Pembentukan bangsa Indonesia tidak hanya berkat jasa-jasa pihak laki-laki saja tetapi juga perempuan dengan latar belakang yang beragam, salah satunya para pahlawan perempuan muslimah. Mereka berjuang untuk bebas dari pihak penjajah dan merdeka dari segala bentuk penindasan.
Baca Juga: Jejak Perempuan Pemimpin Kerajaan Nusantara
Mereka berjuang tidak hanya lewat jalur perang tetapi juga dari beragam jalur seperti pendidikan, kebudayaan, dan lain sebagainya. Mereka memperlihatkan bahwa muslimah juga bisa berjuang dan menggapai cita-cita mereka. Berikut ini beberapa muslimah yang patut kamu ketahui ceritanya.
1. Sultanah Safiatuddin Berjuang dalam Melestarikan Literasi, Kebudayaan dan Pendidikan
Sultanah Safiatuddin merupakan nama pahlawan perempuan Indonesia yang paling terkenal dan termahsyur di kesultanan Aceh. Lahir pada tahun 1612 ia berhasil membawa kesultanan Aceh ke dalam masa keemasan lewat kebudayaan, literasi serta pendidikan.
Dibawah kepemimpinan Sultanah Safiatuddin ia membawa kesultanan Aceh ke masa kejayaan, dalam berbagai bidang, di antaranya pendidikan, kebudayaan, penyebaran agama Islam, hingga perlawanan terhadap VOC gencar ia lakukan. Ia juga membuat pasukan prajurit perempuan penjaga istana yang ikut serta bertempur dalam perang Malaka pada sekitar tahun 1639.
Di masanya juga, Sultanah Safiatuddin sangat tertarik dan mendukung kebudayaan dan literasi serta pendidikan. Ia me memberikan dukungan penuh pada para sastrawan dan kelompok intelektual untuk mengembangkan diri mereka. Ia pun juga aktif membangun pesantren-pesantren untuk rakyat belajar mengaji. Sultanah Safiatuddin lebih mengedepankan jalur diplomasi ketimbang lewat militerisme. Kemampuan literasinya yang membuat ia fasih berdiplomasi dengan beberapa pihak dan berhasil menghalau ancaman-ancaman yang datang.
2. Cut Nyak Dhien Pahlawan Perempuan dan Perang Gerilyanya
Akibat semakin kuatnya pihak Belanda dan pengaruh mereka terhadap bangsawan-bangsawan Aceh membuat Kesultanan Aceh semakin mundur dan semakin melemah. Dalam situasi ini, Cut Nyak Dien lahir dari keluarga Uleebalang di Aceh besar pada 1848. Di masa tersebut Uleebalang memiliki status setingkat Bupati dan mempunyai kemampuan militer. Cut Nyak Dhien memperoleh kemampuan militernya dengan cara belajar sendi dan tentu saja dari tarah kebangsawanannya.
Baca Juga: Rasuna Said dan Soewarni Pringgodigdo: Contoh Kepemimpinan Perempuan Era Kolonial
Bersama dengan suaminya Teuku Cek Ibrahim Langga, yang konsisten melawan Belanda. Ketika suaminya mati dalam perang, Cut Nyak Dhien bertekad untuk membalas dendam pada pihak Belanda dan mengusir mereka dari tanah Aceh.
Dalam peperangan di Aceh hampir sama dengan perang Jawa, membuat pihak Belanda kelimpungan karena serangan dari pasukan Aceh terus menerus dan bertubi-tubi. Cut Nyak Dhien berjuang bersama dengan suami keduanya, Teuku Umar dalam peperangan ini. Namun, sangat disayangkan Teuku Umar pun gugur dalam perang ini.
Walaupun sudah semakin tua, dan mengidap penyakit encok, Cut Nyak Dhien tetap berjuang dalam peperangan. Karena merasa kasihan, salah satu bawahannya memberikan info lokasi Dhien kepada pihak Belanda, dan ia pun tertangkap oleh pihak Belanda. Hingga menghembuskan nafas terakhir, Dhien menolak untuk tunduk pada pihak Belanda, dan karena kewibawaannya Dhien tetap ditakuti serta disegani.
3. Pahlawan Perempuan Muslimah Indonesia: Yati Aruji
Sejak kecil Yati Aruji sudah akrab dengan aktivitas pergerakan. Dibesarkan oleh seorang ayah yang aktif di Sarekat Islam sebuah organisasi politik pra-perang di Hindia Belanda serta ibunya yang mengelola dap umum membuatnya ikut terjun dalam dunia pergerakan. Yati aktif di Partai syarikat Islam Indonesia. Di PSII ia aktif dan akhirnya menjadi ketua Syarikat Islam Afdeling Pandu Putri (SIAP_ yang akhirnya setelah itu menjadi anggota Kepanduan Muslimin Indonesia.
