Perjuangan Naomi Osaka yang Layak Dijadikan Panutan Perempuan
Setelah satu tahun melawan pandemi, berbagai perhelatan olahraga mulai hidup kembali. Euro 2020 dan Wimbledon 2021 adalah dua dari berbagai kompetisi kelas dunia yang diadakan. Selain itu, walaupun kontroversial, Olimpiade Tokyo 2020 turut merayakan kesuksesannya dengan memulai rangkaian acara mereka sejak 23 Juli 2021. Satu tokoh publik yang menarik perhatian saya pada pembukaan kompetisi olahraga empat tahunan tersebut adalah atlet perempuan teladan, Naomi Osaka.
Atlet tenis asal Jepang ini berperan sebagai pembawa obor dan menyalakan Api Olimpiade pada upacara pembukaan. Penampilan Naomi membuat saya senang terutama setelah mengikuti berita-berita negatif yang sempat menyorot kegiatan atlet tersebut.
Naomi sempat mengundurkan diri dari French Open atau Rolland-Garos karena kondisi mentalnya yang sempat memburuk. Pada 30 Mei 2021, Naomi mendapatkan denda sebanyak US$15.000 oleh Rolland-Garos karena tidak datang pada konferensi pers yang hukumnya wajib dihadiri oleh para atlet yang berpartisipasi. Absennya petenis keturunan Jepang dan Haiti tersebut diakibatkan oleh keinginannya menarik diri untuk memulihkan kesehatan mentalnya.
Keputusan Naomi mengutamakan dirinya sendiri adalah sikap yang patut diacungi jempol. Jika merefleksi kepada diri saya sendiri, pada usia 23 tahun, lingkungan di sekitar saya belum memiliki kesadaran yang tinggi tentang isu kesehatan mental. Selain itu, yang saya perhatikan selama menjadi atlet taekwondo di Jakarta belasan tahun yang lalu, kesuksesan atlet-atlet Indonesia belum tentu dibarengi dengan tim yang mumpuni dalam hal pendampingan kesehatan mental. Karena itu, saya salut melihat Naomi yang masih muda beserta tim yang dia miliki mampu mengutamakan kondisi psikologisnya.
Rasa kagum saya semakin bertambah setelah menonton serial dokumenter Naomi Osaka di Netflix. Dari tayangan tersebut, Naomi menunjukkan kepeduliannya tidak hanya sebatas isu kesehatan mental, tetapi juga perempuan mendukung perempuan dan protes ketidakadilan ras.
Baca juga: Bullying dan Seksualisasi: Perempuan dalam Dunia Game
Naomi Osaka dan Isu Kesehatan Mental
Kepada majalah Time, Naomi menyatakan bahwa dirinya selalu tampil apa adanya setiap menghadiri konferensi pers. Tidak adanya pelatihan menghadapi pers membuat dirinya selalu jujur dan tidak menutup-nutupi jawaban dari segala pertanyaan yang diajukan kepadanya.
Walaupun sikap tulus Naomi tersebut terdengar baik, ternyata tidak adanya tameng dalam menghadapi pers menjadi beban baginya. Selain itu, Naomi mengaku bahwa kepribadian introvert membuat ia semakin menarik diri dari pers saat kondisi mentalnya memburuk.
Dalam pernyataan resmi mereka, pihak Rolland-Garos menyatakan, kondisi para atlet adalah hal utama yang menjadi perhatian penyelenggara French Open tersebut. Oleh sebab itu, kehadiran para atlet dalam konferensi pers diharapkan dapat menjadi salah satu cara mereka untuk memahami kondisi para atlet.
Namun, Naomi tidak mengindahkan pernyataan resmi tersebut dengan mudah. Dia mengusulkan agar para atlet diberi cuti sakit yang berlaku tidak hanya untuk kesehatan fisik, namun juga kesehatan mental. Selain itu, anak kedua dari Tamaki Osaka dan Leonard Francois ini berharap agar ketidakhadiran atlet pada konferensi pers tidak dicibir dan ditanggapi secara berlebihan. Terutama jika absennya atlet disebabkan oleh kondisi kesehatan mental mereka yang menurun.
Baca juga: Nasib Seniman dan Atlet Saat Pandemi: Hilang Pendapatan, Ganggu Kesehatan Mental
Naomi Osaka adalah Bukti Perempuan Dukung Perempuan
Hal lain yang membuat Naomi menjadi sosok atlet perempuan teladan tergambar dalam perjalanan Naomi yang didokumentasikan dalam Naomi Osaka. Di sana diperlihatkan kerendahan hati dan sportivitas yang dimilikinya. Sikap rendah hati dan sportif tersebut turut menunjukkan tindakan perempuan mendukung perempuan yang dilakukan olehnya. Hal ini terlihat pada akhir pertandingan US Open melawan Coco Gauff 2019 lalu.
