Kak Nisa Kinderflix dan Lima Jenis Pelecehan Seksual yang Jarang Dibahas
Sosok host Kinderflix Kak Nisa belakangan sedang naik daun. Lewat kanal YouTube Kinderflix yang dibuat September 2023, Nisa kerap membagikan konten edukasi untuk anak-anak di bawah umur lima tahun (balita). Cara bertuturnya yang lembut dan gaya penyampaian yang fresh membuat banyak pihak termasuk orang dewasa tertarik menonton kontennya. Ini terlihat dari tiga video yang diunggah Kinderflix sampai (6/11), disaksikan lebih dari satu juta penonton.
Sayangnya, di tengah popularitas Kinderflix, Nisa justru mendapatkan komentar-komentar bernada seksual yang merendahkan dari para penonton laki-laki. Tidak hanya di YouTube tapi juga di TikTok hingga X, perempuan berjilbab ini diseksualisasi kendati tak ada satupun dari konten yang diunggah mengandung muatan seksual sama sekali.
Melalui akun media sosial Instagram @kinderflix.idn, Kinderflix sangat menyayangkan ada komentar-komentar bernada seksual yang mereka terima. Tak lama, Kinderflix pun mematikan kolom komentar di kanal YouTube mereka.
Apa yang dialami Nisa tak lain adalah bentuk dari pelecehan seksual. UN Women dalam laporannya bersama International Labor Organization (ILO) yang terbit pada 2019 menyatakan, pelecehan seksual adalah bentuk-bentuk perilaku atau tindakan seksual yang tidak diinginkan atau tidak dikehendaki seseorang yang bertujuan atau berdampak pada martabat seseorang karena menciptakan lingkungan yang mengintimidasi, tidak bersahabat, merendahkan, memalukan, atau menyinggung perasaan.
UN Women dan ILO menambahkan, pelecehan seksual dapat berupa pelecehan fisik, psikologis, verbal dan non-verbal. Karena itu, pelecehan seksual tak hanya terbatas pada catcalling, sentuhan yang tidak diinginkan, atau melontarkan komentar bernada seksual saja. Ada beberapa jenis pelecehan seksual lain yang sayangnya masih belum banyak dibahas atau dipahami masyarakat luas. Magdalene merangkum lima jenis pelecehan seksual yang jarang dibahas tapi perlu kamu ketahui, terutama di lingkungan kerja.
Baca Juga: Magdalene Primer: UU ITE Kriminalisasi Perempuan Korban Pelecehan Seksual
1. Ajakan Berkencan yang Dilakukan Terus Menerus
Beberapa perusahaan memiliki kebijakan yang melarang kencan antarkaryawan kantor. Sebagian besar juga ada yang mengizinkannya hingga beberapa hubungan berkembang sampai jenjang pernikahan. Memang tidak ada yang salah dengan mengajak rekan kerja berkencan. Namun, ajakan berkencan bisa berubah jadi pelecehan seksual.
Terlebih ketika seseorang mengajakmu berkencan dengan cara yang tidak sopan dan memaksa. Selain itu, bisa disebut pelecehan seksual jika orang yang mengajakmu berkencan mulai bertindak agresif dan membuat komentar bernada seksual.
Kondisi ini semakin parah kalau pelaku tidak mau menerima jawaban tidak darimu. Mereka mengajak kamu berkencan berulang kali kendati kamu sudah menolaknya. Mereka terus mengganggu bahkan tak sungkan untuk membicarakan rencana mereka untuk terus mengejarmu.
Mereka mungkin berpikir tindakan memaksa itu menunjukkan betapa berdedikasinya memperjuangkan rasa sayang. Tetapi sebenarnya apa yang mereka lakukan telah melanggar privasi.
Jadi jika kamu sudah mulai merasa terintimidasi dan tidak nyaman bisa jadi yang kamu alami memang pelecehan seksual. Kamu berhak melapor dan menjaga jarak dengan pelaku.
2. Merayu yang Bikin Enggak Nyaman
Flirting atau merayu bisa dibilang adalah isyarat yang diterima secara universal untuk menunjukkan ketertarikan satu sama lain. Dari orang yang tepat pada waktu yang tepat, rayuan bisa membangun rasa saling percaya dan membuat hubungan menjadi menyenangkan. Namun, tidak semua rayuan bisa ditoleransi.
Dikutip dari BBC dan The Guardian, untuk mengetahui rayuan bisa berubah jadi pelecehan kita harus memahami apa arti persetujuan atau konsen. Konsen adalah pemberian persetujuan yang penting dalam setiap hubungan, tidak boleh diasumsikan sendiri, dan tidak dipaksakan. Konsen dapat ditarik kembali kapan saja oleh seseorang sebelum dan saat melakukan suatu aktivitas jika berubah pikiran.
Rayuan bersifat konsensual dan dilakukan secara sadar. Tak ada paksaan, tak ada tuntutan, dan respons yang diberikan juga positif karena ditandai dengan gerakan-gerakan yang menyenangkan atau romantis dan menghibur bagi kedua belah pihak yang terlibat.
Rayuan berubah jadi pelecehan ketika konsen telah dicabut salah satu pihak tetapi pihak lain (bisa ditandai dengan penolakan secara verbal atau gestur tubuh) terus menerus melakukannya. Tidak peduli berapa kali atau seberapa langsung mereka ditolak, para pelaku pelecehan tidak akan berhenti, bahkan banyak yang mengira bahwa penerima rayuan mereka bersikap malu-malu.
