jam kerja dan kesetaraan gender

Pangkas Jam Kerja Panjang untuk Hasil Lebih Optimal, Dorong Kesetaraan Gender

Work smart, not work hard”. 

Lebih dari 10 tahun lalu, pengusaha Tim Ferris merilis buku The 4-Hour Workweek yang mengangkat gagasan idealnya bekerja dengan jam kerja lebih pendek tapi lebih efektif dan membawa hasil kerja yang lebih optimal dibandingkan bekerja dengan jam panjang. 

Gagasan Ferris sendiri tidak lepas dari prinsip Pareto atau yang dikenal 80-20 rule. Dilansir Investopedia, prinsip ini menegakkan aksioma bahwa seseorang bisa membuahkan 80 persen hasil dari 20 persen energi yang dihabiskan untuk bekerja. Tidak hanya di dunia bisnis atau urusan kantor, prinsip ini bisa ditegakkan pula di ranah lain mulai dari pengelolaan keuangan pribadi sampai masalah relasi personal.

Syaratnya seperti yang disinggung tadi: Bekerjalah dengan cerdik. Identifikasi di mana letak kekuatan atau hal yang harus diinvestasikan demi mendapat keuntungan lebih banyak ketimbang bekerja lama-lama setiap harinya.

Baca juga: Kesehatan Mental Pekerja Masih Diabaikan, Perusahaan Perlu Buat Perubahan Kebijakan

Pro Kontra Jam Kerja Pendek

Tanggapan atas buku Ferris itu terbelah dua. Kubu pertama merasa gagasan Ferris tersebut cocok dengan pengalaman hidup mereka. Mereka berpikir, berlama-lama di depan laptop atau nyaris menginap di kantor demi memenuhi target kerja tidak menghasilkan output lebih banyak dan lebih baik. Yang ada, pekerja menjadi penat, kekurangan ide kreatif, hingga efek dominonya membuat diri dan perusahaannya kurang produktif.

Argumen kubu pro ini didukung temuan riset-riset terdahulu. Dalam tulisan Sarah Carmichael yang dimuat di Harvard Business Review, dinyatakan bahwa berdasarkan riset, bekerja berlebihan atau lembur tidak serta merta membuahkan hasil lebih baik dan banyak. Bisa saja seorang  karyawan menghabiskan lebih banyak waktu di kantor tetapi hasil kerjanya sama saja atau bahkan lebih buruk dibanding kolega mereka yang kelihatan bekerja dengan durasi pendek. Dalam sebuah riset bahkan dikatakan bahwa mereka yang bekerja berlebihan akan lebih rentan stres dan mengalami masalah kesehatan. 

Sementara itu, masih banyak yang percaya waktu adalah uang, dan bekerja dengan jam kerja pendek artinya menyia-nyiakan kesempatan atau penghasilan. Selain itu, ada pula yang mengungkapkan argumen kontranya terhadap buku Ferrris karena penulis itu ada di posisi berprivilese: laki-laki kulit putih. 

Sistem jam kerja pendek juga tidak bisa diterapkan di berbagai jenis pekerjaan. Mereka yang bertugas sebagai tenaga kesehatan misalnya, harus siap dipanggil kapan saja bila dibutuhkan, termasuk bertugas dengan durasi panjang. Para spesialis dan orang-orang yang bekerja di unit gawat darurat tidak bisa menawar pada atasannya untuk punya jam kerja pendek. 

Selain di dunia medis, pekerja rumah tangga (PRT) pun hampir mustahil menerapkan gagasan Ferris. Kondisi mereka begitu senjang dengan Ferris karena mereka mayoritas perempuan dan berkulit berwarna. Jangankan di Amerika Serikat sana, di sini, PRT yang satu ras dengan majikannya pun masih sulit mendapat posisi tawar bekerja dengan durasi pendek. 

Hal serupa juga kerap terdengar dari mereka yang bekerja di bidang kreatif seperti agensi atau rumah produksi. Manalah mungkin mereka menerapkan prinsip 80-20 itu kalau tuntutan kerja terus mengejar? Selama jadi buruh dan bukan pemilik modal, bagi banyak orang menerapkan jam kerja pendek semacam utopia saja.   

Baca juga: Women Lead Forum 2021: Kesetaraan Gender di Kantor Harus Mulai dari Pemimpin

Jam Kerja Panjang Kian Parah Selama Pandemi

Di era digital seperti sekarang, bekerja dengan durasi panjang bertambah subur karena banyaknya alat dan cara yang mempermudah seseorang untuk kembali berkacamata kuda, terus memikirkan pekerjaannya. Hal ini bertambah parah ketika pandemi berlangsung dan sistem work from home (WFH). 

Memang benar karyawan jadi punya lebih banyak waktu di rumah. Tetapi efek buruknya, jumlah jam kerja banyak orang kian panjang seiring notifikasi e-mail dan chat dari klien atau orang kantor yang tidak kenal waktu di berbagai industri.

Kebiasaan bekerja dengan jam kerja panjang, baik WFH atau di kantor, tidak lepas dari paparan pandangan keliru yang diterima mayoritas masyarakat soal kerja keras. Ada yang menganggap seseorang miskin karena ia malas atau “terlalu lembek” pada diri sendiri. Ini pada akhirnya mendorong orang untuk lebih banyak mengambil pekerjaan atau menambah waktu kerja, padahal masalah kemiskinannya tidak semata karena kurang upaya. 

