Disney baru-baru ini menambah satu karya dalam daftar film animasi pahlawan perempuannya: Raya and The Last Dragon. Film berdurasi 107 menit yang dirilis pada awal Maret lalu di bioskop dan Disney+ ini mengangkat sosok pahlawan dari Asia Tenggara bernama Raya.
Seperti berbagai film pahlawan perempuan Disney sebelumnya, Raya and The Last Dragon mengundang dua reaksi dari para penonton. Sebagian dari mereka mengapresiasi inisiatif Disney mengangkat cerita folklor dari Asia Tenggara serta melibatkan orang-orang keturunan Asia sebagai pengisi suara tokoh-tokoh utama dan penulis ceritanya (Adele Lim seorang Malaysia-Amerika dan Qui Nguyen seorang Vietnam-Amerika).
Namun, sebagian lainnya mengkritik film tersebut karena kurang representatif kehidupan perempuan Asia Tenggara, sekadar mencomot unsur-unsur dari berbagai negara Asia Tenggara dan mencampur-adukkannya, hingga pengisi suaranya yang kebanyakan justru berasal dari Asia Timur.
Raya and The Last Dragon mengisahkan petualangan Raya (Kelly Marie Tran), putri pemimpin Negeri Hati yang berupaya menyatukan lima negeri (Negeri Hati, Kuku, Taring, Tulang, dan Ekor) untuk melawan kekuatan jahat pembawa wabah bernama Druuns.
Tidak mudah untuk melakukan hal ini karena masing-masing negeri—yang mulanya memang bersatu di bawah nama Kumandra—punya ambisi untuk mengungguli negeri lainnya dan mengamankan negerinya sendiri. Negeri Kuku, Taring, Tulang, dan Ekor hendak merebut permata naga, yang merupakan harta berharga penyelamat seluruh dunia dari ancaman Druuns, dari tangan Negeri Hati.
Namun, alih-alih satu negeri berhasil mendapatkan permatanya secara utuh, kekacauan justru muncul hingga menyebabkan petaka besar. Tidak ada jalan lain, Raya pun mencari sang Naga Terakhir bernama Sisu (Awkwafina) untuk membantunya menyelamatkan dunia.
Di tengah misinya itu, ia harus menghadapi berbagai tantangan, termasuk yang berhubungan dengan masalah kepercayaan dan pengkhianatan.
Isu Kepercayaan dalam Film Raya and The Last Dragon
Ada dialog menarik antara Raya dan Sisu, bahwa orang-orang dari negeri lain tidak pantas dipercaya. Sikap ini tumbuh dan menetap dalam diri Raya ketika ia melihat sendiri kepercayaan yang ditunjukkan sang ayah, Benja, kepada negeri lain dalam rangka mempersatukan semua negeri, dikhianati hingga akhirnya Raya kehilangan ayahnya.
“Kepercayaan membuat dunia ini hancur,” kata Raya.
“Bukankah ketidakpercayaan yang justru membuat diri hancur?” ujar Sisu.
Dalam dunia yang berorientasi pada kompetisi, tidak jarang kepercayaan yang diberikan satu pihak disalahgunakan pihak lain demi mendapat keuntungan sendiri. Bukan hal yang langka bila kita mendengar pekerja-pekerja di suatu perusahaan saling sikut, menusuk dari belakang, hanya untuk mendapatkan posisi tinggi yang mereka inginkan atau privilese lainnya.
Di dunia usaha, masalah ketidakpercayaan ini bisa berkaitan dengan konsep “silo mentality”. Oleh Forbes, konsep ini dideskripsikan sebagai cara pikir suatu departemen, divisi, atau sektor yang tidak mau membagikan informasi kepada pihak lain dalam perusahaan yang sama. Silo mentality diasosiasikan dengan kurangnya kerja sama serta produktivitas yang lebih rendah.
Bagi orang-orang yang memilih berkompetisi dan tidak mudah percaya seperti Raya pada awalnya, sikap mereka ini menjadi tameng dalam menghadapi serangan-serangan tidak terduga. Namun, ketidakpercayaan yang terus menerus dipupuk menjadi benteng kokoh yang pada akhirnya dapat merugikan diri sendiri.
Ini terlihat dari pengalaman Raya yang ujung-ujungnya harus mengatasi tantangan dengan perkelahian karena merasa sekitarnya adalah musuh yang mesti diwaspadai. Di sini, sekilas kita bisa melihat bagaimana Raya masih memakai cara pikir maskulin bahwa untuk bisa mencapai tujuan tertentu, kita harus mengalahkan pihak lain. Menang telak atau tidak sama sekali.
