Pada tahun 1950-an, beberapa tahun setelah Soekarno dan Hatta membacakan teks proklamasi yang menandai kemerdekaan Indonesia, Indonesia memasuki babak baru dalam mendefinisikan jati diri dan identitas bangsanya dan seharusnya untuk perempuan Indonesia juga. Berbagai pergolakan sosial dan politik yang melibatkan berbagai golongan mencuat dari hari ke hari. Masalah-masalah sosial yang timbul atau terpendam akibat penjajahan perlahan muncul ke permukaan.
Para pejuang semakin berani unjuk gigi dan memberitahukan semua orang bahwa masalah itu penting dan harus segera diselesaikan. Tentu saja perjuangan itu melibatkan peran besar para pejuang perempuan. Kepemimpinan perempuan Indonesia pada awal kemerdekaan banyak berfokus pada perjuangan mewujudkan kesetaraan hak laki-laki dan perempuan di dalam pernikahan, sebuah perjuangan yang sebenarnya sudah dirintis sejak zaman penjajahan.
Pada periode tersebut, posisi tawar perempuan Indonesia dalam pernikahan sangat tidak pasti. Seperti dikisahkan Elizabeth Martyn dalam bukunya The Women’s Movement in Post-colonial Indonesia: Gender and nation in a new democracy (2005), sebagian besar perempuan Indonesia tidak memiliki perlindungan dari perkawinan anak atau perkawinan paksa. Mereka juga harus menghadapi kenyataan pahit dipoligami serta diceraikan secara sepihak tanpa alasan jelas oleh suaminya. Praktik poligami dan perkawinan paksa ini banyak dilakukan dengan mengatasnamakan ajaran adat serta agama Islam, kata Martyn.
“Banyak laki-laki yang dapat promosi untuk naik jabatan di pemerintahan/birokrasi kemudian menginginkan istri-istri yang lebih muda dan menarik. Perceraian atau poligami adalah pilihan mereka, yang tiba-tiba melihat istrinya jadi ‘ketinggalan zaman’ dan tidak sesuai dengan ‘standar yang baru’,” kata Salyo, aktivis organisasi Pemuda Puteri Indonesia (PPI) yang dikutip dalam penelitian Martyn.
Dari sinilah organisasi-organisasi perempuan bergerak. Mereka mempercayai bahwa pernikahan harus berjalan secara adil dan setara bagi perempuan, bukan hanya mengakomodasi hak-hak istimewa pada laki-laki.
Organisasi perempuan di Indonesia pascakemerdekaan dikategorisasi berdasarkan identitas diri yang mereka bawa dalam keanggotaannya, seperti para istri, kelompok agama Islam, Kristen, sosialisme, nasionalisme, atau profesi. Dari kategorisasi itu, kemudian pembagian gerakan-gerakan perempuan dipersempit dan melahirkan aliran sekuler, pejuang hak perempuan, sosialis, dan Islamis.
Baca juga: Poligami: Ketika Nafsu Menunggangi Agama
Meski memiliki ideologi yang berbeda, organisasi-organisasi perempuan pada masa ini melakukan pendekatan dan model perjuangannya sendiri yang berkontribusi terhadap lahirnya Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974. Dua organisasi yang menonjol dalam perjuangan hukum pernikahan di era ini adalah Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari) dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).
Perwari yang memilih pendekatan liberal-feminis misalnya, memfokuskan perjuangan mereka untuk mendorong terciptanya regulasi yang mengatur keadilan bagi perempuan di dalam pernikahan. Poin yang mereka fokuskan untuk hadir di dalam regulasi itu adalah ketentuan monogami, usia minimal pernikahan, kesetaraan ketentuan dalam perceraian, hak milik dan warisan, serta hak dan kewajiban suami dan istri dalam pernikahan.
Perwari percaya bahwa hukum dan regulasi adalah strategi terbaik untuk meningkatkan status perempuan dan menegakkan hak-hak mereka. Di bawah pimpinan Sri Mangunsarkoro, ketua pertamanya, Perwari gencar melakukan forum publik, petisi, demonstrasi di jalanan, dan delegasi dengan pemerintah untuk melancarkan agenda mereka.