Budaya jam kerja panjang bahkan diwajarkan dan dikukuhkan lewat Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan kita, yang menyatakan bahwa jam kerja yang berlaku adalah 7 jam dalam sehari bagi mereka yang bekerja enam hari seminggu, dan 8 jam sehari bagi mereka yang bekerja lima hari seminggu. Sudah diatur seperti ini saja, masih banyak kantor yang menuntut tenaga dan waktu lebih dari karyawannya. Sebagian berbayar, lainnya tidak, dan lagi-lagi mayoritas karyawan memilih manut saja daripada dipecat.  

Apa Pentingnya Menyetop Jam Kerja Panjang?

Secara psikis, Carmichael mengatakan bahwa kita menghabiskan banyak waktu untuk bekerja karena adanya rasa bersalah kalau tidak tampak banyak bekerja, bercampur dengan ambisi untuk mencapai standar kesuksesan arus utama, kecemasan, serta gengsi dengan orang di sekitar tempat kerja. 

Pernyataan sesederhana “Kalau aku/dia bisa, kamu juga mestinya bisa, dong” bisa jadi mempersulit keadaan seseorang, terlebih perempuan pekerja, yang juga punya banyak tanggung jawab di luar kantor. Bak pisau bermata dua, kalimat seperti itu ada kalanya memotivasi orang, ada kalanya justru membuat si pekerja kian tertekan hingga burn-out karena pekerjaan kantor

Kondisi karyawan burn-out ini merugikan diri mereka secara individu dan perusahaan. Ini menjadi alasan pertama mengapa perusahaan perlu mempertimbangkan jam kerja pendek, namun tetap berorientasi pada hasil berkualitas. 

Bekerja dengan durasi lebih pendek juga dapat meningkatkan fokus karyawan, memperbaiki manajemen waktu dalam bekerja, dan kepuasan mereka secara keseluruhan, demikian argumen Medy Navani dalam Entrepreneur Middle East. Dengan begitu, perusahaan pun akan menikmati buah keuntungan lebih besar. 

Dalam infografik yang dirilis di situs Ohio University dinyatakan bahwa menurut studi di Swedia, bekerja 6 jam sehari (alih-alih 8 jam), bisa memompa produktivitas karyawan dan mengurangi potensi absensi mereka. Karyawan pun cenderung lebih sehat dan produktif dengan adanya pengurangan jam kerja. Dalam konteks responden studi adalah perawat, ditemukan bahwa para perawat dengan durasi kerja enam jam 20 persen lebih bahagia dan 64 persen lebih  produktif. 

Negara-negara Skandinavia bisa dibilang paling progresif soal aturan jam kerja ini. Perdana menteri Finlandia yang tengah menjabat, Sanna Marin, sempat menggagas enam jam kerja fleksibel dan empat hari kerja dalam sebuah diskusi panel sebelum ia menduduki posisinya sekarang.

“Saya percaya orang-orang layak menghabiskan lebih banyak waktu dengan keluarganya, orang-orang tersayangnya, atau melakukan hobi dan aspek lain dalam hidup. Ini bisa menjadi langkah maju bagi kita dalam kehidupan karier,” kata Marin sebagaimana dikutip Forbes.

Di Inggris, tuntutan untuk bekerja dengan durasi lebih pendek juga disuarakan oleh Partai Buruh. Di sana, ada kebijakan empat hari kerja dalam seminggu tanpa pengurangan gaji. Efeknya tidak hanya dirasakan karyawan, tetapi lebih makro lagi, yakni mengurangi emisi karbon yang muncul akibat mobilisasi karyawan. 

Waktu Kerja dan Kaitannya dengan Kesetaraan Gender

Bagi perempuan, bisa mendapat durasi kerja pendek atau sistem jam kerja fleksibel dari kantor adalah suatu keistimewaan, terlebih bagi yang sudah berkeluarga. Di tengah budaya patriarkal, perempuan masih diharapkan memegang peran dominan dalam mengurus rumah tangga dan anak. Ini berekor pada beban ganda yang mesti mereka emban jika memilih tetap berkarier.

Namun, jam kerja pendek tidak seharusnya diberikan kepada perempuan saja. Laki-laki pun patut melakukan hal ini agar ia bisa mengimbangi perempuan terkait peran di luar kantornya. 

Banyak studi mengatakan, keterlibatan laki-laki di ranah domestik, terlebih dalam hal mengurus anak, berdampak positif terhadap perkembangan anaknya tersebut. Dalam sebuah laporan yang dimuat di The Guardian dikatakan, laki-laki yang turut berperan dalam urusan rumah tangga mendorong anak lebih bahagia dan teredukasi dengan baik. Sementara bagi dirinya sendiri, hal tersebut memberi manfaat bagi kesehatan mental dan fisiknya.

Sementara dari laporan Organisasi Buruh Internasional (ILO) berjudul “Decent Working Time” (2007) disebutkan bahwa “waktu kerja yang layak” mendukung kesetaraan gender. Tidak jarang kita temukan karyawan lebih banyak menghabiskan waktu kerja dibanding karyawati karena adanya “kewajiban” rumah tangga berbasis peran gender tradisional. Ini pada akhirnya menciptakan segregasi gender di tempat kerja, di mana perempuan menghadapi lebih banyak hambatan untuk memasuki dunia kerja dan promosi karier.

“Untuk mempromosikan kesetaraan gender, kebijakan jam kerja harus dibuat sedemikian rupa untuk mendorong  perempuan pekerja berada setara dengan laki-laki (misalnya dalam hal level posisi, perkembangan karier, dan sebagainya)…Pertama, dengan menutup kesenjangan gender dalam hal jam kerja untuk laki-laki dan perempuan. Ini bisa dilakukan dengan cara membatasi jam kerja berlebihan bagi para pekerja purnawaktu…” demikian petikan laporan ILO tersebut.

Read More