Enggak Pede dengan Gaji dan Profesimu? Kamu Perlu Baca Ini

Bekerja di sebuah agensi membuat “Kania” (22) tidak percaya diri dengan profesi dia dan gaji yang dia terima. Berulang kali ia membandingkan diri dengan anggota keluarga yang dinilainya lebih terpandang.

“Kakak pertama saya karyawan swasta di perusahaan tambang dan yang kedua seorang dokter, sedangkan Papa bekerja sebagai direktur keuangan di perusahaan teknologi informasi swasta. Jadi, gaji saya enggak ada 10 persennya gaji mereka,” ujarnya kepada Magdalene (25/10).

Selain terbebani akibat membandingkan profesi dirinya dengan anggota keluarganya, Kania sendiri masih memiliki cara berpikir generasi terdahulu yang menganggap pekerjaannya baru dianggap bonafide apabila menjadi karyawan di perusahaan besar dan ternama.

Pengalaman serupa pun dirasakan Laras, (23), seorang kreator konten di perusahaan startup, sewaktu magang di perusahaan tersebut. Saat itu, ia digaji per hari dan pekerjaannya mengharuskannya lebih sering ke kantor. Sementara, rekan kerjanya yang work from home menerima upah lebih tinggi.

“Bukan membandingkan pekerjaan saya, tapi ke kantor kan perlu ongkos dan uang makan, sementara gaji saya lebih kecil. Rasanya jadi enggak adil,” katanya. 

Setelah menjadi karyawan tetap, Laras pernah iri karena melihat orang lain yang pekerjaannya dapat dilakukan dengan fleksibel tanpa harus ke kantor.

“Mereka bisa menyimpan ongkosnya untuk kerja dari Bali sekaligus have fun, sedangkan saya harus mengeluarkan sebagian gaji untuk ongkos, uang makan, dan bayar cicilan. Bahkan, untuk kasih ke orang tua aja masih sedikit,” ujar Laras.

Sebetulnya, wajar apabila kita merasa insecure tentang pekerjaan dan penghasilan, terlebih jika baru bekerja untuk pertama kali. Pun banyak konten di media sosial dan warganet yang mematok gaji setinggi mungkin sebagai standar hidup sejahtera, dengan anggapan setiap orang memiliki kebutuhan sama.

Untuk mengatasi persoalan ini, ada beberapa hal yang perlu kamu perhatikan agar lebih percaya diri dengan profesi maupun penghasilan kamu. 

1. Perlunya Budgeting

Budgeting atau mengatur anggaran pribadi merupakan salah satu kunci dalam mengelola keuangan agar penghasilan dapat disalurkan sesuai kebutuhan. Di media sosial, ada banyak cara yang disarankan oleh ahli keuangan, influencer, maupun warganet yang berbekal dari pengalamannya.

Salah satu caranya adalah membagi penghasilan ke dalam beberapa pos kebutuhan, dan menentukan persentase berdasarkan skala prioritas. Namun, persentase itu tidak dapat dipukul rata ke setiap orang karena perbedaan penghasilan dan pengeluaran. 

Certified Financial Planner, Annisa Steviani mengatakan, “Ada yang bilang kalau single, seharusnya 50 persen gajinya bisa ditabung. Padahal, yang paling tahu tentang gaji dan kebutuhan kan diri sendiri. Jadi, tidak bisa dibuat standar,” ujarnya pada Magdalene (26/10).

Menurut Annisa, yang penting dilakukan adalah mencatat pengeluaran dan penghasilan untuk melihat kebutuhan apa yang jumlahnya bisa dikurangi dan ditambahkan ke tabungan.

“Kalau misalnya orang lain bilang nabung sebaiknya tidak pakai uang sisa, menurutku enggak bisa. Ada yang melakukannya di awal, padahal uangnya belum tentu sisa. Ternyata, di akhir bulan uangnya enggak mencukupi untuk pengeluaran. Nabung itu kan penghasilan dikurangi pengeluaran,” tuturnya.

Jika demikian, artinya penghasilan belum cukup dan seseorang perlu ebih realistis dalam budgeting.

2. Belajar Merasa Cukup

David Ning, seorang ahli keuangan pribadi dan blogger finansial asal AS yang mendirikan situs MoneyNing, mengatakan dalam situsnya, membandingkan diri dengan orang lain selalu membuat seseorang merasa kurang, dan cenderung mengejar hal-hal lain yang dilihat sebagai sebuah ketertinggalan.

Maka itu, merasa cukup memiliki peran penting untuk mencapai ketenangan dalam hidup, sehingga kita memahami kebutuhan dan keinginan, bukan berdasarkan anggapan rumput tetangga terlihat lebih hijau.

“Ketika kita sudah mengontrol diri dengan baik, ada faktor eksternal yang bikin kita lagi-lagi mempertanyakan kondisi finansial. Contohnya saja, keluarga yang suka bertanya ‘kapan beli mobil?’ setelah melihat seorang kenalan melakukannya, padahal kita enggak butuh,” jelasnya.

