‘Bullying’ di Tempat Kerja: Apa Saja Bentuknya dan Bagaimana Menyikapinya?

Belum lama ini, masyarakat dihebohkan dengan pengakuan MS, pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang mengalami kekerasan seksual dan perundungan (bullying) oleh sesama pegawai selama bertahun-tahun. Sejak pertama mengalaminya pada 2012, ia sudah ajek bersuara. Di 2017, ia sempat mengadukan kasusnya ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan dari sana ia dirujuk melaporkan hal tersebut ke polisi. Dua tahun berselang, ketika ia melapor ke Polsek Gambir, ia disarankan menyelesaikan perundungan di tempat kerja lewat atasan dulu, alih-alih ditindaklanjuti langsung.

Merespons aduan MS, pihak atasan hanya memindahkannya ke ruangan lain yang dianggap lebih aman bagi MS. Tahun lalu, saat MS hendak melanjutkan proses hukum kasusnya, polisi kembali mengecewakannya dengan tidak menanggapi secara serius.

Ketidakadilan yang lama dialami MS ini pada akhirnya mendorong dia untuk menceritakan secara kronologis kasus penganiayaan fisik dan psikis yang didapatkannya dari sesama rekan kerja ke internet pada September 2021. Baru setelah viral, pihak-pihak terkait angkat suara: Pihak KPI pusat melakukan investigasi, polisi menerima laporan MS. Namun, perkara terus berlanjut seiring dengan niat terduga pelaku untuk menuntut MS balik dengan tuduhan pencemaran nama baik. MS juga disebut-sebut memicu perundungan siber oleh warganet, yang setelah pengakuan MS tersebar, menyerang identitas pribadi serta keluarga terduga pelaku.

Baca juga: Kekerasan Seksual di KPI, Jangan Pakai Alasan Basi ‘Nama Baik Instansi’

Dampak Serius Perundungan di Tempat Kerja

Kasus seperti yang dialami MS ini tentu bukan hal langka dalam kehidupan profesional. Masalahnya, hanya sedikit saja yang buka suara tentang itu. Bahkan mungkin di antara para korban, ada yang tidak sadar dirinya telah mengalami bentuk-bentuk perundungan karena masih minimnya pengetahuan pribadi atau sosialisasi dari pihak kantor akan hal tersebut. Padahal, ini penting disadari siapa saja, bahkan anak-anak muda yang belum menginjak dunia karier, untuk menghindari terjadinya kasus pelik serupa MS di kemudian hari.

Sebagaimana diungkapkan MS dalam rilisnya, ia mengalami gangguan psikis dan fisik setelah berulang kali mengalami siksaan fisik, disuruh-suruh, dicaci maki, dan dilecehkan oleh rekan-rekan kerjanya. Stres berkepanjangan membuatnya mengalami gangguan lambung dan membuatnya mengidap post traumatic stress disorder (PTSD), sehingga dalam kesehariannya pun, MS tidak dapat berfungsi dengan baik. Ia kerap marah tiba-tiba serta menangis mengingat hal traumatis yang dialaminya dulu. 

Gangguan kesehatan yang dialami MS ini memang sering muncul pada korban perundungan di tempat kerja. Selain hal itu, dikutip dari Verywell Mind, korban perundungan juga bisa mengalami kecemasan, serangan panik, masalah tidur, dan tekanan darah tinggi. Sebuah riset yang dilakukan para peneliti di University of Copenhagen pada 2018 juga menyebutkan, korban perundungan berkemungkinan mengalami masalah jantung 59 persen lebih tinggi daripada yang tidak pernah dirundung di kantor. Di samping itu, korban perundungan juga bisa mengalami penyakit fisik lain yang dipicu perilaku koping terkait perundungan yang dia alami, misalnya dengan mengonsumsi makanan tidak sehat atau alkohol secara berlebihan.

Performa kerja korban pun terdampak seperti hilangnya konsentrasi, turunnya penilaian diri, motivasi kerja, serta produktivitas, dan kesulitan mengambil keputusan. Akibat terus terpikirkan soal perundungan yang pernah atau masih akan terjadi, korban akan menghabiskan banyak waktu, entah untuk menghindari perundung, terus termenung dan larut dalam perasaan terisolasi, memikirkan cara mempertahankan diri, atau mencari bantuan. Padahal, waktu tersebut dapat digunakan untuk bekerja dengan optimal seandainya dia tidak perlu tenggelam dalam masalah seperti ini. 

