andi depu pahlawan indonesia

Andi Depu Pilih Bercerai dengan Suami Demi Kemerdekaan Negeri

Andi Depu telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia lewat Surat Keputusan Presiden yang diterbitkan pada 6 November 2018, menjelang peringatan Hari Pahlawan. 

Nama Andi Depu akhirnya terpilih menjadi salah satu nama pahlawan perempuan karena dianggap persisten dalam melawan dan membasmi penjajah Belanda yang ada di wilayah Tanah Mandar, Sulawesi Barat.

Andi Depu bersedia untuk keluar dari kerajaannya dan ikut berjuang bersama rakyatnya untuk mempertahankan daerah Tinambung pada waktu itu dari kekuasaan Belanda.

Baca Juga: Cerita Perjuangan Martha Christina Tiahahu Pahlawan dari Tanah Maluku

Akan tetapi perjuangannya itu tidak diperkenankan oleh sang suami, Andi Baso Pabiseang, yang malah pro dengan Belanda, sehingga mereka akhirnya memutuskan untuk bercerai.

Sosok Andi Depu lahir pada 1907 di Tinambung, yang sekarang ini menjadi wilayah Polewali Mandar. Ia merupakan seorang anak perempuan dari Raja Balanipa ke-50, yang bernama Laqju Kanna Idoro serta ibunya yang bernama Samaturu.

Andi Depu Bercerai dengan Suami untuk Perjuangkan Kemerdekaan

Andi Depu

Pada tahun 1923, Andi Depu menikah dengan seorang pria berdarah biru yang bernama Andi Baso Pabiseang. Ia sudah menjadi istri seorang bangsawan, seharusnya ia bisa lebih bersantai di rumah tempat tinggalnya. Namun Andi Depu tidak seperti itu; masih ada sesuatu hal yang tidak bisa berhenti dipikirkannya.

Ia merasa sangat prihatin melihat rakyat yang ditindas oleh penjajah Belanda. Melihat keadaan di mana rakyat tidak punya kuasa, ia pergi dari istananya dan ikut bersama rakyat untuk mempertahankan wilayah Tinambung dari cengkeraman Belanda.

Baca Juga: 5 Pahlawan Perempuan Indonesia yang Perjuangkan Kemerdekaan Indonesia

Waktu ikut berjuang di Tinambung, Andi Depu dapat bebas pergi berjuang ke mana pun tanpa ada prasangka sebagai pejuang karena ia adalah seorang perempuan. Akan tetapi, gerak-geriknya ini dikecam oleh sang suami karena lebih memihak kepada Belanda. Karena memiliki idealisme yang berbeda, pasangan ini pun akhirnya memutuskan untuk berpisah.

Setelah bercerai, Andi bersama dengan anak laki-lakinya yang bernama Andi Perenrengi, bergabung dalam pergerakan rakyat Mandar dalam melawan penjajah Belanda. Ia memilih menetap di rumah orang tuanya yang akhirnya dibuat sebagai markas pertahanan.

Ia pernah bersekolah di Volkschool dan sangat aktif di banyak organisasi. Ia juga merupakan pendukung utama organisasi pemuda Jong Islamieten Bond (JIB) yang mendirikan cabang di wilayah Mandar pada 1940, sampai menjadi pelopor Fujinkai (tentara perempuan Jepang) di wilayah Mandar pada tahun 1944.

Andi Depu Menentang Penurunan Sang Saka Merah Putih

Selain menjadi pelopor di Jong Islamieten Bond, ia juga membuat organisasi KRIS Muda atau kepanjangan dari Kebangkitan Rahasia Islam Muda pada 21 Agustus 1945 yang berhasil menyebar ke sejumlah wilayah di luar Mandar. Karena organisasinya ini, ia sempat ditangkap oleh pasukan Netherlands Indies Civil Administration (NICA) pada Desember 1946, meskipun akhirnya dibebaskan.

