Quiet Covering Tren Tidak Jadi Diri Sendiri di Tempat Kerja

‘Quiet Covering’: Tren Tidak Jadi Diri Sendiri di Tempat Kerja

Di era modern ini, dunia kerja makin dinamis: tren work-life balance makin disuarakan, kesehatan mental makin dibicarakan, dan perusahaan ditekan agar lebih inklusif terhadap keragaman. Tapi, ada fenomena halus yang sering luput dari perhatian: quiet covering.

Quiet covering adalah ketika seseorang “menyembunyikan” bagian dari identitasnya di tempat kerja agar bisa diterima. Misalnya, ada karyawan yang enggan membahas latar belakang mereka, atau pekerja perempuan yang menutupi tantangan menjadi ibu agar tak dianggap “kurang profesional”. Fenomena ini tidak hanya dialami kelompok minoritas, siapa pun bisa jadi terjebak ketika tekanan sosial di tempat kerja tinggi.

Quiet covering sulit dideteksi karena sifatnya yang sunyi dan diam-diam. Tidak ada aturan tertulis yang memaksa seseorang melakukannya, tapi atmosfer budaya kerja sering mendorong agar “menyesuaikan diri” dibanding tampil otentik. Lama-kelamaan, hal ini bisa menimbulkan kelelahan emosional, rasa tidak puas terhadap diri sendiri, bahkan menurunnya produktivitas.

Contohnya: generasi muda (Gen Z) disebut-sebut turut merasakan tekanan ini, mereka sering memilih diam tentang hal-hal pribadi yang dianggap “berisiko” di lingkungan kerja. Menurut artikel Forbes, ‘Quiet Covering’: New Studies Show What Else The Gen Z Stare Conceals, fenomena Gen Z Quiet Covering makin banyak dibicarakan sebagai realitas baru dunia kerja, di mana para pekerja menyembunyikan identitas agar aman dari bias atau stigma.

Dengan memahami apa itu, mengapa ia terjadi, dan dampaknya pada individu maupun organisasi, kita punya peluang untuk membangun ruang kerja yang lebih sehat, aman, dan inklusif bagi semua orang.

Baca Juga: ‘Positive Culture’: Rahasia Budaya Kerja Sehat yang Bikin Karyawan Betah dan Produktif

Apa Itu Quiet Covering?

Quiet covering bisa dipahami sebagai cara pekerja “bertahan hidup” di kantor dengan cara menyembunyikan sebagian identitas, kebiasaan, atau kepribadiannya supaya tidak memicu reaksi negatif. Sederhananya, seseorang menutupi sisi dirinya agar terlihat sesuai dengan norma, budaya, atau ekspektasi perusahaan.

Contohnya, seorang karyawan dengan aksen daerah bisa memilih berbicara dengan logat yang lebih “netral” agar tidak dipandang sebelah mata. Ada juga pekerja yang punya kondisi kesehatan mental seperti kecemasan, tapi memilih diam karena takut dilabeli “lemah” atau “tidak produktif”.

Bahkan hal-hal sederhana, seperti menghindari obrolan soal hobi atau gaya hidup yang dianggap berbeda, juga bisa termasuk quiet covering. Menurut riset Uncovering Culture dari Deloitte DEI Institute tahun 2023, 60% pekerja di AS melaporkan pernah melakukan covering di tempat kerja dalam 12 bulan terakhir, hampir sama dengan angka survei serupa satu dekade lalu, ini menunjukkan bahwa tekanan untuk “menyesuaikan diri” masih sangat terasa.

Kalau dibandingkan dengan quiet quitting, perbedaannya cukup jelas. Quiet quitting fokus pada batasan kerja: karyawan hanya memberikan usaha sesuai kontrak. Sementara itu, quiet covering menyentuh sisi yang lebih personal: identitas diri. Artinya, seseorang bisa tetap bekerja keras dan loyal, tapi di balik layar ia menutupi siapa dirinya sebenarnya.