Menjadi pemimpin dan penggagas gerakan perempuan memang bukan lagi hal baru bagi Sri Mangunsarkoro, yang sebelum menikah dikenal dengan panggilan Ni Wulandari. Berbagai gerakan dan organisasi yang dipimpinnya memang konsisten menjadi corong suara perempuan untuk mencapai kesetaraan, dimulai dari menjadi pemimpin Kelompok Pekerjaan Tangan Keputrian Jong Java cabang Salatiga, lalu menjadi ketua Keputrian Jong Java pada 1920, menjadi ketua Wanita Taman Siswa cabang Jakarta, Ketua Kongres Perempuan Indonesia II di Jakarta pada tahun 1935, sampai ketua Badan Penyelidikan Perburuhan Perempuan Indonesia (BPPPI).
Sejalan dengan Perwari, perjuangan Gerwani juga menuntut pada poin-poin kesetaraan yang sama. Ketidaksetujuan mereka terhadap poligami bahkan membuat mereka tak tanggung-tanggung untuk mengeluarkan anggota yang bersedia dijadikan istri kedua. Yang membedakan perjuangan Perwari dan Gerwani adalah perspektif pemikiran mereka. Menurut perspektif sosialis-feminis Gerwani, akar permasalahan dari ketidaksetaraan yang menimpa perempuan di dalam pernikahan adalah ketidaksetaraan di dalam masyarakat secara umum. Mereka percaya bahwa keadilan bagi perempuan dalam pernikahan hanya bisa dicapai bila struktur masyarakat dirombak.
Baca juga: Kepemimpinan Perempuan Era Orde Baru: Jadi Istri dan Ibu Nomor Satu
“Selama masyarakat ini belum terbebas dari eksploitasi, perempuan akan selalu dieksploitasi di dalam pernikahan,” kata salah seorang pendiri dan anggota Gerwani, S. K. Trimurti, dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Praeadvies Soal Perkawinan” (1952).
Selain menentang poligami, kawin paksa, dan kawin anak, Gerwani juga kerap mengampanyekan pemberantasan tindak kekerasan seksual. Kampanye itu berhasil menjadikan Gerwani organisasi perempuan terbesar di Indonesia yang diklaim anggotanya mencapai 1,5 juta orang. Salah satu kasus yang gencar dibela Gerwani adalah kisah Maisuri, gadis remaja yang dipaksa menikahi seorang kiai yang sudah punya tiga orang istri dan 12 orang anak, seperti disebut Saskia Eleonora Wieringa dalam buku Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI (2010).
Bersama berbagai organ milik Partai Komunis Indonesia (PKI), kelompok yang memiliki hubungan dekat dengan Gerwani, Gerwani gencar melaksanakan aktivismenya lewat tulisan-tulisan di surat kabar dan majalah. Kedekatan keduanya memang kerap mengundang kontroversi. Tapi dalam agenda perjuangan kesetaraan gender yang Gerwani usung, hubungan itu sedikit banyak sudah mennguntungkan Gerwani. Misalnya, Harian Rakjat milik PKI terus mewartakan kasus Maisuri lewat artikel-artikel panjang, juga mengecam kecaman keras terhadap pernikahan paksa.
Perjuangan lewat kegiatan jurnalistik memang jadi salah satu strategi yang banyak dilakukan organisasi perempuan di masa ini, termasuk Perwari yang gencar menuliskan kritiknya lewat Suara Perwari, sebagaimana Gerwani mempunyai Api Kartini. Strategi perjuangan pena yang dipilih keduanya ini, di samping pidato dan menghadiri berbagai konferensi, terbukti berhasil menyentil banyak pihak. Ketika tulisan-tulisan kritis itu tersebar dan dibaca banyak orang, semakin banyak perempuan Indonesia yang matanya terbuka hingga memutuskan untuk ikut terjun ke perjuangan perempuan.