-generation gender bias adalah, bersikap terbuka dalam memberikan kesempatan, tanpa melihat latar belakang maupun gender pekerja.
“Yang penting pekerjanya ditanya dulu, jangan langsung memutuskan sendiri,” tegasnya.
Baca Juga: Bias Finansial: Asal Suami Senang: Bias Aturan Perbankan dan Sulitnya Perempuan Punya Usaha
Investasi terhadap Pekerja Perempuan
Di sejumlah perusahaan dan divisi tertentu, mempekerjakan perempuan masih dianggap lebih mengeluarkan banyak biaya. Pasalnya, ada banyak kewajiban yang harus ditanggung, seperti cuti hamil, melahirkan, menstruasi, dan berbagai keperluan keluarga yang dilihat menghambat kinerja perusahaan.
Namun, Maya justru menilai sebaliknya. Menurutnya, ketika perusahaan mendukung karier perempuan secara maksimal, akan mendorong perempuan bersikap loyal dan memiliki kinerja tinggi. Ini bentuk investasi jangka panjang, yang akan memajukan perusahaan, baik dari segi sumber daya manusia dan keuntungan.
“Dia merasa dihargai karena perusahaan udah memperjuangkan banyak untuk dia,” ungkapnya. “Jadi dia akan stay sampe perusahaan enggak butuh lagi.”
Sayangnya, investasi ini kebanyakan masih dilakukan perusahaan global ataupun berafiliasi ke luar negeri, karena merupakan global movement. Salah satunya adalah The Body Shop, yang telah melakukannya selama 20 tahun. Kini perusahaan kosmetik asal Britania Raya itu telah menuai hasilnya, dengan fasilitas yang memudahkan perempuan, terlebih yang berperan sebagai ibu.
Sedangkan sejumlah perusahaan di Indonesia masih bersifat konvensional dan investasinya lebih mengarah pada infrastruktur.
“Kecuali ada business case yang menguntungkan,” kata Maya. Padahal, investasi pada sumber daya tidak dapat dihitung secara ekonomi.
Karenanya, diperlukan komitmen dan kebijakan secara struktural dari atas ke bawah, sehingga mindset mendobrak bias dapat dibentuk dan dilaksanakan. “Yang penting komitmen kuat, along the way bisa kok nemu caranya,” terang Maya.
Read More