Baca Juga: 6 Pahlawan Perempuan Indonesia Beserta Asalnya yang Perlu Kamu Ketahui
Pada tahun 1945 Yati mendirikan LASWI, organisasi ini mengoordinasi 61 kesatuan perjuangan di seluruh Jawa Barat. Organisasi ini dilatih oleh mantan anggota PETA dan bertugas di garis depan. Anggotanya pun semua perempuan dengan beragam latar belakang, dari gadis, janda, hingga yang masih memiliki suami. Mereka bisa melakukan apa saja, mulai dari merawat prajurit yang teruka, menjadi mata-mata, mengajar kelas pemberantasan buta huruf, dan lain sebagainya.
4. Kartini Melawan dengan Pemikiran dan Surat-Suratnya
Kamu sudah pernah membaca kumpulan surat-surat Kartini dengan teman penanya Stella Zeehanderlar dan Abendanon? Surat-surat Kartini berisi tentang pemikiran-pemikirannya akan dunia yang setara dan membuat kita terinspirasi dari suratnya itu. Kartini lahir dari keluarga ningrat dan ia beruntung dapat memakan bangku sekolah walau hanya sampai di umur 12 tahun. Setelah itu ia dipingit untuk dinikahkan. Walaupun ruang geraknya dibatasi, wawasan Kartini begitu luas.
Kartini merupakan pahlawan perempuan muslimah yang menolak prinsip feodalisme dan menolak dipanggil Raden Ayu. Dalam masa pingitnya, ia banyak bersurat dan merenung soal posisi perempuan yang tidak setara dalam pernikahan. Cita-cita Kartini ingin sekali menjadi antropolog, ia bahkan sudah mengantongi beasiswa ke Belanda, namun zaman itu terlalu dini bagi perempuan untuk mengenyam pendidikan setinggi itu, maka dari itu beasiswa itu pun diberikan pada Agus Salim.
5. Opu Daeng Risaju Salah Satu Anggota Sarekat Islam Paling Berpengaruh di Sulawesi Selatan
Tahukah kamu, pada masa penjajahan Belanda, semakin menguatnya kekuasaan mereka juga mengakibatkan peran gender dalam masyarakat yang semakin dibatasi antara laki-laki dan perempuan. Pergerakan pun mulai berubah dan saat itu mulai berfokus pada ide Indonesia yang merdeka.
Pada saat itu ideologi Islam yang sedang berkembang dan memberikan imajinasi tentang perlawanan terhadap kolonial serta organisasi Sarekat Islam menjadi organisasi yang paling banyak pengikutnya. Salah satu tokoh berpengaruh di Sarekat Islam di Sulawesi Selatan adalah Opu Daeng Risaju . Pahlawan perempuan indonesia ini lahir pada 1880 dan berasal dari keluarga bangsawan Luwu. Opu Daeng Risaju berkenalan dengan Partai Sarekat Islam diusianya yang ke 47 tahun. Ia bergabung dengan PSII Pare-Pare lalu kemudian mendirikan PSII cabang Palopo pada 14 Januari 1930. Berbeda dengan perjuangan lainnya, Opu melawan Belanda dengan cara memperkenalkan ide tentang kemerdekaan bangsa ini ke kerabat dan tetangga sekitarnya.
Walaupun saat itu ia ditangkap oleh pihak Belanda menangkapnya dengan tuduhan menghasut rakyat, Opu tidak gentar dan setelah penahanannya ditangguhkan salah seorang sepupunya, ia tetap menyebarkan ide-idenya itu.
6. Fatmawati Muslimah yang Menolak Dipoligami
Fatmawati faktanya merupakan ibu negara pertama yang dimiliki oleh Indonesia. Ia merupakan istri ketiga dari Soekarno setelah Soekarno menceraikan Inggit Garnasih. Fatmawati merupakan sosok yang pluralis, ia tumbuh besar sebagai perempuan cerdas, intelektual, serta aktif ikut dalam organisasi Islam Nasyiatul Aisyiah, sebuah organisasi perempuan di bahwa Muhammadiyah. Selain itu ia juga aktif mengikuti kursus-kursus yang membantunya memperluas wawasan tentang kebangsaan.
Baca Juga: 4 Pahlawan Perempuan dari Jawa Barat adalah Tokoh Feminisme
Pahlawan perempuan muslimah ini juga populer di masyarakat sebagai penjahit bendera merah putih yang dikibarkan saat proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Sebagai seorang ibu negara, ia membantu dalam gerakan-gerakan pemberantasan buta huruf, menentang poligami serta kegiatan ekonomi untuk memajukan kelompok perempuan. Ketika Soekarno ingin berpoligami dengan menikahi Hartini, Fatmawati menentang keras hal tersebut dan meminta cerai dari Soekarno. Walau sudah tidak lagi menjadi ibu negara, setelahnya Fatmawati tetap dianggap sebagai ibu negara dan tidak ada yang bisa menggantikan sosoknya.