Primadona dalam Arsitektur Masih Laki-laki

Anehnya pendapat seksis ini juga diamini oleh Ibu Mieke Damayanti, yang merupakan pengajar arsitektur dari sebuah universitas swasta terkemuka. Perempuan seakan tidak menyadari apa yang berbahaya bagi dirinya dan kaumnya, selama mereka bisa masuk dalam lingkar elite arsitek, mereka akan mengikuti apa pun yang menjadi norma di sana. 

Kultur individu cemerlang dan penyembahan starchitect ini menjadi sesuatu yang toksik, karena sistem ini memberi kuasa lebih kepada starchitect yang membuat mereka merebut otoritas atas siapa yang berhak berbicara atas nama arsitek dan tentang arsitektur. Ketika ada pertanyaan, “Di mana suara perempuan arsitek,” seakan hanya perempuan arsitek yang berprestasilah yang berhak bersuara. Jika ini disebut feminisme, maka ini hanyalah feminisme gaya hidup. Feminisme seperti ini hanya menginginkan kesetaraan normatif tanpa “menggoyang” apa pun di dalam sistemnya yang patriarkal.

Memang feminisme merupakan hal yang asing di arsitektur. Semangat feminisme yang kolektif dan berbasis solidaritas juga menjadi hal asing di arsitektur yang punya kultur yang sangat soliter. Arsitek menerima hierarki sebagai sebuah keniscayaan karena arsitek dididik dalam ritus yang hierarkis.

Baca juga: Jalan Terjal Jadi Kepala Sekolah Perempuan di Indonesia

Di masa lalu, arsitek hanya akan lulus sebagai arsitek jika gurunya sudah menyatakan dia layak. Apa pun yang diminta dan diperintahkan oleh sang guru menjadi sebuah kewajiban bagi arsitek untuk melakukannya. Rasanya ini yang membuat feminisme menjadi hal yang sulit dimengerti dalam arsitektur. Karena feminisme adalah sikap politik. Jika feminisme percaya bahwa hierarki melahirkan dominasi, maka feminis seharusnya berjuang membongkar hierarki dan melawan apa pun yang menjadi representasinya.

Untuk mendekonstruksi sistem nilai ini, agensi pada arsitek-arsitek muda, khususnya perempuan arsitek menjadi sebuah urgensi. Mereka harus bisa membayangkan apa itu arsitektur tanpa harus meminta afirmasi dari starchitect. Hal ini juga masih menjadi sesuatu yang jauh panggang dari api, mengingat kultur pendidikan arsitek cenderung “mendoktrin” mahasiswa arsitek untuk menjadi “individu cemerlang” melalui panggung-panggung dan pemberitaan di media yang selalu berintonasi positif dan penuh puja-puji. Hierarki yang ada di dunia praktik juga dikuatkan oleh sistem media yang tidak punya visi.

Menghadapi rangkaian sebab akibat yang rumit ini, perlu ada gerakan perempuan dalam arsitektur yang “keluar” dari lingkaran arsitek. Kita tidak bisa mengkritik arsitektur hanya dengan arsitektur. Arsitektur tidak punya pengetahuan untuk mengerti tentang relasi kuasa, atau seksisme, atau bahkan sistem sirkular ekonomi. Di dalam ruang gerak arsitek sesungguhnya ada banyak kejadian dan pengetahuan di luar arsitektur—yang sayangnya selalu diabaikan arsitek. Untuk bisa berdampak, arsitektur harus ditajamkan dengan yang lain di luar arsitektur. Dan untuk membangun kesadaran akan penindasan dan eksploitasi dalam praktik, feminisme bisa menjadi titik berangkat yang baik.

Perlu ada gerakan perempuan dalam arsitektur yang “keluar” dari lingkaran arsitek. Karena arsitektur tidak punya pengetahuan untuk mengerti tentang relasi kuasa, atau seksisme, atau bahkan sistem sirkular ekonomi.

Ada dua hal mendasar dari isu perempuan yang perlu dibicarakan secara terus-menerus dalam praktik arsitek. Pertama bagaimana merebut kembali otoritas untuk bersuara sebagai arsitek yang selama ini didominasi elite. Lalu, bagaimana mendorong partisipasi yang lebih besar dari kelompok-kelompok minoritas (baik perempuan dan non-biner), sehingga tercipta inklusivitas yang bisa “mengusik” suara mayoritas dalam wacana arsitektur arus utama.

Tentu, untuk mendudukkan isu gender dalam praktik arsitek, kita perlu mendefinisikan pola-pola relasi antara arsitek dengan orang-orang yang bekerja bersamanya, juga industri yang melingkupinya. Karenanya, sangat penting mendorong adanya penelitian dan diskusi lintas ilmu untuk membangun komunikasi dengan yang lain di luar arsitektur.

Arsitek Perancis Jean Nouvel pernah mengkritik industri arsitektur yang menurutnya malah “terjun bebas” justru ketika industri konstruksi berekspansi. Ini sebuah gejala yang jelas, betapa arsitektur hanya akan melakukan bunuh diri ketika dia tidak siap membuka diri dan berubah. Michál Cohen, Direktur Walters and Cohen pernah berkata, “Changing current practice is important, but changing future practice is fundamental.”

Sylvania Hutagalung, perempuan yang belajar arsitektur secara formal dan belajar menulis secara informal. Baginya menulis adalah mencari masalah. Namun dia percaya, itulah tugas seorang terpelajar.