Kiprahnya yang paling terkenal adalah saat perang revolusi ia tidak mau menurunkan bendera merah putih yang berkibar di Istana Raja Balanipa di Tinambung pada 28 Oktober 1945. Pada waktu itu Andi Depu baru saja selesai melakukan salat dhuha.

Baca Juga: Perempuan Indonesia Pascakemerdekaan: Perjuangkan Kesetaraan dalam Pernikahan

Para penjaga istana yang melihat pasukan Belanda sedang menurunkan bendera merah putih langsung memberikan info pada Andi Depu. Mendapatkan laporan tersebut, Andi Depu langsung pergi dari tempatnya dan bergegas berlari menuju tiang bendera sambil berteriak “Allahu Akbar” dan memeluk kuat tiang bendera.

Berada di tengah kumpulan tentara Belanda, Andi Depu berteriak dengan keras dalam bahasa Mandar: “Lumbangpai Batangngu, Muliai Pai Bakkeu, Anna Lumbango Bandera” yang berarti “Tidak masalah saya gugur, mayatku kalian langkahi, baru bendera ini bisa kau singkirkan”.

Langkahnya ini membuat para tentara istana serta warga Tinambung memaksa masuk kepungan Belanda dan berdiri memagari Andi Depu. Bisa dibilang sangat nekat, karena para tentara istana serta warga sekitar hanya memiliki senjata berupa keris dan tombak waktu mengerumuni prajurit Belanda.

Sebelumnya, para tentara istana itu mendapatkan perintah oleh Andi Depu untuk tidak membongkar bendera Merah Putih itu. Melihat ketahanan dari perjuangan rakyat Mandar yang dipimpin oleh Andi Depu, Belanda pun tidak berani menurunkan bendera tersebut.

Membantu Pembubaran NIT

Belanda yang punya pengaruh sangat hebat di Indonesia Bagian timur yang akhirnya Belanda bisa membuat sebuah negara boneka dengan nama Negara Indonesia Timur (NIT). NIT dibentuk dari sebuah konferansi yang diadakan di Malino serta Denpasar pada tahun 1946. Terbentuknya NIT akhirnya diikuti oleh pembentukan negara-negara bagian yang lainnya seperti Negara Sumatera Timur (NST), dan Negara Pasundan.

NIT sendiri awalnya langsung dijadikan dasar penerapan sistem federal oleh Belanda, yang berujung membantu Republik Indonesia (RI) untuk memperoleh pengakuan kedaulatan di tahun 1949 lewat sebuah badan yang dibuat oleh belanda yaitu Bijeenkomst voor Federal Overleg (BFO).

Sudah biasa ditangkap Belanda, Andi Depu serta pemimpin lain dari perjuangan rakyat Mandar akhirnya bebas sebelum penyerahan kedaulatan Indonesia secara menyeluruh pada akhir 1949 dari hasil Konferensi Meja Bundar (KMB).

Setelah keluar dari penjara, ia juga ikut membantu pembubaran Negara Indonesia Timur (NIT). Demonstrasi ia gelar di Polombangkeng pada 1950. Hal ini mengakibatkan ia ditangkap lagi oleh sisa-sisa orang-orang NIT selama kurang lebih 30 hari.

Karena langkahnya ini, ia kembali ditangkap oleh pemerintah NIT dan langsung dibawa ke penjara selama 30 hari lebih. Andi ditangkap di angkatan udara Penerbangan Mandai lalu dilepaskan kembali oleh pemerintah NIT.

Bebasnya Andi Depu dari penjara kemudian mendapat animo yang luar biasa dari rakyat dan di jalan yang menuju ke Tinambung. Animo dari warga tak terputus termasuk beberapa orang yang dulunya tergabung di KNIL juga ikut mengelu-elukannya.

Biarpun dengan kesehatan yang sudah memburuk akibat perlakuan selama di dalam penjara, tidak menghilangkan semangatnya dalam memberikan semangat dalam melawan penjajahan.