Baca Juga: Belajar dari Kasus Gilang, Penggunaan UU ITE untuk Kekerasan Seksual Keliru
3. Cyber Stalking
Cari informasi soal gebetan di media sosial bisa dibilang jadi hal lumrah yang dilakukan anak muda sekarang. Berkat teknologi, cuma berbekal kuota internet kita bisa dengan mudah mencari informasi soal gebetan mulai dari hobi sampai lingkaran pertemanan mereka. Siapa tahu informasi ini berguna buat PDKT.
Namun hati-hati, tindakan ini bisa bisa berujung ke pelecehan seksual. Ketika orang lain mulai terobsesi mencari tahu tentang dirimu di media sosial sampai menghabiskan waktu berjam-jam, meninggalkan pesan di kolom komentar dan DM secara terus menerus, maka tindakan ini sudah masuk kepada cyber stalking.
Selain itu, menurut RAINN (Rape, Abuse & Incest National Network), organisasi anti-kekerasan seksual, cyber stalking mencakup memposting informasi yang mengancam atau bersifat pribadi tentang seseorang di forum internet publik, menggunakan GPS atau perangkat lunak pelacakan lainnya untuk memantau seseorang tanpa sepengetahuan atau izin mereka, dan mengakses komputer seseorang secara ilegal dan menggunakan perangkat lunak mata-mata untuk memantau aktivitas online mereka.
Cyber stalking sendiri masuk ke dalam kekerasan berbasis gender online. Meski tidak bersentuhan atau terjadi kontak fisik, cyberstalking bisa berdampak pada rasa tidak percaya diri, trauma, hingga gangguan kognitif.
4. Percakapan dan Lelucon Tidak Diinginkan yang Bersifat Seksual
Mungkin merupakan hal yang biasa dilakukan di lingkungan kerja atau pertemanan untuk membuat lelucon yang bersifat seksual. Namun tidak semua orang menganggap hal ini lucu. Percakapan tentang kehidupan seks seseorang, menggunakan sindiran seksual dalam percakapan, lelucon yang bersifat seksual, atau komentar yang menyinggung kehidupan pribadi pekerja (seperti orientasi seksual, kata ganti, atau identitas gender dapat merupakan contoh pelecehan seksual.
Terlepas dari maksud di baliknya, humor atau komentar seksual perilaku semacam itu dapat menimbulkan orang yang diajak bicara tidak merasa nyaman dan menciptakan lingkungan yang jadi tidak bersahabat. Kita tidak dapat mengabaikannya dengan mengatakan “itu cuma bercanda saja, jangan lebay” atau “aku enggak bermaksud menyinggungmu”. Selalu perhatikan orang-orang di sekitarmu saat melakukan percakapan semacam itu, bahkan lelucon yang bermaksud baik pun bisa berakibat buruk di tempat kerja.
Baca Juga: Apa itu Mansplaining dan Kenapa Sering Terjadi di Tempat Kerja?
5. Mikroagresi
Kevin Nadal, profesor psikologi di John Jay College of Criminal Justice dalam wawancaranya bersama NPR mengatakan, mikroagresi adalah interaksi atau perilaku sehari-hari, halus, disengaja dan seringkali tidak disengaja yang mengomunikasikan semacam bias terhadap kelompok yang secara historis terpinggirkan. Sering kali, mikroagresi dalam bentuk komentar atau tindakan merendahkan. Karena itu, mikroagresi juga memenuhi syarat sebagai jenis pelecehan seksual halus yang jarang disadari.
Dalam praktiknya, mikroagresi dibagi menjadi tiga, yaitu mikroagresi verbal, perilaku, dan lingkungan. Mikroagresi verbal mencakup komentar atau pernyataan yang secara halus menyampaikan bias atau stereotip, seperti memberikan pujian secara langsung, terlibat dalam lelucon yang tidak sensitif secara rasial atau etnis, atau membuat asumsi tentang kemampuan, kecerdasan, atau budaya seseorang berdasarkan identitas atau gender mereka.
Sedangkan mikroagresi perilaku mengacu pada tindakan mengucilkan atau meminggirkan individu atau memperkuat stereotip. Misalnya, secara konsisten menyela pembicaraan seseorang, mengabaikan pendapat atau ide mereka, atau menugaskan mereka tugas-tugas yang tidak penting berdasarkan stereotip gender.
Terakhir, mikroagresi lingkungan terjadi ketika lingkungan fisik atau sosial mengirimkan pesan halus tentang pengucilan atau bias, seperti kurangnya keragaman identitas gender atau ras serta etnis dalam kantor, menampilkan gambar atau simbol yang tidak peka secara budaya, atau kegagalan menyediakan fasilitas atau sumber daya yang inklusif.
Lalu apa saja contoh konkret dari mikroagresi yang mengacu langsung pada pelecehan seksual? Dikutip dari halaman Firma Hukum Donati, ini antara lain termasuk stereotip berbasis gender, komentar bernada seksual, komentar yang tidak pantas tentang penampilan, komentar tentan kehidupan seks seseorang, dan komentar seksis.
Read More