Plus-Minus Melakukan ‘Multitasking’ dalam Bekerja dan Belajar
Perempuan sering kali dianggap sebagai multitasker yang lebih baik daripada laki-laki. Ini karena mereka terlihat “mampu” mengerjakan berbagai macam hal pada saat yang sama. Sebagian perempuan pun mengamini kemampuan multitasking yang mereka punya sebagai suatu keunggulan, padahal ada plus minus melakukan multitasking yang perlu kita ketahui.
Para psikolog telah menemukan berbagai kerugian dari multitasking. Beberapa dari mereka menyatakan bahwa multitasking dapat mengurangi tingkat produktivitas. Sedangkan dalam riset-riset lain, sejumlah ahli bahkan mengatakan bahwa kita tidak bisa melakukan multitasking sama sekali.
Contohnya, ketika Anda menelepon sambil menyetir, kemampuan menyetir Anda memburuk karena perhatian Anda terbagi. Hukum yang memperbolehkan menelepon ketika menyetir asalkan tidak memegang teleponnya salah kaprah karena distraksi selama mengemudi tidak berkaitan dengan penggunaan tangan Anda.
Meski begitu, beberapa hasil penelitian lain justru berkesimpulan bahwa multitasking justru mendatangkan banyak manfaat. Suatu studi menunjukkan bahwa berbicara di telepon selama perjalanan yang panjang dan menjemukan dapat membantu pengemudi menjadi lebih waspada. Studi lain juga menerangkan bahwa murid yang duduk dalam kelas yang “membosankan” justru lebih baik bila mereka mencoret-coret buku atau kertasnya karena kombinasi aktivitas tersebut dapat membuat pikiran mereka tetap terjaga.
Sebagai seorang yang meneliti tentang cara kerja pikiran secara umum, penemuan-penemuan yang tampaknya bertolak belakang ini sangat menarik. Pertanyaan yang timbul adalah, apakah multitasking adalah suatu hal yang baik, buruk atau bahkan sesuatu yang mustahil? Berikut ini plus minus melakukan multitasking dalam bekerja atau belajar yang saya temukan.
Multitasking Membuat Fokus Berkurang
Apa yang seringkali disebut sebagai multitasking adalah sesuatu yang para psikolog kenal sebagai rapid task-switching atau peralihan tugas dengan cepat.
Contohnya, saat Anda menjawab pesan di telepon selama menonton film, perhatian Anda terbagi antara film tersebut dan pesan di layar telpon Anda. Anda tidak benar-benar memperhatikan keduanya pada saat yang bersamaan. Selagi Anda membaca pesan, pasti ada bagian film yang Anda lewatkan.
Baca juga: Perempuan Bertangan Delapan: Sulitnya Jadi Ibu Bekerja pada Masa Kini
Ini yang dimaksud para ahli psikologi saat mereka mengatakan bahwa multitasking mustahil dilakukan. Perhatian dan kesadaran Anda hanya bisa diberikan kepada satu hal dalam suatu waktu tertentu, sehingga Anda tidak dapat melakukan dua tugas pada saat yang bersamaan.
Terlebih lagi ada harga yang harus dibayar saat Anda mengalihkan perhatian Anda dari tugas yang satu ke tugas yang lainnya. Akan ada jeda saat Anda beralih dari satu tugas ke tugas yang lain, yang sering kali diiringi oleh penurunan dalam performa Anda.
Hal tersebut tidak menjadi masalah saat Anda menghabiskan satu jam untuk melakukan suatu hal sebelum beralih ke tugas lain, sebab kerugian yang dialami dari peralihan tugas tersebut tidak begitu terasa. Namun, apabila Anda berganti tugas setiap beberapa menit atau bahkan tiap beberapa detik, beban kognitif dari peralihan pekerjaan tersebut dapat menghalangi kinerja Anda.
Bayangkan jika untuk tiap kali Anda beralih pekerjaan, Anda kehilangan dua puluh lima sen. Jika misalnya Anda menggeser fokus dari pengajar di kelas kepada layar ponsel hanya sekali atau dua kali dalam sehari, itu bukan suatu masalah besar. Namun, apabila Anda melakukannya berkali-kali dalam satu hari, Anda harus merogoh kocek cukup dalam.
Menghitung Biaya Multitasking
Untuk tugas-tugas tertentu, seperti mengidentifikasi gender pada wajah lalu beralih kepada mengenali ekspresi pada wajah tersebut, waktu yang dibutuhkan untuk berganti fokus hanya sekitar 200 milidetik. Namun, bahkan jeda waktu yang demikian kecil dapat mengurangi produktivitas sebanyak 40 persen apabila Anda mencoba belajar sambil menonton film.
Penemuan seperti ini lahir dari riset di bidang psikologi kognitif saat para peneliti akan mengamati orang-orang dalam laboratorium yang ditugaskan untuk melakukan pekerjaan di komputer yang membutuhkan respons kilat.