Baca Juga: 4 Pahlawan Perempuan dari Jawa Barat adalah Tokoh Feminisme

Setelah berhasil bebas yang kedua kali, ia kembali pergi ke Mandar karena diminta untuk menjadi pemimpin daerah yang dulunya merupakan Kerajaan Balanipa, dan kemudian berubah menjadi swapraja.

Andi Depu dipilih menjadi ketua Swapraja Balanipa. Amanah ini terus ia pegang sampai tahun 1956 sebelum akhirnya Andi mundur karena masalah kesehatan.

Bersama dengan keluarganya, Andi memutuskan untuk pindah dari Tinambung ke Makassar untuk mendapatkan pengobatan karena kesehatan fisiknya yang sudah menurun. 

Andi Depu mengembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Pelamonia Makassar pada 18 Juni 1985. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Panaikang, Makassar, Sulawesi Selatan. Untuk mengenang perjuangannya, sebuah monumen yang dibuat seperti sosok perempuan yang sedang memeluk tiang bendera merah putih sambil menunjuk ke depan dibuat di Kelurahan Tinambung, Kecamatan Tinambung, Polewali Mandar.

Read More
Martha Christina Tiahahu

Cerita Perjuangan Martha Christina Tiahahu Pahlawan dari Tanah Maluku

Perang selalu identik dengan kerusuhan, nyawa yang berjatuhan, serta kesedihan. Namun bila perang itu adalah bagian dari perjuangan meraih kemerdekaan, maka pengorbanan itu adalah sesuatu yang harus dilakukan, biarpun nyawa yang akan jadi taruhannya. Para Pahlawan Nasional Indonesia dahulu tidak ragu untuk berkorban dan terus berjuang untuk mendapatkan kemerdekaan.

Salah satu pahlawan perempuan Indonesia yang sudah berani untuk berjuang dan ikut berperang merebut kemerdekaan adalah Martha Christina Tiahahu, remaja perempuan pemberani dari Maluku Tengah, yang sudah ditahbiskan sebagai Pahlawan Nasional termuda di Indonesia. Martha dari masih remaja sudah ikut berjuang memerangi penjajah Belanda. 

Biografi Martha Christina Tiahahu

Cerita pejuangan pahlawan perempuan ini di mulai saat berusia sekitar 17 tahun, Martha Tiahahu dengan gagah berani ikut berperang melawan para penjajah di dalam medan pertempuran. Perempuan yang lahir ditanggal 4 Januari  1800 di Kampung Abubu, Maluku Tengah ini merupakan anak perempuan tertua dari seorang Kapitan yang bernama Paulus Tiahahu, pemimpin pasukan rakyat di wilayah Maluku.

Baca Juga: Rasuna Said dan Soewarni Pringgodigdo: Contoh Kepemimpinan Perempuan Era Kolonial

Biarpun masih sangat belia, ia diketahui sangat baik oleh para pejuang serta rakyat, malah para tentara musuh tahu kalau Martha ini merupakan perempuan muda yang sangat berani dan sangat memperjuangkan cita-citanya. Martha pun mendapat panggilan Srikandi dari wilayah Maluku.

Dengan rambut yang tergerai panjang, dihiasi kain ikat kepala dengan rona merah, Martha berjuang bersama sang ayah yang pegang senjata untuk mengusir para pasukan Belanda yang berada di Nusa Laut atau Saparua.

Pada waktu yang sama, Pattimura juga sedang berjuang memerangi dominasi pasukan Belanda yang ada di wilayah Saparua. Peperangan di Saparua meluas ke wilayah Nusa Laut serta daerah sekitarnya.

Peran Martha Christina Tiahahu

Martha Christina Tiahahu juga punya peranan dalam perang yang terjadi di wilayah Saparua, lebih tepatnya di Desa Ouw, Maluku Tengah dalam mengusir tentara penjajah.

Di tengah kebrutalan peperangan tersebut, sosok Martha memberikan semangat juang buat para tentara Nusa Laut buat melawan para penjajah. Teriakan semangat Martha sudah berhasil menaikkan semangat buat para perempuan yang ikut menemani kaum laki-laki di wilayah perang. Di waktu ini lah Belanda melawan langsung para perempuan militan yang ikut berperang.

