Bagaimana Kak Nissa Wargadipura mengaitkan usaha memelihara lingkungan dengan ajaran Islam?
Saya pikir pemeliharaan lingkungan dalam Islam itu sangat mendasar, ya. ‘Kan orang Islam harus bersuci. Contohnya, kalau airnya terpapar racun, terpapar najis, maka kita tidak bisa bersuci. Air harus terpelihara dengan baik. Maka itu dalam ajaran Islam yang kami terapkan, kami berusaha mengelola bagaimana air tidak terkena racun atau limbah, bagaimana air tetap ada, bagaimana ketika di musim kemarau tidak kekeringan. Itu bisa dilakukan hanya dengan cara menjaga lingkungan kita, dan juga terus bertanam.
Tanaman-tanaman itulah yang membuat air tetap ada, tetap bersih. Maka dari itu, kami membuat gerakan-gerakan membangun hutan kecil. Dengan adanya hutan kecil, kita akan mendapatkan air yang tetap bersih, air yang tetap tersedia, dan kesucian sebagaimana patut dijaga menurut ajaran Islam. Contohnya, ketika dalam mengambil air wudu itu sudah sah, tapi kalau banyak sekali sampah, banyak sekali tanah terkena paparan racun dan limbah, kami merasa itu harus menjadi fokus yang utama bagi umat Islam.
Masalah pencemaran air yang lantas bisa berkaitan dengan kesucian dalam ajaran Islam adalah satu hal tersendiri. Adakah concern lain terkait lingkungan yang juga ingin Kak Nissa bagikan di sini?
Membangun imajinasi kebersihan atau bersuci itu bukan hanya ketika kita bersentuhan dengan air. Bayangkan air kita itu dari mana, air kita kan harus bersih, harus suci, jadi harus jelas dari mana airnya.
Contohnya yang paling konkret biasanya di Jakarta, kita menginap di hotel, dan di hotel itu kan menampung seluruh cairan manusia. Setelah itu dikembalikan lagi, disaring lagi, dibersihkan. Saya belum menemukan apakah air itu suci untuk berwudu. Memang secara teknologi, air itu menjadi bersih, tapi tetap tidak boleh diminum.
Rasa-rasanya memang kita ini harus kembali pada situasi di mana kita harus kembali menanam agar persediaan air pun menjadi banyak. Mari kita menanam berbagai macam tanaman, mulai dari tanaman A sampai Z yang sifatnya menghasilkan air sehingga air melimpah dan kita semua pun akan terselamatkan.
Jadi perspektifnya dari mana dulu airnya itu, dengan cara apa kita mendapatkan air untuk menyucikan itu, serta bagaimana kita menjaganya.
Di sini juga dapat dilihat ada kesalahan dalam sistem pengajaran di Indonesia. Sistem pendidikan kita melihat bahwa menjaga lingkungan itu hanya membicarakan membuang sampah pada tempatnya. Betul itu adalah salah satunya, tapi tidak dikatakan bahwa menjaga lingkungan itu sebenarnya juga mencakup memelihara keanekaragaman hayati.
Dengan memelihara keanekaragaman hayati dan siklus ekosistem, maka itu menjadi bagian dari usaha menjaga lingkungan kita. Dari kesalahan dalam sistem pendidikan ini, terjadilah bencana di mana-mana. Longsorlah, banjirlah, itu pangkalnya bukan hanya dari plastik, tapi juga dari kebiasaan orang-orang yang merusak lingkungannya sendiri.
Tidak hanya dari orang setempat yang mendorong perusakan lingkungan, peran pemerintah yang minim juga bersumbangsih terhadap munculnya bencana seperti Kak Nissa sebutkan tadi. Misalnya, soal penggundulan hutan yang diabaikan pemerintah, atau pemangku kepentingan tidak mengakui terjadi perusakan lingkungan. Bagaimana tanggapan Kak Nissa Wargadipura terhadap hal ini?
Rasa-rasanya sebenarnya sistem pemeliharaan lingkungan di kita belum baik. Pemerintah juga memiliki kesalahan yang banyak karena tidak ada sistem yang ajek, salah satu contohnya food estate.
Program ini salah satunya dilakukan di hutan di Papua. Hutan di sana dihabiskan hanya untuk dijadikan sawah, ditanamkan beberapa tanaman dan itu berbentuk sayuran. Padahal, hutan adalah gudangnya keanekaragaman hayati, hutan adalah gudangnya penyelamatan lingkungan sekitar dan itu terkait satu sama lain. Lagi pula, orang Papua kan tidak butuh sawah, mereka butuhnya sagu, ubi.
Masih soal food estate, kenapa orang Maluku harus dihadapkan dengan nasi, padahal sagu juga mereka sudah cukup, bahkan banyak sekali? Orang Sunda juga sebenarnya cukup dengan singkong dan umbi-umbian, kenapa harus mencetak kebun-kebun baru?
Jadi ironis ketika semata-mata yang disalahkan itu masyarakat, padahal sistem kebijakannya tidak kuat, dan akhirnya terjadilah bencana alam di mana-mana. Jika saja kebijakan pro terhadap rakyat serta pro keadilan dan kelestarian alam diberlakukan, akan terjadi perbaikan ekologi.
Kita berharap semuanya dapat berjalan dengan baik, jika sistem kebijakan itu berpangkal pada keselamatan alam, keselamatan rakyat, dan keselamatan ekonomi rakyatnya. Sekarang tidak berpangkal pada itu, jadi ya akhirnya, pemerintah jalan sendiri, rakyat apalagi.