Namun, sejauh mana hasil riset tersebut dapat diterapkan dalam dunia nyata?
Dalam dunia kerja, setiap orang dapat mengalami interupsi berkali-kali selama jam kerja. Saat Anda tengah mengerjakan anggaran kerja, rekan Anda bisa saja tiba-tiba berceletuk mengenai anaknya.
Baca juga: Konsekuensi Buruk Stereotip Perempuan Lebih Jago Multitasking
Biaya dari multitasking semacam itu terus bertambah. Estimasi kerugian dari berbagai macam interupsi dalam dunia kerja di Amerika Serikat adalah US$650 miliar tiap tahun. Gloria Mark, seorang ahli ilmu komputer dari University of California, Irvine, menemukan bahwa untuk mengembalikan perhatian yang hilang setelah diinterupsi dibutuhkan waktu rata-rata 25 menit. Bahkan, beberapa orang dalam penelitiannya tidak pernah dapat mengembalikan perhatian mereka kepada pekerjaannya seperti sedia kala.
Perhitungan demikian tidak sepenuhnya akurat. Namun, saat sains menemukan rentang waktu antara 200 milidetik dan 25 menit, besar kemungkinan bahwa disparitas tersebut patut ditelusuri lebih jauh.
Para ahli psikologi kognitif melakukan percobaan mereka di dalam laboratorium yang dikendalikan. Di laboratorium tersebut, Anda akan diminta untuk melakukan tugas-tugas sederhana dengan stimuli yang cukup sederhana. Sering kali Anda hanya diperintah untuk melihat aspek-aspek yang berbeda dari gambar yang diberikan (contohnya, dari gender ke ekspresi wajah). Namun, jelas bahwa kondisi tersebut tidak dapat disamakan dengan situasi di mana Anda harus mengangkat telepon saat tengah mengerjakan laporan kerja.
Di dalam dunia nyata, saat Anda menerima panggilan telepon, Anda harus mengangkat teleponnya dan terdistraksi oleh hal-hal lain. Anda bahkan mungkin membutuhkan 68 detik untuk mengingat kembali apa yang sebenarnya sedang Anda lakukan.
Saran Praktis dari Plus Minus Melakukan Multitasking
Dampak negatif dari multitasking itu benar-benar ada, tetapi seringkali hal tersebut tidak disadari. Interupsi, distraksi, dan melakukan banyak hal pada saat yang bersamaan secara umum akan mengurangi laju produktivitas kita.
Saran yang cukup sederhana adalah: Saat Anda sedang melakukan sesuatu yang membutuhkan perhatian khusus, jangan mengerjakan hal lain.
Banyak hal yang harus dilakukan agar Anda dapat tetap menjaga fokus. Cobalah mengatur jam kerja Anda dalam segmen-segmen berdurasi 30 menit untuk membantu Anda menyelesaikan berbagai tugas Anda. Anda bisa mencoba melakukan tugas yang berbeda dalam tiap setengah jam.
Saya melakukan hal ini dan beberapa orang lain merasa bahwa saya melakukan multitasking. Padahal, saya sebenarnya tengah fokus melakukan sebuah pekerjaan dan tidak melakukan hal lain dalam jangka waktu setengah jam. Saya tidak melihat ponsel, e-mail atau beralih ke tugas lain selama periode waktu tersebut. Meskipun saya melakukan berbagai macam hal dalam satu hari, tiap tugas masih segar di pikiran saya pada saat saya harus kembali mengerjakannya esok hari.
Patut dicatat bahwa multitasking tidak sepenuhnya buruk, tetap saja ada plus minus melakukan multitasking. Apabila ada suatu tugas yang mudah dan dapat Anda lakukan tanpa perlu banyak berpikir, kerugian dari multitasking tidak terlalu terasa. Contohnya, mendengarkan musik saat Anda berolah raga justru dapat membuat Anda berolah raga lebih lama. Mencoret-coret selama kelas atau kuliah yang menjemukan atau mendengarkan musik instrumental selagi Anda memprogram komputer atau belajar juga dapat meningkatkan fokus Anda.
Bahkan bergonta-ganti aktivitas tidak selamanya merugikan karena justru dapat menyegarkan pikiran Anda. Banyak orang dengan sengaja melakukan hal lain untuk mencari jalan keluar saat mereka terjebak dalam suatu permasalahan.
Mengetahui bahwa Anda hanya punya waktu 30 menit untuk menyelesaikan suatu tugas juga dapat memotivasi Anda. Hal ini dikarenakan seberapa pun besar keengganan Anda untuk melakukan suatu pekerjaan, pada akhirnya Anda tahu bahwa Anda hanya harus melakukannya untuk setengah jam.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Jim Davies adalah profesor di Institute of Cognitive Science, Carleton University.
Read More