Hadapi Masalah Kesehatan Mental Pekerja

Kesehatan Mental Pekerja Rentan Selama Pandemi, Ini yang Bisa Dilakukan Perusahaan

Pandemi COVID-19 tidak hanya meningkatkan kerentanan kesehatan orang-orang secara fisik, tetapi juga psikis. Salah satu kelompok yang rentan mengalami masalah kesehatan mental ialah para pekerja. 

Berdasarkan survei pada Desember 2020 yang dilakukan Indonesian Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) sebanyak 38 persen karyawan di Indonesia mengalami kesehatan mental yang memburuk. Angka ini menunjukkan peningkatan sebesar dua persen dari survei serupa pada Mei 2020.

Survei ini dilakukan terhadap 300 pekerja laki-laki dan 300 pekerja perempuan di sektor swasta yang berusia 18-60 tahun. 

Selain temuan ini, masalah kesehatan mental pekerja juga ditemukan lebih banyak dialami perempuan dibanding laki-laki (40 persen dibanding 36 persen). Lebih banyaknya perempuan yang mengalami ini bisa terkait dengan beban domestik yang bertambah selama pandemi dan sistem kerja dari rumah (WFH) diterapkan. Sebanyak 90 persen perempuan dan 81 persen laki-laki melaporkan adanya tambahan tanggung jawab rumah tangga dalam survei Desember 2020.

Di samping beban domestik, hal lain yang berkontribusi terhadap masalah kesehatan mental pekerja ialah kecemasan terhadap situasi yang serba tak pasti dan rentan. Sebanyak 70 persen pekerja yang disurvei mengalami hal ini. Lalu, ada juga faktor keresahan terhadap kondisi finansial dan keluarga yang juga berkontribusi terhadap penurunan kesehatan mental pekerja.

Temuan lain dari survei IBCWE ini adalah adanya perbedaan level masalah kesehatan mental berdasarkan usia. Pada kelompok pekerja berumur 45-60, ada 24 persen yang melaporkan dampak negatif pandemi terhadap kesehatan mentalnya. Sementara pada kelompok pekerja berumur 25-34 tahun, angka ini mencapai 49 persen. 

Baca juga: Kesehatan Mental Pekerja Masih Diabaikan, Perusahaan Perlu Buat Perubahan Kebijakan

Dampak Kesehatan Mental Pekerja yang Menurun 

Ada sejumlah dampak negatif yang terjadi akibat masalah kesehatan mental pekerja, beberapa di antaranya tercantum dalam laporan WHO (2002) bertajuk “Mental health and work: Impact, issues, and good practices”. Pekerja dengan kesehatan mental buruk cenderung lebih sering absen, baik karena masalah mentalnya itu maupun masalah fisik yang mengiringi gangguan kesehatan mental seperti tekanan darah tinggi, penyakit jantung, penyakit pencernaan, gangguan tidur, sakit kepala, dan sebagainya.

Dari segi performa kerja, pekerja lebih mungkin mengalami penurunan produktivitas, melakukan kesalahan dalam bekerja, mengalami kecelakaan, atau kesulitan dalam membuat keputusan, perencanaan, dan kontrol. Selain itu, pekerja juga akan mengalami penurunan motivasi dan komitmen, burn-out, dan berpeluang bekerja dalam jangka panjang tetapi hasilnya minimal.

Masalah kesehatan mental pekerja juga berdampak tidak hanya pada dirinya sendiri, tetapi juga bagaimana ia berelasi dengan kolega dan klien. Sangat mungkin pekerja dengan masalah ini menghadapi ketegangan dan konflik dengan rekan kerjanya. Seiring dengan itu, muncul potensi peningkatan masalah kedisiplinan pekerja.

Dalam jangka panjang, penurunan kesehatan mental dapat mendorong pekerja untuk mengundurkan diri. Ini akan mendatangkan biaya besar bagi perusahaan untuk mencari orang penggantinya, terlebih bila yang mengundurkan diri duduk di level manajer ke atas. Pasalnya, tidak gampang untuk mencari orang-orang yang punya kemampuan dan sudah mengenal perusahaan dengan baik untuk menggantikan orang yang mengundurkan diri itu. Setidaknya perusahaan perlu berinvestasi lebih dalam pelatihan orang baru atau membuka rekrutmen.

Baca juga: Kiat-kiat Kantor Dukung Kesehatan Mental Karyawan yang Patut Dicoba

Peran Perusahaan

Menyadari besarnya dampak yang terjadi akibat kesehatan mental pekerja yang menurun, perusahaan perlu aktif membicarakan isu ini dan membuat sejumlah inisiatif untuk mencegah memburuknya kondisi mental pekerja, terlebih ketika masih pandemi.

Dalam artikel “Coronavirus (COVID-19): Mental health support for employees” di situs Chartered Institute of Personnel and Development (CIPD), disebutkan sejumlah hal yang bisa dilakukan perusahaan, khususnya divisi sumber daya manusia (SDM) untuk mengantisipasi masalah kesehatan mental pekerja.

Pertama, memberi pengarahan pada para manajer tentang potensi dampak pandemi terhadap kesehatan mental, termasuk peran dan tanggung jawab apa saja yang mesti mereka emban untuk mendukung karyawan. 

Kemudian, perusahaan bisa mengomunikasikan secara rutin tentang dukungan kesehatan mental dalam aktivitas-aktivitas tertentu di tempat kerja. Hal ini dapat dilakukan untuk menciptakan budaya kantor yang menerima obrolan seputar kesehatan mental dan bagaimana cara mengakses dukungan ketika seseorang mengalami gangguan pada hal tersebut. 

Bagi para manajer, penting untuk melakukan pengecekan rutin dalam rapat-rapat, baik dalam kelompok maupun secara individual. Ini akan membantu mereka waspada terhadap tanda masalah kesehatan mental karyawan.

Ada pun beberapa tanda yang perlu diperhatikan untuk mulai membicarakan masalah kesehatan mental dengan karyawan adalah adanya jam kerja panjang yang tidak memungkinkan karyawan beristirahat; peningkatan absensi atau keterlambatan karyawan; perubahan mood; munculnya distraksi atau kebingungan pada diri karyawan; adanya perasaan mudah tersinggung, marah, atau agresi; masalah pada performa kerja, sikap berlebihan dalam menanggapi suatu masalah; dan perilaku anti-sosial.  

Dalam menghadapi tanda-tanda ini, penting diingat bahwa manajer tidak boleh bersikap seolah dirinya adalah pakar kesehatan mental. Alih-alih, mereka dapat merujuk karyawan yang bermasalah mentalnya ke profesional atau layanan dukungan.

Hal lain yang dapat mereka lakukan ialah menjadi panutan bagi karyawan lain. Para manajer perlu membagikan bagaimana mereka menjaga kesehatan mental sendiri dan mendorong karyawan lainnya untuk bercerita bila memiliki masalah dalam hal tersebut.

Seiring dengan itu, mereka juga dapat mendorong para karyawan untuk terkoneksi satu sama lain. Koneksi sosial, baik secara virtual selama WFH maupun secara langsung, yang dapat dilakukan melalui media sosial atau pertemuan kasual secara daring, dapat menghindari perasaan terisolasi yang memperburuk kesehatan mental pekerja.

Terakhir, para manajer bisa mereviu beban kerja yang diberikan pada karyawan. Sangat dipahami bahwa saat ini, karyawan banyak yang kewalahan dalam mengurus tugas kantor bersamaan dengan tugas domestik selama WFH. Manajer perlu lebih sensitif dalam menyikapi hal ini dan menyesuaikan kembali ekspektasi mereka pada para bawahan. 

Read More