Fenomena ini sering tersembunyi. Atasan atau rekan kerja mungkin menilai seseorang sebagai “normal-normal saja,” padahal di balik itu dia merasa harus terus mengenakan “topeng” agar diterima. Itulah yang membuat quiet covering begitu berbahaya: ia mengikis keaslian diri dan perlahan menurunkan kesehatan mental. Menurut artikel Employee Stress Is a Business Risk – Not an HR Problem di Harvard Business Review, stres kerja dianggap bukan sekadar persoalan individu, melainkan risiko bisnis nyata yang bisa memengaruhi keterlibatan karyawan dan performa organisasi.

Pada akhirnya, quiet covering bukan sekadar masalah individu, tapi juga cermin dari budaya kerja. Kalau banyak karyawan merasa harus menyembunyikan diri, berarti ada yang salah pada lingkungan tersebut, mulai dari inklusivitas, keamanan psikologis, hingga minimnya pemahaman soal keberagaman.

Baca Juga: Apa Itu ‘Quiet Cutting’: Ketika Karyawan Dimanipulasi Supaya Resign

Mengapa Generasi Muda Lebih Rentan Quiet Covering?

Gen Z dan milenial muda sering dianggap sebagai generasi paling vokal soal identitas, keberagaman, dan inklusivitas. Mereka tumbuh di era digital, terbiasa mengekspresikan diri secara terbuka, dan membawa semangat untuk menciptakan dunia kerja yang lebih adil. Ironisnya, kelompok ini justru lebih rentan mengalami quiet covering, strategi menyembunyikan identitas agar bisa diterima di kantor.

1. Tekanan dari Media Sosial

Generasi muda hidup di bawah sorotan media sosial yang hampir tak ada habisnya. Identitas, opini, hingga gaya hidup mereka bisa langsung dinilai publik. Saat masuk dunia kerja, tekanan ini membuat mereka berada di persimpangan: ingin tampil autentik, tapi khawatir dianggap tidak profesional. Akhirnya, banyak yang memilih menutup sebagian diri mereka. Menurut survei Pew Research Center, Teens, Social Media and Technology, 65% Gen Z mengaku media sosial menambah ekspektasi yang harus mereka penuhi, termasuk dalam hal profesionalisme.

2. Perbedaan Nilai Antar Generasi

Di banyak perusahaan, keputusan masih banyak ditentukan oleh generasi yang lebih tua dengan pola pikir konservatif. Misalnya, Gen Z terbuka bicara soal kesehatan mental, sementara generasi sebelumnya sering menganggapnya sebagai tanda kelemahan.

Perbedaan nilai ini membuat pekerja muda lebih berhati-hati. Dalam Deloitte Global 2023 Gen Z and Millennial Survey, tercatat 46% Gen Z merasa tertekan untuk menutupi sebagian identitas mereka di tempat kerja demi menghindari penilaian negatif.

3. Kerentanan di Awal Karier

Sebagian besar pekerja muda masih berada di tahap awal karier, dengan posisi yang belum stabil. Kondisi ini membuat mereka lebih rentan terhadap penilaian atasan. Quiet covering kemudian jadi strategi aman untuk bertahan, yakni menyembunyikan hal-hal yang dianggap “tidak sesuai” demi menjaga reputasi.

Laporan McKinsey, What employees are saying about the future of remote work, menegaskan bahwa pekerja muda cenderung lebih patuh pada norma kerja agar bisa mempertahankan posisinya.

4. Harapan Menjadi Agen Perubahan

Gen Z juga dikenal sebagai generasi yang ingin membawa perubahan positif di dunia kerja, menciptakan lingkungan yang lebih inklusif, sehat, dan adil. Namun, ketika kenyataan di kantor tidak sesuai harapan, mereka justru merasa terjebak.

Alih-alih bisa bebas berekspresi, mereka memilih menutup sebagian identitas untuk tetap diterima. Menurut riset Gallup, Is Quiet Quitting Real?, 54% Gen Z merasa perusahaan belum menyediakan lingkungan kerja yang cukup inklusif bagi keberagaman.

5. Dampak Psikologis yang Lebih Berat

Karena mereka terbiasa hidup dengan prinsip keaslian di ruang digital, benturan muncul saat mereka harus melakukan quiet covering di kantor. Gen Z bisa merasakan konflik batin karena nilai yang mereka pegang tidak bisa diungkapkan secara utuh, dan ini berpotensi memicu stres emosional.

