Para Perempuan yang Tergilas Teknologi Digital
Pesatnya perkembangan teknologi meninggalkan jenis-jenis pekerjaan yang tidak lagi relevan. Hal ini berdampak bagi perempuan yang hingga saat ini menghadapi kesenjangan teknologi digital.
Dalam peluncuran dan diskusi publik Jurnal Perempuan berjudul “Perempuan Pekerja di Tengah Krisis dan Perubahan Teknologi” (24/8), dunia kerja mengalami perubahan drastis sejak pandemi COVID-19 pada Maret 2020, karena pekerjaan harus bertransformasi ke digital. Maka itu, perempuan dituntut memiliki kecakapan mengakses teknologi digital yang sifatnya seperti keberlangsungan hidup.
Pada diskusi tersebut, Executive Director Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), Maya Juwita, menceritakan bagaimana trainer perempuan di perusahaannya harus beradaptasi dengan teknologi.
“Trainer kami berusia 71 tahun. Akibat pandemi, seluruh aktivitas training beralih ke online, tapi beliau mau belajar menggunakan teknologi, bahkan media sosial untuk hal positif dan kreatif,” katanya.
Maya melihat kemampuan adaptasi itu sebagai penerapan sifat feminin perempuan secara natural.
Namun, tidak semua perempuan dapat beradaptasi mengikuti perubahan teknologi. Ada banyak pembatasan yang dibuat oleh lingkungan sosial, hanya karena seseorang berjenis kelamin perempuan.
Misalnya di industri Science Technology Engineering Math (STEM) yang minim mempekerjakan perempuan sebagai teknisi, karena pekerja laki-laki tidak tega jika perempuan melakukan pekerjaan berbahaya seperti memanjat tower. Niat baik tersebut justru salah satu musuh terbesar kesetaraan gender, karena “menghalangi” perempuan dengan alasan keamanan.
“Padahal, kalau tidak aman untuk perempuan, artinya juga tidak aman untuk laki-laki,” ucap Maya menanggapi peristiwa tersebut.
Baca Juga: Keterasingan Perempuan dalam Transformasi Digital
Keterampilan Perempuan Mengakses Teknologi Digital
Di era globalisasi, penting bagi setiap orang memiliki kemampuan mengakses teknologi, terlebih di masa pandemi karena sebagian besar fasilitas dan kebutuhan dapat dijangkau secara daring, mulai dari informasi kesehatan, transaksi perbankan, pembelian makanan dan obat-obatan, hingga sertifikat vaksin.
Namun, jumlah perempuan yang mengakses internet lebih sedikit ketimbang laki-laki. Survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2017 menunjukkan sejumlah 48,57 persen perempuan menggunakan internet, sementara laki-laki mendominasi dengan 51,43 persen.
Jika melihat Pulau Jawa dan kota-kota besar lainnya, mungkin kita mempertanyakan hasil survei tersebut, tetapi kita perlu memperhatikan perempuan yang menetap di desa atau kota-kota kecil. Ada pengaruh kondisi sosial ekonomi, letak geografis, kesenjangan upah, norma sosial, dan minimnya pengetahuan yang membatasi ruang gerak perempuan dalam mengakses teknologi digital.
Dalam budaya patriarki, kebanyakan perempuan berperan dalam mengurus pekerjaan domestik, sehingga sedikit yang mampu memanfaatkan teknologi. Menurut Maya, ini pun terjadi dalam dunia usaha, ketika teknologi menjadi hal merepotkan karena rendahnya digital fluency—kemampuan menemukan, mengevaluasi, dan menggunakan informasi digital secara efektif dan efisien—pada perempuan.
Mengutip situs Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak, I Gusti Bintang Darmawati mengatakan, perempuan dapat diberdayakan dalam kewirausahaan berperspektif gender perempuan. Dari situ, akan ada peningkatan partisipasi perempuan dalam ekonomi dan potensi kewirausahaan perempuan yang mengimbangi kemampuannya menggunakan teknologi digital.
Akan tetapi, pemanfaatan teknologi digital pun masih sebatas media sosial, merujuk pada survei APJII pada 2017 yang menunjukkan persentase pengguna media sosial sejumlah 87,13 persen. Ditambah etika warganet Indonesia yang masih kurang, melihat hasil survei Microsoft tentang tingkat kesopanan pengguna internet sepanjang 2020, ketika Indonesia menduduki posisi 29 dari 32 negara yang disurvei dalam laporan Digital Civility Index (DCI).
Padahal, penting bagi perempuan untuk melek teknologi dan berwawasan luas. Dengan demikian, perempuan dapat saling memberdayakan, menciptakan generasi penerus bangsa yang cerdas lewat pengasuhan anak, dan turut mengedukasi keluarga serta orang-orang di lingkungannya dalam mengoptimalkan penggunaan internet.
Baca Juga: Perempuan Hadapi Banyak Sandungan dalam Dunia Sains di Indonesia
Work From Home Membawa Keuntungan bagi Perempuan Pekerja
Penerapan flexible working selama pandemi—atau dikenal dengan work from home (WFH), memberikan keuntungan bagi perempuan karena dapat multitasking, mengingat adanya beban ganda yang dijalani, yaitu perannya sebagai pekerja sekaligus melakukan pekerjaan domestik.
IBCWE telah menerapkan sistem ini sejak 2017, meskipun tanggapan para pengusaha nasional sangat skeptis, karena mereka menilai seseorang melaksanakan pekerjaan, ketika melihat secara langsung.
Walaupun demikian, berdasarkan survei cepat yang dilakukan oleh IBCWE pada 2020, terkait efektivitas pelaksanaan work from home. “Sebanyak 60 persen responden perempuan menilai bekerja dari rumah lebih efektif. Ini memudahkan mereka dalam mengurus berbagai keperluan,” ujar Maya, mengingat kini perempuan juga berperan sebagai guru ketika mendampingi anak-anaknya sekolah dari rumah.
Dari survei tersebut, kita melihat bagaimana perempuan sebetulnya terbiasa membagi pikirannya dan melakukan beberapa aktivitas dalam suatu waktu, misalnya menyempatkan diri di sela-sela rapat untuk memastikan anak-anaknya sudah makan siang dan mengerjakan tugas sekolah.
Baca Juga: Herstory: 6 Perempuan Pionir dalam Teknologi Komputer dan Internet
Sayangnya, tidak semua perempuan mampu bertahan berjuang menjalani tiga peran sekaligus; pekerja, mengurus keluarga, dan melakukan pekerjaan domestik. Apabila dilihat dari perspektif dunia usaha, banyak perempuan pekerja di bidang manufaktur justru mengundurkan diri. Mereka mengalami kesulitan dalam melakukan kewajibannya.
“Hampir lima ribu pekerja perempuan di salah satu anggota kami memilih resign,” tutur Maya. Ia menceritakan salah satu keluhan mereka ialah meminta pasangannya membantu anak saat sekolah di rumah, supaya sang ibu dapat tetap bekerja.
Selain itu, menurunnya kesehatan mental akibat jam bekerja yang tidak teratur dan cenderung bekerja lebih lama turut menjadi perhatian, lantaran mengaburkan batasan pekerjaan dan kehidupan pribadi.
Read More