Ratusan Kali Melamar Kerja, Ditolak karena Gendut

Saat masih kuliah, aku selalu berpikir untuk cepat-cepat lulus. Bayangan akan menjadi perempuan mandiri secara finansial, bisa sekolah lagi dengan uang sendiri selalu berputar-putar di kepalaku. Namun, kenyataan memang tak seindah harapan, Ferguso. Selepas lulus di 2018, aku harus jatuh bangun cuma demi mendapatkan satu pekerjaan.

Kendati telah melamar kerja kesana kemari, pekerjaan belum juga aku dapat. Mulanya, aku memang melamar di tempat prestisius, maklum idealisme dan gengsi sebagai fresh graduate masih kuat. Setelah melamar ke lebih dari seratus perusahaan tapi nihil, aku cuma bisa berdoa, “Enggak apa-apa pekerjaan apa saja selama halal dan aku bisa segera mandiri.” Namun, menurunkan ekspektasi pun tak cukup. Aku masih belum mendapat pekerjaan.

Puluhan kali menjalani wawancara, puluhan kali pula menerima surat penolakan. Puluhan kali menjalani psikotes, sampai-sampai aku hafal di luar kepala soal-soal yang biasanya diujikan. Perusahaan perbankan, tambang, e-commerce, makanan dan minuman, media massa, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), semua aku jajal.

Dari semua lamaran dan wawancara yang pernah aku rasakan, ada beberapa yang cukup membekas bahkan membuat level ketidakpercayaan diriku naik berlipat-lipat. Aku ditolak karena perkara berat badan.

Baca juga: Sekadar Mengingatkan, Pekerjaan Bukan Satu-satunya Identitasmu

Diskriminasi Kerja Gara-gara Berat Badan

Ceritanya, saat itu aku melamar dua pekerjaan di kota tempat aku tinggal. Perusahaannya bagus, setidaknya mereka memberikan gaji dan kesejahteraan layak untuk karyawannya, itu yang aku dengar.

Aku datang dengan percaya diri karena yakin kemampuanku berorganisasi, rekam jejakku selama kuliah cukup pas dengan kualifikasi yang dibutuhkan. Aku juga makin yakin karena pegawai di perusahaan itu bilang, perkara fisik yang good looking tak jadi pertimbangan untuk diterima di perusahaan tersebut.

Betul juga, usai mengirimkan berkas, aku dipanggil untuk interview. Salah seorang yang mewawancarai aku adalah lelaki paruh baya. Ia lantas memandangiku dari ujung kepala sampai kaki dengan tatapan template: Meremehkan dan menganggapku jelek karena berat badanku. Aku paham soal ini karena beberapa kali ditolak dengan alasan serupa.

Meskipun aku merasa gugup, aku tetap menjalani wawancara dengan maksimal. Namun, sesuai dugaan, aku ditolak lagi. Belakangan aku baru tahu, mereka yang baru terpilih, ternyata punya badan yang tinggi semampai. Nyaris tak ada perempuan dengan fisik besar yang diterima. Aku kesal. Lalu untuk apa dari awal mereka woro-woro kalau dalam rekrutmen kerja, fisik tak jadi ukuran?

Masalahnya, hal semacam ini tidak hanya sekali terjadi, aku sudah mengalaminya berulang-ulang. Aku pun berpikir, “Apa perempuan gendut memang tidak seharusnya bekerja ya?”

Ternyata keraguanku itu memang telah terbukti. Di Inggris, dalam riset Stuart Flint, doktor Psikologi dari Universitas Leeds dan rekan-rekannya, bertajuk Obesity Discrimination in the Recruitment Process: “You’re Not Hired!” (2016), sejak 2000-an memang telah terjadi peningkatan stigmatisasi dan diskriminasi terhadap mereka yang bertubuh gemuk (obesitas). Dalam hal ini, sejumlah lembaga berkontribusi pada pengembangan dan pemeliharaan sikap anti-gemuk, khususnya media, seperti televisi atau koran. Biasanya media ini menggunakan framing bahwa gemuk itu tidak cantik, atau gemuk itu tak ideal.