Baca Juga: 4 Pahlawan Perempuan dari Jawa Barat adalah Tokoh Feminisme

Pada pertarungan tersebut, pemimpin pasukan Belanda yang bernama Richemont, berhasil dibunuh oleh tentara Martha Cristina Tiahahu. Dari segala sudut, para tentara Nusa Laut berhasil mengepung Belanda, dan teriakan mereka memecah udara serta membuat rasa takut pasukan Belanda.

Pemimpin mereka ditaklukkan membuat para pasukan penjajah jadi makin keras dalam memberikan serangan kepada rakyat Maluku. Pada tanggal 12 Januari 1817, komandan Belanda yang baru, Vermeulen Kringer, memerintahkan serangan umum terhadap tentara rakyat Indonesia. Peperangan yang sengit tidak bisa dihindari. Banyak korban yang gugur dari kedua kubu. Sampai satu titik saat tentara rakyat membalas serangan Belanda dengan lemparan batu, Tentara Belanda jadi sadar bahwa persediaan amunisi tentara rakyat sudah habis.

Kringer memberikan perintah untuk memberikan serangan lagi dengan bayonet terhunus. Tentara rakyat pun harus mundur dan berlindung di dalam hutan. Akhirnya seluruh wilayah Ulath serta Ouw harus menerima kekalahan, semua daerah dibakar dan dijarah.

Martha Christina Tiahahu dengan ayahnya serta para pejuang yang lain ditangkap dan digiring ke kapal Belanda, yaitu Eversten. Di dalam Eversten, para pejuang ini, yang berasal dari wilayah Tenggara berjumpa dengan sosok Pattimura serta tawanan yang lain.

Mereka diselidiki dan akhirnya diberikan vonis. Karena tergolong masih anak-anak, Martha akhirnya dilepas. Namun ayahnya yang bernama Paulus Tiahahu tetap diberikan vonis yaitu hukuman mati.

Pada bulan Desember tahun 1817, Martha dengan pejuang lain ditangkap lagi dan dikirim ke Pulau Jawa untuk dipekerjakan secara paksa di kebun kopi. Dalam perjalanan ke Pulau Jawa, tetap terjadi perlawanan terhadap tentara Belanda di dalam kapal Eversten.

Akhir Hayat Martha

Dalam kapal, kesehatan fisik Martha makin menurun, ia tidak mau makan serta minum obat. Akhirnya pada 2 Januari 1818, setelah melewati Sulawesi Selatan, Martha kemudian mengembuskan nafas terakhir. Jenazahnya diberikan sebuah penghormatan terakhir secara militer tepat di perairan Banda.

Baca Juga: 6 Pahlawan Perempuan Indonesia Beserta Asalnya yang Perlu Kamu Ketahui

Nama Martha Christina Tiahahu akhirnya ditetapkan sebagai sosok Pahlawan Nasional Indonesia pada 20 Mei 1969, lewat Surat Keputusan Presiden.

Read More
nama pahlawan perempuan indonesia Laksamana Malahayati

Malahayati Laksamana Laut Perempuan Pertama di Dunia

Nama pahlawan perempuan dari wilayah Aceh tak cuma Cut Nyak Dhien serta Cut Meutia saja yang teguh dalam bertempur memerangi penjajah. Aceh juga punya Laksamana Malahayati, yang bertempur dengan berani melawan tentara Belanda di perairan lepas, dengan tentaranya yang merupakan kumpulan para janda, yang disebut Inong Balee.

Baca Juga: Cerita Perjuangan Martha Christina Tiahahu Pahlawan dari Tanah Maluku

Fakta menarik lain dari Laksamana Malahayati adalah bahwa ia merupakan perempuan pertama di dunia yang berhasil menjadi seorang laksamana. Dan apakah kalian sudah tahu siapa Malahayati ini? Ia merupakan keturunan dari keluarga bangsawan saat Aceh sedang berjaya. 

