Ketika arsitek membicarakan arsitektur, mereka (hampir selalu) membatasi diri pada persoalan tektonik dan bangunan semata. Arsitek seakan alergi dengan yang lain di luar arsitektur. Profesi ini selalu mempertanyakan, “Di mana suara perempuan”, namun abai terhadap realitas praktik yang membuat suara-suara itu hilang.
Pada esainya, Denise menuliskan keheranannya, karena banyak perempuan mengaku tidak mengalami diskriminasi di profesi ini, padahal sejak dari awal karier sebagai arsitek, perlakuan berbeda sudah terjadi antara perempuan dan laki-laki. Dari hal yang paling sederhana saja, seperti prasangka bahwa perempuan lemah dan kurang kompeten yang menyebabkan perempuan jarang dipercayakan tanggung jawab yang besar, hingga hal-hal yang brutal, seperti seksisme, kesenjangan gaji, dan pelecehan di lokasi konstruksi. Keheranannya bertambah ketika diskriminasi ini terakumulasi lalu menjelma menjadi kesenjangan yang besar, rata-rata perempuan malah menyalahkan dirinya karena merasa dia kurang berusaha keras.
Primadona dalam Arsitektur: Sulit Paham Feminisme
Bagaimana dengan arsitektur di Indonesia? Kecenderungan yang sama juga terlihat jelas. Banyak perempuan arsitek yang melihat bahwa menjadi arsitek yang “bener” dan “diterima” dalam lingkar arsitek menjadi satu-satunya jalan emansipasi. Mereka berlomba-lomba menjadi individu cemerlang, maskulin, dan menenggelamkan dirinya hanya untuk berarsitektur. Ini terbaca ketika dalam sebuah debat terbuka, Irianto Purnomohadi, seorang arsitek papan atas Indonesia, menyerukan agar semua arsitek menyelesaikan masalahnya masing-masing di luar studio, sehingga ketika masuk ke lingkungan praktik semua arsitek hanya akan murni berarsitektur. Pendapat ini khas laki-laki patriarkal yang mengukur segala sesuatunya pada produktivitas.
Baca juga: ‘Siapa yang Memasak Makan Malam Adam Smith?’: Kebaikan yang Dinihilkan