Perempuan pemimpin asal Malawi, Theresa Kachindamoto, mengatakan bahwa seharusnya yang dilakukan oleh anak-anak hanya belajar serta bermain dengan teman-temannya. Namun di negara Malawi, wilayah Afrika bagian selatan, angka perkawinan anak sangat tinggi. Anak-anak perempuan di sana sangat rentan dikawinkan di usia dini dan akhirnya putus sekolah.
Theresa Kachindamoto Pemimpin Perempuan Penyelamat Anak Perempuan
Berdasarkan data dari UNICEF, 42 persen anak-anak perempuan di Malawi sudah menikah sebelum umur mereka 18 tahun. Satu dari 10 anak perempuan tersebut menikah sebelum umur mereka 15 tahun, padahal usia legal anak perempuan di Malawi untuk menikah adalah 18 tahun. Beberapa pemicunya adalah kurangnya pendidikan, kemiskinan, dan kesetaraan gender yang belum tercapai.
Melihat situasi pelik yang menimpa anak-anak ini, Theresia Kachindamoto, mantan pemimpin desa dari distrik Dedza, tidak tinggal diam. Ketika mendengar angka perkawinan anak di distriknya sangat tinggi, ia mengambil langkah strategis untuk membantu anak-anak ini keluar dari tradisi kawin anak. Ia memang kesulitan untuk membujuk para orang tua agar tidak mengawinkan anak-anak mereka, namun di sisi lain ia berhasil membuat 50 camat di daerah itu untuk menghapuskan perkawinan anak.
Bentuk Komunitas “The Mothers” untuk Pantau 545 Desa
Kachindamoto bahkan memecat wakil camat yang di daerahnya masih terdapat perkawinan anak. Ia kemudian mempekerjakan mereka kembali ketika kasus-kasus perkawinan anak tersebut telah dibatalkan. DI tahun 2019, ia berhasil menggagalkan 3.500 perkawinan anak.
Baca Juga: Guru Perlu Hapus Stereotip Gender untuk Dorong Kepemimpinan Perempuan
Perkawinan tersebut kebanyakan adalah pernikahan adat yang disetujui oleh kepala adat. Dengan menjalin kerja sama antara komunitas, pemerintah dan masyarakat, Kachindamoto dengan efektif memerangi perkawinan anak. Ia pun mendirikan sebuah komunitas bernama “The Mothers”. Group ini berisi para ibu yang secara diam-diam memantau aktivitas masyarakat di 545 desa.
Di tahun 2015, kesuksesannya berbuah disahkannya undang-undang yang mengatur usia minimum untuk laki-laki dan perempuan agar bisa menikah, yakni 18 tahun. Hal ini membuat dirinya dikenal dunia internasional.
Theresa Kachindamoto Berbicara tentang Bahaya Perkawinan Anak
Mengakhiri budaya perkawinan anak juga dapat menjauhkan anak-anak dari segala macam bahaya. Ketika anak-anak dinikahkan, organ reproduksi mereka yang masih belum matang dan tidak adanya pendidikan seksual komprehensif akan mengakibatkan timbulnya banyak penyakit. Selain itu, ketika anak-anak terpaksa atau dipaksa menikah, mereka pun putus sekolah. Hal ini akan berujung pada lingkaran kemiskinan, dan lagi-lagi sebagian besar korbannya adalah anak-anak perempuan.
Baca Juga: Masalah Kepercayaan Diri Masih Hantui Perempuan Pemimpin Bisnis
Kachindamoto selalu mengatakan bahwa untuk mengakhiri budaya perkawinan anak ini dan mengubah cara pandang masyarakat, salah satu yang perlu dilakukan adalah lewat jalur pendidikan.
“Jika kamu memberikan pendidikan pada anak perempuanmu, kamu akan mendapatkan apa saja di masa depan,” ujar Theresa Kachindamoto.
Siapa Theresa Kachindamoto?
Kachindamoto adalah anak bungsu dari 12 bersaudara dari keluarga penguasa adat di distrik Dedza. Selama 27 tahun ia bekerja sebagai sekretaris di sebuah perguruan tinggi di distrik Zomba, Malawi Selatan. Pada tahun 2003, bupati Dedza memilih Kachindamoto sebagai kepala distrik Dedza berikutnya dengan total penduduk 900.000 jiwa.