Kesetaraan gender di tempat kerja bisa dicapai salah satunya lewat kebijakan dan perubahan norma, termasuk soal perekrutan kepemimpinan. Astiti Sukatrilaksana, Head of Human Resource Unit UNDP Indonesia, mengatakan perusahaan perlu merekrut para pemimpin yang memiliki keberpihakan kepada kelompok marginal atau rentan seperti perempuan.
“Pemimpin seperti itu dapat membangun lingkungan kerja yang saling menghormati antara rekan kerja yang memiliki gender yang berbeda, posisi/level, usia yang berbeda guna mengatasi ketidaksetaraan gender,” ujarnya dalam Women Lead Forum 2021 (8/4) yang diselenggarakan Magdalene dengan dukungan Investing in Women, sebuah inisiatif dari pemerintah Australia.
Baca juga: Apa Itu Kepemimpinan Feminin Serta Apa Manfaatnya
UNDP Indonesia sendiri pada tahun 2020 menerima Gold Gender Equality Seal Certification, sebuah penghargaan dan pengakuan dari dunia usaha serta organisasi multilateral yang menyatakan bahwa program dan mesin penjalan UNDP di Indonesia telah mempromosikan kesetaraan gender.
“Kami menggunakan topi non-diskriminatif dalam proses perekrutan, training, sampai penilaian kinerja. Kami tidak memberikan pelabelan gender untuk sebuah peran (kerja), maka di setiap lowongan memasukkan women are encourage to apply,” kata Astiti.
“Kami juga membangun mekanisme pencegahan terhadap bentuk-bentuk pelecehan seksual dengan membuat kanal pelaporan khusus, membuat kegiatan-kegiatan pembelajaran gender untuk semua staf, serta tidak memperbolehkan adanya all male panel dalam semua kegiatan yang dilakukan UNDP,” ia menambahkan.
Selain itu, Astiti mengatakan penghitungan sistematis tentang progres kesetaraan gender di ruang kerja berguna untuk memantau perusahaan dalam membangun akuntabilitas, kepercayaan publik, kinerja profesional yang positif, dan bertanggung jawab dalam pemenuhan hak asasi manusia.
“Di manajemen itu ada pepatah klasik yang mengatakan, ‘You can’t manage what you can’t measure’. Kalau kita tidak menggunakan sistem pengukuran secara sistematis, bagaimana kita bisa tahu kemajuan kita? Menurut saya , pengukuran sistematis seperti melalui proses sertifikasi gender, bukan hanya perlu dilakukan untuk lembaga yang bekerja di sektor pembangunan seperti UNDP, tetapi juga diperlukan untuk perusahaan-perusahaan publik atau swasta,” ujarnya.
“Dampaknya, akan terjadi produktivitas kerja yang baik dan keuntungan maksimal bagi perusahaan,” kata Astiti.
Hapus Stereotip Gender di Tempat Kerja
Membangun lingkungan profesional yang dukung kesetaraan gender tidak lepas dari upaya menanggalkan stereotip gender, misalnya bahwa perempuan hanya cocok di bidang administrasi atau finansial karena “lebih teliti”, ujar Executive Director Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE). Selain itu, ruang yang menghargai kolega juga mencakup tidak membagikan tanggung jawab kerja berdasarkan diskriminasi usia.
Maya mengatakan, stereotip gender yang menyatakan perempuan tidak bisa masuk ke ranah kerja berat karena memiliki potensi cedera lebih besar harus dipertimbangkan ulang.
Baca juga: Kekerasan Seksual pada AOC Bukti Kerentanan Perempuan Bahkan di Level Pemimpin
“Ini masalah keselamatan dan keamanan dalam bekerja, berlaku untuk laki-laki dan perempuan. Makanya untuk kerja berat ada alat, seperti forklift,” tambahnya.
Untuk mendorong perempuan dalam posisi strategis, ujar Maya, tidak bisa melihat hanya dari berapa total perempuan di ruang kerja. Namun, juga melihat jumlah perempuan yang menduduki posisi manajemen atau pengambil keputusan.
“Perempuan terkonsentrasi di level bawah, seperti operator. Begitu di level eksekusi kebijakan masih lebih banyak laki-laki dibanding perempuan,” ujarnya.
Maya mengatakan, upaya menambah dan menguatkan pemimpin perempuan dapat dilakukan dengan mendorong kebijakan kesetaraan gender yang dipotret secara lengkap, termasuk menghitung dan menimbang seberapa banyak representasi perempuan dalam posisi manajer.
Sementara untuk ranah pemerintah, Maya mengatakan perlu diberlakukan sistem pelaporan investasi dan bidang usaha dengan indikator pro kesetaraan gender yang lebih spesifik. Sistem ini berkaitan dengan apakah perusahaan memiliki perspektif gender dalam proses perekrutan pekerja.
“Ini untuk mendorong kepemimpinan perempuan yang bebas dari stigma, seperti bahwa kepemimpinan perempuan melanggar agama, bahwa perempuan emosional, dan budaya yang menghambat kiprah perempuan,” ujarnya.
Baca juga: Guru Perlu Hapus Stereotip Gender untuk Dorong Kepemimpinan Perempuan
Tokoh Publik Dorong Kampanye Kesetaraan Gender dengan Pemimpin Berpihak Perempuan
Menurut Maya, salah satu solusi lain untuk memudahkan perempuan di ruang kerja adalah dengan menerapkan tugas domestik yang setara dengan laki-laki karena hal itu tanggung jawab semua orang.
Ia juga mendorong cara agar laki-laki ikut menjunjung aksi kesetaraan gender dengan lead by example atau memberikan contoh mengenai pembagian tanggung jawab domestik. Kampanye atau aksi tersebut mampu mendorong banyak orang meninggalkan pandangan patriarkal, stigma, dan stereotip usang untuk ruang keluarga yang paham kesetaraan gender, ujar Maya.
“Saya ingin melihat Presiden Joko Widodo bersama Bu Iriana menyiapkan makanan, walaupun mungkin makanan mereka disiapkan dapur istana. Maksudnya, hal ini bisa mendorong orang lain atau lead by example,” kata Maya dalam panel Women Lead Forum 2021 (8/4).
Selain itu, tokoh publik tidak boleh meninggalkan komentar bernada seksis di media sosial, melakukan kampanye yang tidak mengatur cara perempuan berperilaku, dan terus menunjukkan contoh nyata pemimpin negara mendukung tugas domestik yang adil, ujarnya.
Baca Juga: Memperkenalkan Kesetaraan Gender Mulai dari Buku-buku Teks Anak
“Jawaban saya tentang apa yang bisa dilakukan untuk mendukung kesetaraan ini sederhana, help your spouse at home,” kata Maya.
Ia menambahkan, cara yang bisa dilakukan pemerintah dalam mendukung kesetaraan gender ialah jangan mendorong regulasi yang menghambat kiprah perempuan di ranah kerja, seperti RUU Ketahanan Keluarga.
“Sudah bagus Presiden Joko Widodo ditunjuk oleh PBB beberapa tahun lalu sebagai duta He for She untuk kesetaraan gender. Namun, di sisi lain ada RUU yang mendorong perempuan kembali ke ranah domestik. Pendidikan anak dan mengurus keluarga menjadi tanggung jawab untuk perempuan saja,” ujarnya.