Biografi Laksamana Malahayati

Menurut catatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Malahayati merupakan anak perempuan dari Laksamana Mahmud Syah. Ia juga memiliki kakek yang bernama Laksamana M. Said Syah, anak dari Sultan Salahuddin yang berkuasa di Aceh dari tahun 1530 sampai dengan 1539. Ayah serta sang kakek merupakan panglima armada laut pada di zamannya.

Semangat yang dipunyai ayah serta kakeknya ternyata menurun ke Malahayati. Meskipun perempuan mungkin tidak diharapkan menjadi laksamana laut, dia bercita-cita menjadi seorang pelaut atau laksamana yang kuat serta berani, persis seperti sang ayah serta kakeknya.

Baca Juga: 5 Pahlawan Perempuan Indonesia yang Perjuangkan Kemerdekaan Indonesia

Saat ia beranjak dewasa, Malahayati memiliki keleluasaan untuk memilih sekolah. Ia akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan sekolah angkatan bersenjata milik kesultanan yang bernama Mahad Baitul Maqdis. Sekolah ini terdiri dari armada darat serta armada laut.

Dari sekolah inilah kemampuan ketentaraan Malahayati terbentuk, dididik oleh para guru yang merupakan perwira dari wilayah Turki. Pada zaman itu Aceh memang memperoleh dukungan dari Kesultanan Turki Utsmani. Di sekolah ini, ia akhirnya berjumpa dengan Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief yang akhirnya menjadi suaminya.

Peran Laksamana Malahayati

Laksamana Malahayati tak cuma memimpin tentara laki-laki, tetapi ia juga mengumpulkan kekuatan kaum perempuan, terlebih para janda yang ditinggalkan suaminya yang gugur dalam peperangan di Teluk Haru, persis seperti dirinya. Armada janda yang sangat berani dipimpin oleh Malahayati ini populer dengan panggilan Inong Balee seperti yang sudah kita bahas di atas.

Mulanya, tentara Inong Balee cuma terdiri dari seribu orang. Akan tetapi kemudian anggotanya berkembang menjadi dua ribu orang. Laksamana Malahayati menjadikan wilayah Teluk Lamreh Krueng Raya menjadi basis prajuritnya, dan daerah bukit yang berada tak jauh dari sana dibuat sebagai area pertahanan sekaligus menara untuk untuk mengawasi pergerakan musuh.

Malahayati memang sangat berpengaruh pada zaman itu. Selain mengatur tentara, ia juga memantau seluruh pelabuhan dan wilayah perdagangan yang ada di Aceh, beserta kapal-kapal yang berlabuh. Waktu itu, kesultanan punya tak kurang dari 100 buah kapal dengan ukuran besar yang satu kapalnya bisa membawa lebih dari empat ratus awak kapal.

Baca Juga: 4 Pahlawan Perempuan dari Jawa Barat adalah Tokoh Feminisme

Sampai dengan tanggal 21 Juni 1599, kumpulan penjelajah dari Belanda yang dipimpin oleh de Houtman bersaudara—Frederick dan Cornelis. Mereka berlabuh di dermaga Aceh dengan dua kapal berukuran besar yang diberi nama de Leeuw dan de Leeuwin. Frederick dan Cornelis de Houtman berlaku sebagai nakhoda dari dua kapal tersebut.

Awalnya, interaksi antara pendatang asal Eropa dengan rakyat Aceh baik-baik saja. Sampai akhirnya, karena sikap dari orang-orang Belanda serta tambahan hasutan dari seorang Portugis yang diyakini oleh Sultan Alauddin, mulailah terbentuk bibit kericuhan.

Saat sadar situasi mulai memanas, Frederick serta Cornelis membuat strategi dari kapal mereka, dan bersiap untuk menyambut serangan yang mungkin akan datang. Dan ternyata benar saja, Sultan Alauddin membuat perintah kepada Laksamana Malahayati untuk menyerang dua kapal Belanda yang masih berlabuh di Selat Malaka tersebut.