Dikutip dari eurekalert.org, APA poll finds younger workers feel stressed, lonely and undervalued, sebagai contoh, menurut survei American Psychological Association (APA), pekerja muda kerap melaporkan perasaan stres, kesepian, dan kurang diapresiasi di lingkungan kerja mereka.

Baca Juga: Bos Red Flag Bikin Stres? Ini Strategi Bertahan di Tempat Kerja

Cara Mengurangi Quiet Covering di Tempat Kerja

Fenomena quiet covering bukan sekadar urusan individu, tapi juga cerminan dari budaya dan sistem kerja yang belum sepenuhnya inklusif. Karena itu, solusi untuk menguranginya harus bersifat kolektif, melibatkan perusahaan, pemimpin, hingga rekan kerja. Berikut beberapa langkah yang bisa dilakukan:

1. Membangun Budaya Inklusif Sejak Awal

Inklusivitas tidak boleh berhenti di slogan. Perusahaan perlu menanamkan nilai ini dalam praktik nyata, seperti menyusun kebijakan anti-diskriminasi yang ditegakkan secara konsisten, mengadakan pelatihan keberagaman dan inklusi (DEI training), hingga merayakan perbedaan budaya dan identitas karyawan.

Studi dari McKinsey, Diversity wins: How inclusion matters, menunjukkan bahwa perusahaan dengan budaya inklusif memiliki tingkat keterlibatan karyawan yang lebih tinggi dan performa bisnis yang lebih baik.

2. Memberikan Ruang Autentisitas bagi Karyawan

Salah satu penyebab utama seseorang melakukan quiet covering adalah karena merasa tidak ada ruang aman untuk menjadi diri sendiri. Perusahaan bisa mengubah ini dengan menyediakan forum internal untuk berbagi pengalaman, kanal ide terbuka, dan mendorong keanekaragaman dalam tim.

Menurut artikel More-Authentic Workplaces Lead to Better Retention, Productivity di SHRM, lingkungan kerja yang mendorong keaslian (authenticity) menunjukkan bahwa karyawan yang dapat menjadi diri mereka sendiri cenderung lebih puas dan produktif.

3. Peran Pemimpin Sebagai Role Model

Pemimpin punya peran krusial dalam menciptakan iklim keterbukaan. Bila seorang leader berani tampil manusiawi, misalnya terbuka soal tantangan emosional atau aspek kehidupan pribadi, itu memberi sinyal bahwa timnya boleh jujur dan otentik. Riset The Impact of Authentic Leadership Behavior on Employee Trust and Work Engagement menemukan bahwa kepemimpinan otentik meningkatkan kepercayaan dan keterlibatan karyawan di tempat kerja.

4. Meningkatkan Psychological Safety

Psychological safety adalah kondisi di mana karyawan merasa aman untuk bicara, berpendapat, atau bahkan membuat kesalahan, tanpa takut dihukum. Untuk mencapainya, perusahaan bisa mengapresiasi ide baru, menjaga komunikasi dua arah yang terbuka, dan mendukung kreativitas.

menurut riset Bryant University, Can I Be Who I Am? Psychological Authenticity Climate and Employee Outcomes, bentuk organisasi yang menghargai keautentikan (authenticity climate) terbukti berdampak positif terhadap kepuasan kerja, burnout, dan perilaku warga organisasi.

5. Dukungan dari Rekan Kerja

Dukungan sosial dari rekan kerja juga sangat penting. Sikap sederhana seperti tidak menghakimi pilihan pribadi, menyediakan ruang untuk bercerita, atau menyemangati ketika seseorang menunjukkan sisi autentiknya bisa meringankan tekanan untuk covering.

Menurut artikel Inclusive Leadership, Five Positive Impacts of Authenticity in the Workplace, mereka yang merasa bebas menjadi diri sendiri di tempat kerja cenderung lebih percaya diri, terlibat, dan bahagia, yang juga memperkuat hubungan dengan rekan kerja.

Read More