Baca juga: Menjadi Pemimpin Efektif dengan Gaya Kepemimpinan Feminis
Jika ditarik ke konteks lebih luas lagi, benteng kokoh ini juga membuat kita kehilangan kesempatan untuk menemukan hal-hal baru, termasuk cara pandang yang memengaruhi sikap dan tindakan kita atas sesuatu.
Pesan tentang Menjadi Rentan
Sisu yang memberi perspektif berbeda kepada Raya. Naga biru ini menawarkan pemikiran bahwa kita bisa loh, mencapai tujuan kita melalui kerja sama dengan pihak lain. Mungkin saja, loh, saat kita bersatu, justru kita punya kekuatan lebih untuk menuntaskan misi kita.
Seratus delapan puluh derajat dari Raya, Sisu justru senantiasa mengupayakan jalan damai saat mereka berhadapan dengan pemimpin-pemimpin negeri lain. Raya memandang ini konyol, tetapi pada akhirnya, jalan yang dipilih Sisu inilah yang menyelamatkan mereka.
“Cara mendapat kepercayaan adalah dengan percaya lebih dulu,” demikian pesan dalam film itu.
Memang, memberikan kepercayaan membuat kita lebih rentan. Tapi dari Raya and The Last Dragon, kita menangkap pesan bahwa tidak apa-apa menjadi rentan, mendapat serangan, karena setelah itu kita akan menjadi lebih tangguh dan memetik banyak pelajaran dari situasi itu. Kita juga bisa mendapat atau mengalami hal positif di luar ekspektasi dengan menjadi rentan.
Raya and The Last Dragon Ajarkan Pentingnya Kolaborasi dalam Kepemimpinan
Memberi kepercayaan adalah kunci penting yang ditunjukkan oleh Raya dalam memimpin suatu misi. Dengan melakukan hal ini, ia membuka jalan untuk berkolaborasi dengan negeri-negeri lain hingga akhirnya mereka dapat mengalahkan Druun.
Jika ditilik lebih jauh, kolaborasi adalah salah satu aspek yang terkandung dalam gaya kepemimpinan feminis. Menurut Direktur Eksekutif Yayasan Plan International Indonesia Dini Widiastuti, gaya kepemimpinan ini tidak eksklusif ditunjukkan oleh perempuan, tetapi bisa juga oleh laki-laki.
“Kita bisa mengambil hal-hal positif dari sifat-sifat feminin yang mementingkan kolaborasi, bukan zero sum games (yang satu menang, yang lain kalah). Lebih ke long term thinking, ada fleksibilitas, menggunakan empati,” ujar Dini.
Baca juga: ‘Athena Doctrine’ dan Mengapa Nilai-nilai Feminin Penting dalam Memimpin
Ada berbagai alasan mengapa kolaborasi penting diterapkan dalam kepemimpinan seseorang. Salah satunya ialah dengan melibatkan orang dari beragam latar belakang serta pemikiran, gagasan atau solusi-solusi kreatif lebih dimungkinkan untuk muncul. Kolaborasi juga memungkinkan beragam sudut pandang dalam melihat suatu masalah, sehingga kemungkinan pemimpin luput memperhatikannya sampai akhirnya memunculkan masalah baru bisa tereduksi.
Selain itu, satu pemimpin tentu saja tidak memiliki seluruh keterampilan yang dibutuhkan untuk menjalankan suatu misi atau pekerjaan. Ia akan membutuhkan orang-orang lain yang punya macam-macam kompetensi untuk melengkapi dirinya hingga akhirnya misi dapat terselesaikan.
Ini ditunjukkan dalam Raya and The Dragon: Begitu besarnya kekuatan Druuns, Raya tidak akan sanggup menanganinya sendiri. Ia bahkan mesti “kalah” sejenak dan mempercayakan pesaing-yang-kemudian-jadi-sekutunya, Namaari (Gemma Chan) dari Negeri Taring, untuk mengatasi masalah yang belum dapat ia selesaikan.
Bagi sebagian orang, mengesampingkan kompetisi dan menjajal kolaborasi barangkali bukanlah hal yang gampang dilakukan, apalagi bila mereka sudah terbiasa dijejali doktrin harus selalu jadi pemenang atas yang lainnya. Tapi kita perlu meneladani Raya. Terlepas dari segala keraguan dan trauma pengkhianatan yang dimilikinya, ia memilih, “Biar saya jadi yang pertama memulainya [percaya pada orang lain]”.