Balada Budak Korporat dan Solusi Lawas Jadi PNS

Bayangan saya soal profesi Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah pulang lebih cepat, izin jemput anak di jam makan siang, dan asyik main gim Solitaire di komputer Windows jadul. Meskipun dugaan saya cuma apriori karena mengamati segelintir tetangga saja yang jadi ambtenaar, tanpa mengalami langsung, tapi setidaknya kenikmatan beban kerja secuil ini tetap berlaku hingga sekarang. Tentu saja buat beberapa orang, karena ada juga PNS yang berdedikasi tinggi.

Saya mewawancarai teman saya, Putri Rahmawati (30) yang ngebet banget jadi PNS sejak ia masih di bangku Taman Kanak-Kanak (TK). Saya ingat betul, jawaban guru saat bertanya cita-cita di masa depan, ia menjawab dengan mantap, “Mau jadi PNS.” Sementara yang lain kebanyakan menjawab dengan template kanak-kanak yang jarang diraih ketika mereka dewasa: Pilot, dokter, polisi, astronaut.

Tak seperti teman yang lain, Putri termasuk yang setia pada cita-cita masa kecilnya. Saya sendiri sudah belasan kali berubah cita-cita, dari yang mulanya mau jadi manten zaman TK, dosen, ilmuwan, ahli Kimia, sampai akhirnya takdir saya mentok jadi jurnalis. Sementara, teman saya yang lahir dari keluarga PNS ini berjuang untuk menggolkan mimpinya hingga bertahun-tahun kemudian. Tentu saja ia tahu, influencer zaman sekarang bisa mendapat upah hingga Rp80 juta sekali mengunggah konten endorse di media sosial, ia juga tahu PNS di kebanyakan formasi digaji dengan ikhlas (Baca: Kecil. Red). Namun, ia teguh pendirian.

“Bukan cuma karena malu jika gagal jadi PNS. Dari yang gue lihat dari keluarga besar, hidup mereka rata-rata berkecukupan. Jika Surat Kerja (SK) sudah terbit, bisa disekolahkan untuk modal renovasi rumah, kuliahin anak, dan tentu saja beban kerjanya enggak bikin gue rentan kena penyakit gangguan mental,” ujarnya pada saya, (10/8).

Pendapat Putri ada benarnya jika mengacu pada artikel di Forbes India bertajuk Here’s why youth prefer government jobs over private jobs for building up career. Dalam artikel tersebut dinyatakan beberapa sebab mengapa profesi pegawai pemerintahan jadi magnet untuk anak muda sekali pun. Pertama, jam kerja PNS sudah dipatok secara tegas, dalam artian ketika ada kelebihan kerja, mereka akan diberikan upah lembur—sesuatu yang musykil didapatkan oleh gig workers, pekerja seni, atau jurnalis seperti saya yang cuma bisa kerja, kerja, kerja, tipes.

Baca juga: Jangan Sebut Kami Budak Korporat

Kedua, dari sisi keamanan kerja dan stabilitas, saya kira tak ada yang bisa mendebat kenapa profesi ini dianggap paling aman buat karyawannya. Apalagi di tengah kondisi yang tak bisa diprediksi seperti pandemi COVID-19, profesi ini takkan membuat kamu dipecat dengan alasan efisiensi cuan perusahaan atau karena bos enggak suka aja sama kamu tanpa alasan jelas.

Mari kita lihat angka yang timpang dengan jumlah pekerja di sektor privat Indonesia yang memecat nyaris 10 jeti pekerjanya. Melansir laman Badan Pusat Statistik per Agustus 2020, angka pengangguran meningkat 2,67 juta orang. Jika ditotal jumlah angkatan kerja di Indonesia yang menganggur menjadi sebesar 9,77 juta orang. Pagebluk ini sendiri telah menyebabkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) yang berhasil ditekan di angka 5,23 persen terkerek naik jadi 7,07 persen. Saya sendiri bukan korban pemecatan, tapi di perusahaan lama, gaji saya disunat hingga 50% dengan alasan perusahaan harus mengirit pengeluaran.

Ketiga, PNS—bahkan mereka yang digaji kecil sekalipun—relatif jarang khawatir soal keuangan. Pasalnya, ada pos-pos honor lain yang didapat di luar gaji pokok, ada tunjangan keluarga, tunjangan jabatan, pinjaman perumahan, perawatan anak, asuransi kesehatan, hingga tunjangan daerah. Ini belum termasuk keuntungan yang didapat ketika PNS pensiun dari pekerjaannya. Berbeda dengan para pegawai di sektor privat, pegawai pemerintahan tak perlu cemas menghidupi dirinya di masa tua karena bakal ajek menerima uang pensiun.

Putri, teman saya yang akhirnya berhasil menjadi PNS setelah dua kali kandas di tes masuk Calon PNS mengungkapkan, “Gaji gue di pemerintahan memang sedikit, apalagi sebelum diangkat, tapi ada saja ‘uang-uang gaib’ yang bikin rejeki gue enggak pernah surut.”

Contohnya, kata dia, uang perjalanan dinas. Ia pernah mengumpulkan kocek hingga melampaui gaji pokoknya lantaran diperintahkan untuk dinas ke luar kota hingga satu pekan.

Namun, yang paling jadi pertimbangan Putri adalah soal work life balance. Sebelum akhirnya berhasil diterima di kantor pemerintahan di Jawa Tengah, ia bekerja sebagai tenaga pemasaran di perusahaan finansial (consumer finance). Dalam seminggu, ia harus masuk enam hari, bekerja lembur tanpa bayaran tambahan, dipatok target-target yang enggak masuk akal, dan menjalani hari-hari panjang penuh tekanan.