Karena jangkauan media yang luas, stigmatisasi obesitas cepat menular ke berbagai bidang, seperti juri, profesional kesehatan, profesional pendidikan, transportasi umum, industri kecantikan, dan sebagainya.

Bahkan, penelitian yang Flint kutip dari Levine dan Schweitzer (2015) dan Schulte et al. (2007) menemukan, orang gendut dikaitkan dengan kompetensi yang rendah. Tak heran mereka biasanya menerima gaji awal yang lebih rendah, digolongkan sebagai karyawan kurang berkualitas, dan bekerja lebih lama daripada karyawan dengan berat badan normal.

Baca juga: Perempuan Kerja, Buat Apa?

Apa yang Bisa Dilakukan?

Karena tahu perkara mencari pekerjaan itu tak mudah untuk orang berbadan gemuk, saya sempat frustasi lama. Aku sampai di tahap enggan bertemu teman-teman sekolah. Banyak dari mereka mengundangku untuk datang ke pernikahan, tapi aku minder. Stres datang hingga aku mengalami menstruasi selama satu tahun lebih.

Siklus haid yang berkepanjangan ini sampai membuat mama berkali-kali membawa aku ke bidan dan dokter kandungan. Bidan ini pun memberikan obat yang awalnya untuk menghentikan pendarahan pada ibu hamil, tapi itu tidak mempan.

Stresku makin parah setelah papa sakit dan meninggal dunia. Ibarat dipukul palu godam berkali-kali di kepala, aku makin putus harapan. Rasa bersalah terus menghantuiku, karena tumpuan keluarga tak ada, sedangkan sebagai anak sulung, aku belum bisa melakukan apa-apa. Aku pengangguran gendut dan menyedihkan, pikirku saat itu. Diam-diam aku kerap menangis tiap malam.

Masih lekat di ingatanku kebiasaan papa yang membanggakanku di depan keluarga. Mungkin karena sejak masih kecil aku termasuk anak yang lumayan pintar. Mungkin harapannya aku akan selalu seperti itu.

Lama-lama, aku mulai sadar, enggak bisa terus bersedih hati seperti sekarang. Kata-kata mama yang menyuruhku sabar ini menjadi mantra untuk tetap kuat. Di titik inilah aku menganggap, yang bisa dilakukan ketika kamu kehilangan harapan usai ditolak kerja adalah mencari support system. Dalam hal ini, pendukung terbesar adalah orang tua dan keluargaku lainnya. Tak ada penghakiman, tak ada tekanan. Mereka mendukungku untuk maju, untuk bangun lagi saat jatuh, untuk tak berkecil hati.

Tiga tahun berselang, tepatnya pada 2021, harapanku terjawab. Seorang teman kuliah menghubungi karena dia ingin liburan di kotaku. Dia pun bertanya sedang sibuk apa sekarang. Aku jawab kalau sedang mencari pekerjaan tapi belum ada hasil. Tiba-tiba dia menawarkanku sebuah pekerjaan sebagai asistennya di ibu kota.

Baca juga: Gendut dan Cantik, Setop ‘Fatshaming’ Perempuan Lain

Tanpa pikir panjang aku pun langsung mengiyakan tawarannya ini. Aku melompat-lompat saking girangnya. Aku pikir ini adalah awal yang baik untuk memulai kemandirian. Aku menulis, membuat konten media sosial, belajar banyak dengan teman-teman baru. Aku merasa sangat beruntung.

Meski begitu, kekesalan menerima diskriminasi saat rekrutmen kerja masih tetap menyala di kepalaku. Kapan ya, perusahaan bisa betul-betul bersifat inklusif, tak mendiskriminasi orang cuma perkara berat badan?

Read More