Tidak hanya berdampak buruk bagi individu korban, perusahaan pun akan merasakan kerugian akibat adanya perundungan di tempat kerja. Dalam berbagai studi ditemukan level ketidakhadiran yang lebih tinggi pada pegawai korban perundungan. Ini tentunya menghambat performa perusahaan, terlebih yang kecil dan menengah mengingat kehadiran satu orang saja berpengaruh sekali terhadap kinerja tim. Dalam sebuah riset yang dimuat di Frontiers in Psychology (2016), disebutkan perusahaan bisa mengalami kerugian lain berupa pengunduran diri karyawan. Ini merupakan biaya besar yang mesti ditanggung perusahaan karena tidak mudah untuk mencari pegawai pengganti dan melatihnya kembali supaya memiliki kemampuan sepadan dengan pegawai korban perundungan di tempat kerja yang resign.    

Baca juga: Pelajaran dari ‘Buffy the Vampire Slayer’ Soal Lingkungan Kerja Toksik

Sementara, Investopedia bilang, pada sejumlah kasus, pihak perusahaan bisa berhadapan dengan tuntutan hukum bila membiarkan perundungan terjadi di tempatnya. Selain itu, korban juga bisa menuntut pembiayaan rehabilitasi fisik atau psikis yang mesti dijalaninya mengingat masalah kesehatan yang ia alami muncul dari tempat kerja. 

Lebih buruk lagi, pada era media sosial seperti sekarang, sangat mudah reputasi perusahaan hancur karena seseorang mengadukan masalah terkait tempat kerjanya. Dari kasus perundungan di KPI kemarin misalnya, makin banyak warganet yang antipati terhadap institusi tersebut, dan mengaitkan kejadian viral kemarin dengan “borok-borok” KPI terdahulu. Hilangnya legitimasi dari masyarakat bisa berdampak kemudian terhadap penjualan atau kampanye yang dilakukan suatu perusahaan.

Bentuk-bentuk ‘Bullying’ di Tempat Kerja

Setelah mengetahui betapa seriusnya dampak perundungan di tempat kerja, kita perlu menyadari hal-hal apa saja yang termasuk perundungan. Selain siksaan fisik, ada hal-hal lain dalam keseharian di kantor yang masuk perundungan dan sering dianggap wajar. Berikut beberapa di antaranya.

  1. Julukan, cacian

Sebagian orang merasa jika dirinya dipanggil dengan sebutan “Gendut”, “Jelek”, atau “Monyet” itu hal yang biasa, bahkan di beberapa kasus dianggap sebagai candaan semata. Akan tetapi, julukan-julukan tersebut telah merendahkan seseorang dan masuk dalam pelecehan verbal. Begitu pula dengan cacian menggunakan bahasa binatang atau kata-kata umpatan, baik dari sesama kolega maupun bos-bos. 

  1. Fitnah

Sering kali hal ini terjadi saat seseorang hendak melaju sendiri dengan menjatuhkan pihak kompetitornya. Tidak jarang orang yang mendapat fitnah di kantor terkendala kerjanya karena terusik pandangan miring orang sekitar hingga kepercayaan dirinya merosot. Jika kamu mengalami ini, jangan ragu bersuara karena ini juga merupakan bentuk perundungan.

  1. Pengabaian

Jika kamu berada dalam satu tim kerja dan rekan-rekan mengabaikan eksistensimu atau pendapatmu, kamu bisa saja tengah menjadi korban perundungan, apalagi bila ini terus menerus berlangsung. Kamu tidak pernah tahu letak kesalahanmu di mana, tetapi rekan kerja mendiamkanmu. Bahkan buruknya, sekalipun kamu berkontribusi dalam suatu proyek, mereka mengabaikan kontribusimu itu. Ini jelas merugikan sekali karena atasan akan menganggap kamu sekadar numpang nama di suatu proyek dan tidak memperhatikan kualitas dirimu sesungguhnya.