Naomi berhasil mengalahkan atlet remaja, Coco Gauff, yang pada saat US Open 2019 diselenggarakan baru berusia 15 tahun. Bukannya membiarkan Coco meninggalkan lapangan usai bertanding begitu saja, Naomi justru mengajaknya untuk melakukan wawancara bersama. Tidak hanya berbagi sorotan media, Naomi turut memuji tim Coco yang dinilainya telah membentuk seorang atlet yang hebat.
Kerendahan hatinya mengingatkan saya akan sikap Serena Williams, petenis kelas dunia yang diidolakan oleh Naomi. Pada US Open 2018, Serena berkonflik dengan wasit yang bertugas dalam pertandingannya melawan Naomi. Konflik tersebut membuat Serena kehilangan banyak angka dan akhirnya harus mengakui kemenangan Naomi.
Apa yang terjadi membuat penonton berempati pada Serena dan seolah-olah mengacuhkan pemenang yang sebenarnya. Akan tetapi, Serena merangkul dan menghibur Naomi yang meneteskan air mata sebelum menerima piala.
Hal yang dilakukan oleh idolanya tersebut sangat berkesan dan mungkin membuat Naomi menjadi rendah hati. Karena itu, keputusannya berbagi sorotan kemenangan dengan Coco Gauff tidak hanya menunjukkan sportivitas sesama atlet. Sikap Naomi merefleksikan dukungan ke sesama perempuan yang melebihi kalah-menang dalam sebuah pertandingan. Dengan keputusannya merangkul Coco, Naomi tidak hanya menginspirasi perempuan untuk mendukung sesama di bidang olahraga, tetapi juga di berbagai ranah perjuangan perempuan lainnya.
Baca juga: Pembatasan Level Testosteron pada Atlet Perempuan Munculkan Diskriminasi
Naomi Osaka dan Isu Rasialisme
Pada serial dokumenter Naomi Osaka, Naomi digambarkan sebagai keturunan orang tua Asia dan berkulit hitam yang sedang memahami posisinya dalam menghadapi isu rasialisme. Di awal episode ketiga serial dokumenternya, Naomi yang terlihat bingung menyatakan bahwa orang-orang kulit hitam tidak hanya ditemukan di Amerika Serikat (AS) saja. Banyak warga negara-negara lain yang berkulit hitam, namun tidak berkonflik seramai di AS.
Akan tetapi, setelah kematian George Floyd, Naomi menunjukkan empatinya dan mulai memahami perjuangan ras kulit hitam yang tertindas. Naomi akhirnya menyadari bahwa dirinya memiliki hak istimewa sebagai petenis kelas dunia. Hak istimewa tersebut digunakan olehnya untuk mempromosikan Black Lives Matter (BLM) dan membela korban-korban kekerasan berbasis ras di AS.
Selain mengikuti demonstrasi, bentuk perjuangannya terlihat dari tujuh masker yang masing-masing digunakannya saat menghadiri tujuh pertandingan di US Open 2020. Setiap masker yang dia kenakan bertuliskan nama tujuh orang kulit hitam yang menjadi korban diskriminasi ras di AS. Keputusan ini dilakukan Naomi agar khalayak ramai tersentil dan mulai membicarakan ketidaknyamanan yang terjadi akibat diskriminasi ras tersebut.
Apa yang dilakukan oleh Naomi mungkin terlihat sederhana. Namun, empati yang dimiliki oleh sosok atlet perempuan teladan tersebut belum tentu dimiliki oleh orang lain sepantaran atau lebih tua darinya. Naomi sadar betul bahwa kekuatan yang dia miliki sebagai atlet kelas dunia bisa digunakannya untuk menghasilkan perubahan dan membela sesama manusia.
Di usianya yang baru menginjak 23 tahun, Naomi Osaka menunjukkan, dia jauh lebih dewasa dari usianya. Kesadarannya akan isu kesehatan mental, perempuan mendukung perempuan, dan menentang ketidakadilan ras adalah tiga dari banyaknya hal yang bisa dipelajari dari Naomi. Petenis kelas dunia ini layak disebut sosok atlet perempuan teladan yang menginspirasi bagi perempuan, terutama mereka yang sedang mencari makna hidup dan tetap bertekad untuk memberdayakan sesamanya. Sikapnya yang pantang menyerah baik di dalam maupun luar lapangan juga dapat dijadikan motivasi agar perempuan tidak mudah kalah ketika menghadapi tantangan apa pun.
Retno Daru Dewi G. S. Putri adalah pengajar bahasa Inggris di Lembaga Bahasa Internasional, Universitas Indonesia. Topik-topik yang diminati oleh pemegang sertifikat Dan 1 Taekwondo ini adalah isu gender, kesehatan mental, filsafat, bahasa, dan sastra.
Read More