Selain itu, Annisa menuturkan, menghabiskan uang untuk menuruti emosi sesaat merupakan hal lain yang membuat seseorang sulit merasa cukup dengan penghasilan.

Pada sebagian orang, menghabiskan uang menjadi pelampiasan emosi yang dirasakan, misalnya dengan membeli sesuatu atas pencapaian berkedok self-reward, menghibur diri dengan belanja online, atau menenangkan pikiran dengan jajan makanan. Disadari atau tidak, saat melakukan itu, mereka hanya menginginkan perasaan senang yang dirasakan sesaat, atau chasing pleasure.

“Uang itu jumlahnya pasti, enggak bisa dikaitkan dengan emosi manusia yang selalu berubah. Kalau begini, artinya perlu refleksi diri,” ucapnya.

3. Pekerjaan dan Gaji Tidak Mendefinisikan Diri

Tak dimungkiri, setiap bertemu seseorang, sering kali kita dapat pertanyaan, “Sekarang kerja di mana?” atau “Jabatanmu apa?”.

Pada saat tertentu, kalimat yang umumnya ditujukan untuk mengetahui kabar terkini atau latar belakang, malah menjadi tekanan bagi yang memilih hidup biasa-biasa saja, maupun belum mencapai titik tujuan.

Selain itu, sebagian orang mengaitkan kesuksesan dengan pencapaian di pekerjaan, tingginya jabatan, atau jumlah saldo di rekening bank. Tentu sah-sah saja, tetapi secara tidak langsung, identitas diri mereka dikaitkan dengan penghasilan, sehingga mereka terjebak dalam pekerjaannya.

Satu hal yang perlu kita perhatikan, menginvestasikan sebagian besar waktu dan energi untuk berkarier membuat batas antara kehidupan pribadi dan pekerjaan menjadi kabur. 

Anne Wilson, profesor psikologi di Wilfrid Laurier University, Kanada menjelaskan, keadaan psikologis ini merupakan enmeshment, atau jeratan, dan menyebabkan krisis identitas ketika pindah atau keluar dari pekerjaan.

“Jika keberhargaan diri terikat dengan karier, kesuksesan dan kegagalan yang dialami akan berdampak langsung dengan harga diri,” katanya kepada BBC. Nantinya, hal ini berpengaruh pada kesehatan mental karena dapat memicu depresi, kecemasan, dan penggunaan obat terlarang.

Maka itu, kita perlu menyadari bahwa pekerjaan adalah salah satu bagian dalam diri, bukan menggambarkan nilai diri secara keseluruhan, sekalipun pekerjaannya diidamkan atau dinikmati. Dengan begitu, kita bisa lebih percaya diri dengan profesi kita.

4. Melakukan Pekerjaan Sampingan Jika Dibutuhkan

Selain pekerjaan utama, sebagian anak muda menganggap penting memiliki pekerjaan sampingan untuk menyambung hidup, memiliki uang jajan tambahan, ataupun tabungan.

Laras mengamini hal tersebut mengingat mahalnya cicilan rumah dan ia memerlukan pekerjaan untuk membahagiakan diri sendiri. Sementara, Kania ingin melakukannya untuk memenuhi passion-nya, yakni menulis, selain menambah penghasilan bulanan yang nilainyq sedikit lebih tinggi dari UMR Jakarta.

Terkait pekerjaan sampingan, Annisa menuturkan, hal tersebut sebaiknya dilakukan berdasarkan kebutuhan, bukan mengejar penghasilan orang lain yang nominalnya lebih besar.

“Pertama, kita harus tahu, uang dari penghasilan utama ini cukup atau enggak. Kalau merasa perlu tambahan untuk menghidupi keluarga, ambil kesempatan itu. Yang penting, selisih antara penghasilan dan pengeluarannya cukup memenuhi kebutuhan hidup,” jelasnya.

5. Mencari Tahu Arti Kesuksesan dan Tujuan Hidup

Setiap orang memiliki arti kesuksesan dan tujuan hidupnya masing-masing yang belum tentu diorientasikan dengan uang. Oleh karena itu, lihat ke dalam diri dan ketahui apa definisi kesuksesan, yang ingin dicapai lebih, mengapa hal tersebut dianggap penting, dan langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mencapainya.

Dengan demikian, kita dapat melihat apakah pekerjaan saat ini adalah salah satu langkah yang membawa diri pada titik tersebut, dan memperkirakan nominal yang diperlukan. Namun, memang tak dimungkiri, terlepas dari apa pun tujuan hidup seseorang, uang memiliki peran dalam prosesnya.

Maka itu, Annisa menyarankan, apabila modalnya masih kecil, lebih baik tidak melakukan investasi pada benda, lembaga, atau pemodal yang dianggap berharga, melainkan kemampuan diri.

Dengan mempelajari hal baru dan mengambil kursus atau sertifikasi, kita dapat meningkatkan kemampuan dan kualitas diri. Hal tersebut justru membuka kesempatan baru untuk memiliki penghasilan tambahan.

“Nantinya, penghasilan yang lebih dari cukup akan memudahkan kita mencapai tujuan, karena tabungan dan hasil kerja keras akan terlihat realistis,” terangnya.

Read More