Baca juga: Riset di Aceh: Trauma Perundungan dari SD Terbawa hingga Dewasa

  1. Membombardir dengan pekerjaan

Seperti disebutkan MS, dirinya sempat disuruh-suruh melakukan hal yang sebenarnya bukan pekerjaannya. Ibarat Nobita yang sering dijadikan kacung oleh Giant dan Suneo, ini juga situasi perundungan yang mesti kita sadari. Tak berarti senior atau atasan itu bisa sewenang-wenang membebani kita dengan pekerjaan di luar kesepakatan awal. 

  1. Mengancam

Dalam beberapa kasus, ada pegawai yang diancam tidak akan naik jabatan bila tidak melayani atasannya. Ada juga yang oleh koleganya diancam akan dilaporkan perbuatan buruknya yang tidak diketahui atasan bila ia tidak mau mengikuti kemauan si kolega. Hal ini penting disadari sebagai bagian dari perundungan dan harus disikapi dengan tegas. Saat pegawai merasa tidak aman, ia akan kesulitan bekerja dengan optimal dan ujungnya ia dan perusahaanlah yang merugi. 

  1.  Prank dan plonco

Sebagian orang merasa hal ini tidak bermasalah, tetapi sebenarnya prank dan plonco, terlebih yang sudah merendahkan seperti disuruh memakan hal yang sama sekali tidak pantas adalah hal serius yang tidak bisa ditoleransi. Apa pun alasannya, entah “tradisi”, sekadar bercanda, atau bagian dari usaha membuat pegawai baru jadi tahan banting, tidak ada yang mengeluarkan tindakan ini dari kategori perundungan.   

Apa yang Bisa Kita Lakukan?  

Dalam situs Australian Human Rights Commision, disebutkan beberapa hal yang bisa kita lakukan saat menjadi korban perundungan di tempat kerja. Di antaranya adalah mengecek apakah di kantor ada kebijakan khusus terkait perundungan, mendokumentasikan tiap peristiwa perundungan yang kita alami, dan mencoba menceritakan hal tersebut kepada orang-orang di tempat kerja, entah rekan yang dipercaya atau atasan supaya ada tindakan terhadap pelaku. 

Akan tetapi, mengadukan masalah ke atasan atau rekan kerja bisa menjadi pedang bermata dua juga. Dalam beberapa kasus, hal ini bisa dianggap sebagai upaya seseorang untuk menyabotase rekan kerjanya yang disebut sebagai pelaku. Seperti halnya dalam kasus kekerasan seksual, korban perundungan juga sering tidak dipercaya atau dianggap lebay, apalagi bila mereka berbicara tanpa membawa bukti. 

Jika situasinya demikian, jalan lain yang dapat ditempuh adalah mengadukan kasus ke layanan advokasi di luar perusahaan yang peduli isu kekerasan dan hak asasi manusia. Harapannya, layanan ini dapat membantu kita bila nanti kita memilih memproses secara hukum, mencari pendampingan psikologis, atau fasilitas perlindungan saksi dan korban.

Baca Juga: Stop Bullying: Langkah-langkah Cegah di Tempat Kerja

Selain mengadukan masalah ini, jalan lain yang bisa ditempuh adalah menghadapi langsung perundung. Memang tidak semua orang bisa melakukannya, tetapi hal ini perlu dilakukan supaya perundung tahu tindakannya itu salah dan merugikan kita. Ini juga kita lakukan untuk menunjukkan kita bukanlah orang pasif yang bisa selamanya ditindas sesuka hati perundung. 

Untuk yang ragu melakukan ini, ada strategi yang bisa kita lakukan. Dilansir Healthline, saat hendak mengonfrontasi perundung, kita bisa melibatkan saksi yang terpercaya seperti kolega atau supervisor. Mintalah perundung untuk berhenti menyakiti setenang mungkin, secara langsung dan sopan. Tentu kita tidak mau berlaku sama buruknya dengan perundung dengan balas mencaci maki atau melukainya secara fisik saat konfrontasi, bukan? 

Seiring dengan upaya-upaya itu, kita, dengan mengumpulkan kekuatan dukungan dari rekan-rekan kerja yang lain, juga bisa mendorong pihak perusahaan untuk membuat kebijakan atau standard operational procedure (SOP) terkait perundungan di kantor. Hal ini memuat bentuk-bentuk perundungan di tempat kerja dan sanksi apa yang menanti jika orang melakukannya. Tanpa adanya kebijakan tertulis, besar kemungkinan perundungan kembali terjadi dan dinormalisasi.

Read More