Pecahlah peperangan hebat di laut. Tentara Belanda ternyata kesulitan dalam menghentikan kekuatan dari tentara Malahayati, deretan para janda yang tidak takut kehilangan nyawa. Sampai akhirnya Laksamana Malahayati sukses masuk ke kapal Cornelis de Houtman dan saling berhadap-hadapan.

Malahayati memegang kuat senjatanya yang berupa rencong, sementara si nakhoda Belanda dipersenjatai sebilah pedang. Perkelahian satu lawan satu pun berlangsung. Pada satu titik di tengah pertempuran tersebut, Malahayati menusuk Cornelis sampai akhirnya tewas. Kejadian bersejarah ini terjadi pada tanggal 11 September 1599.

Baca Juga: 6 Pahlawan Perempuan Muslimah Asal Indonesia yang Jarang Diketahui

Tentara Belanda akhirnya kalah dan banyak yang meninggal. Sedangkan yang tersisa berhasil ditangkap dan dibawa ke penjara, termasuk saudara Cornelis, yaitu Frederick.

Akhir Hayat Malahayati

Laksamana Malahayati menghembuskan nafasnya yang terakhir pada tahun 1615. Peristirahatan terakhirnya berada di Desa Lamreh, Aceh, Indonesia. Malahayati akhirnya diberikan titel sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 9 Oktober 2017 oleh Pemerintah, bersama-sama dengan beberapa pahlawan lainnya.

Read More

Nama Pahlawan Perempuan dari Jawa Tengah yang Perlu Kalian Ketahui

Daerah Jawa Tengah memiliki sejumlah pahlawan perempuan yang ikut berjuang untuk mendapatkan kedaulatan serta kemerdekaan negeri ini waktu zaman penjajahan. Sebagian dari nama mereka mungkin sudah sering terdengar, tapi sisanya mungkin belum banyak kita kenal. 

Saat kalian diminta untuk menyebutkan nama pahlawan perempuan dari Jawa Tengah, yang kalian ingat mungkin cuma Kartini. Padahal masih ada beberapa lagi pahlawan perempuan dari Jawa Tengah, dan semuanya memiliki kisah hidup yang luar biasa. 

Yuk kita bahas pahlawan perempuan Jawa Tengah lainnya.

1. Pahlawan Perempuan dari Jawa Tengah: Nyi Ageng Serang

Nyi Ageng Serang

Pahlawan perempuan yang andal dalam membuat taktik dan strategi perang ini bernama lengkap R. A. Kustiyah Wulaningsih Retno Edi. Pahlawan perempuan asal Jawa Tengah ini lahir di Serang, Jawa Tengah, pada tahun 1752. Pada awal abad 19, Belanda datang dan menggempur wilayah Jawa, menjarah tanah pribumi. Inilah yang mendorong terjadinya Perang Diponegoro dari tahun 1825 sampai dengan 1830.

Baca Juga: 5 Pahlawan Perempuan Indonesia yang Perjuangkan Kemerdekaan Indonesia

Saat terjadinya pertempuran itu, seorang Nyi Ageng Serang memiliki andil untuk bertempur. Selain ikut membuat taktik perang, misalnya dengan mendukung Pangeran Diponegoro sebagai penasihat dalam siasat pertempuran, beliau juga ikut mengomando tentaranya dalam pertempuran secara gerilya di Kampung Beku. Padahal pada waktu itu umur beliau sudah menginjak 73 tahun!

Nyi Ageng Serang terus bertempur sampai energi terakhirnya. Karena ketahanan fisiknya terus mengendur, beliau akhirnya mundur dari medan perang dan meninggal dunia di usia 76 tahun. 

2. Pahlawan Perempuan Indonesia: RA Kartini

Pahlawan Perempuan Jawa Tengah

Raden Ajeng Kartini merupakan nama pahlawan perempuan dari Jawa Tengah yang populer sebagai pejuang emansipasi perempuan Indonesia. Kartini lahir di kota Jepara tanggal 21 April 1879. Ia adalah tokoh perempuan Jawa serta pemrakarsa kebangkitan perempuan pribumi. Ia mendorong perempuan untuk mendapatkan hak yang sama untuk bisa mendapatkan ilmu pengetahuan atau pendidikan sama seperti laki-laki.

Kartini waktu kecil pernah bersekolah di Europese Lagere School (ELS) sampai usia 12 tahun. Ia harus berhenti sekolah karena ia akan dinikahkan. Meski demikian, walaupun sudah tidak bersekolah lagi, Kartini tetap terus belajar dan membuat surat dengan bahasa Belanda dan dikirimkan ke sahabatnya yang ada di Belanda.

Baca Juga: 4 Pahlawan Perempuan dari Jawa Barat adalah Tokoh Feminisme

Kartini sangat kagum dengan pola pikir perempuan yang tinggal di Eropa, serta kebiasaan mereka membaca buku, surat kabar, serta majalah. Dari sanalah semangatnya untuk memajukan harkat perempuan Indonesia semakin menyala. Ia ingin agar para perempuan bisa mendapatkan kemandirian, persamaan hukum, dan mendapatkan edukasi serta kedaulatan yang sama.

Kartini tak cuma populer di Indonesia, tetapi juga di luar negeri, terutama Belanda. Sayangnya, pada 17 September 1904, Kartini menemui ajalnya setelah melakukan persalinan anak pertama. Bukunya yang berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang, yang merupakan gabungan dari banyaknya tulisan yang dibuat Kartini secara pribadi untuk rekan-rekannya yang berada di Eropa, menginspirasi banyak perempuan. Sosok Kartini mendapatkan gelar Pahlawan Nasional pada 2 Mei 1962.

3. Pahlawan Perempuan dari Jawa Tengah: Siti Walidah

Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan asal Yogyakarta

Siti Walidah atau lebih dikenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta pada tahun 1872. Ia adalah anak perempuan dari tokoh muslim terkemuka dan penghulu keluarga keraton, yakni K.H. Fadhil. 

Sejak belia, sosok Siti Walidah tidak memperoleh edukasi atau pendidikan formal. Ia hanya mendapatkan ilmu agama dari orang tua. Ia kemudian menikahi sepupunya yang bernama K. H. Ahmad Dahlan dan melahirkan enam orang anak. 

Baca Juga: 6 Pahlawan Perempuan Muslimah Asal Indonesia yang Jarang Diketahui

Setelah menikah, sosok Siti Walidah lebih masyhur dengan panggilan Nyi Ahmad Dahlan. Suaminya dapat dibilang merupakan sosok pemimpin agama yang punya sikap sangat revolusioner, yang menuai kecaman dan bantahan akibat upaya modernisasi yang ia lakukan. 

Masa Perjuangan Nyai Ahmad Dahlan

Nyai Ahmad Dahlan memiliki khazanah ilmu yang sangat luas, terutama karena ia sangat akrab dengan beberapa tokoh Muhammadiyah pelopor pemimpin bangsa yang lain sekaligus sahabat seperjuangan sang suami.

Sekitar tahun 1914, Nyai Ahmad Dahlan mulai membuat kelompok pengajian perempuan Sopo Tresno, semacam organisasi keperempuanan yang didasari agama Islam. Organisasi itu berubah nama menjadi Aisyiyah, organisasi Islam buat para perempuan, tepat pada malam  Isra Mi’raj, pada tanggal 22 April 1917. Setelah berjalan 5 tahun, Aisyiyah resmi menjadi elemen dari Muhammadiyah.

Akhir Hayat Nyai Ahmad Dahlan

Nyai Ahmad Dahlan menghembuskan nafasnya yang terakhir pada 31 Mei 1946. Untuk mengenang seluruh jasanya dalam mengenalkan dan memperluas ajaran Islam serta ikut membantu mendidik perempuan pribumi, pemerintah Indonesia menganugerahi gelar kehormatan kepada Nyai Ahmad Dahlan sebagai Pahlawan Perempuan Indonesia didasari pada Keputusan Presiden RI.

Read More