Gue sampai turun berat badan 7 kilogram hanya karena bekerja di sini, bolak-balik diomelin atasan jika target tak tercapai di akhir bulan. Stres banget,” imbuhnya.

Perkara kesehatan mental dalam dunia kerja diungkapkan pula oleh teman saya lainnya, Erista (29). “Dulu, lulus perguruan tinggi, maunya sok-sok idealis kerja di bidang yang gue mau. Karena passion gue menulis, gue memilih jadi wartawan TV. Nyatanya, gue justru stres berat karena susah buat istirahat. Belum lagi problem stereotip pekerja TV yang dituntut untuk tampil cantik, pelecehan seksual verbal, dan lainnya. Berkali-kali balik ke rumah sakit dan psikiater karena kondisi mental gue. Saking parahnya, gue bisa sampai menstruasi hingga dua bulan lebih tanpa henti.”

Erista bercerita, menjadi wartawan sebenarnya menyenangkan. Namun, beban di media TV ia rasakan tak cukup memberi ruang baginya untuk menyeimbangkan kehidupan sosial. “Di profesi ini, gue ngrasain putus cinta dua kali karena gue yang terlalu sibuk,” tuturnya.

Ia mengenang pengalamannya diputus saat sedang ditugaskan meliput gempa di Palu-Donggala. “Mental breakdown banget, karena di tengah hectic kerjaan, kurang tidur, cowok gue justru memutuskan buat pisah. Habis gimana, gue juga enggak bisa kontrol kesibukan,” ucapnya.

Sama seperti Putri, Erista juga memutuskan untuk mendaftar jadi Calon PNS dan berhasil masuk. Profesi kewartawanan pun ia tinggalkan. “Setelah dewasa di mana kebutuhan makin nambah, gue jadi makin realistis, cuma orang-orang beruntung yang bisa bertahan, hidupin diri bahkan keluarga dari passion-nya. Selebihnya kayak gue, kalau enggak mengidap gangguan kesehatan mental ya diputus pas lagi sayang-sayangnya karena terlalu sibuk,” ungkapnya.

Baca juga: Mau Jadi PNS atau Pasangan Tentara/Polisi? Pikir Lagi Baik-baik

Antara PNS dan Karyawan Swasta

Beberapa waktu lalu di Twitter, tagar #budakkorporat sempat trending. Seperti memutar kaset rusak berulang-ulang, tagar ini mayoritas berisi cuitan betapa pekerjaan sebagai karyawan swasta bahkan freelancer tak cukup digunakan untuk menopang hidup di tengah pandemi. Gaji yang byar pet byar pet, kepastian dan keamanan kerja yang nihil, jadi pertimbangan mengapa orang-orang yang bekerja di sektor ini merasa perlu mengidentikkan dirinya sebagai budak korporat.

Budak korporat sendiri menjadi terma yang peyoratif akhir-akhir ini. Sebab, itu tak lagi merujuk pada prestise mendapatkan pekerjaan di perusahaan, tapi justru terasosiasi pada jam-jam kerja panjang tanpa ujung, honor yang tak seberapa, dan ketidakpastian karier. Budak korporat adalah mereka yang umumnya bekerja dari jam 9 pagi hingga pukul 5 sore, terkadang harus lembur, dan cepat diganti oleh karyawan baru ketika kita cabut karena sakit, punya gangguan kesehatan mental, atau mati. Sebuah pil pahit yang sayangnya harus ditelan begitu saja.

Anita Fanny (27), penulis konten di start-up media bercerita pada saya, ia harus bekerja hingga pukul 9 malam ketika tenggat tulisan belum terpenuhi. Hasilnya, penyakit maag sudah jadi sahabat karib, ujarnya. Sebagai informasi, perempuan asal Bogor itu ditargetkan menulis 10 artikel saban harinya, di mana 1 artikel terdiri atas minimal 500 kata. 

“Harus ambil pekerjaan ini karena enggak punya pilihan. Masih untung punya pekerjaan di masa pandemi saat temen-temen gue banyak yang jadi pengangguran,” terangnya, (10/8).

Nyatanya, prestise bekerja dari kantor besar di pusat kota Jakarta tak membuat ia bahagia menjadi pekerja swasta. Karena itulah, ia sepakat jika dilabeli sebagai budak korporat. Sesuai teori, perusahaan tempat bekerja ia juga memiliki turn over karyawan ekstra tinggi, sehingga Fanny pun harus berpikir berulang kali jika mau mundur dari pekerjaannya sekarang.

Masalah prestise dalam Survei Pusat Kajian Reformasi Administrasi 2017 yang dikutip Tirto, cukup penting ketika seseorang memutuskan untuk menjadi pekerja, termasuk pekerja pemerintahan. Persentase orang yang memilih bekerja jadi PNS karena faktor prestise mencapai 29,9 persen dan berada di urutan ketiga sebagai alasan terkuat mengapa memilih profesi PNS. Sementara, mereka yang memilih profesi ini karena jaminan hidup hanya 4 persen. Alasan terbesar ada pada job security yang mencapai 60 persen serta alasan gaji yang mencapai 54, 5 persen. Mereka yang memilih PNS sebagai suatu pengabdian bahkan hanya 9 persen. Sedangkan yang memilih profesi PNS sebagai passion hanya berjumlah 1 persen.


Lepas dari angka-angka itu, profesi PNS maupun pekerja swasta memang menjanjikan masing-masing keuntungan, pun kerugian. Apa saja jalan yang kamu pilih, setidaknya kamu berpegang pada koentji bahwa kebahagiaan dalam pekerjaan adalah nomor wahid. Jika kamu bahagia dengan menjadi PNS, jalani, sebaliknya jika mau jadi pekerja swasta karena perkawa idealisme dan tetek bengeknya, ya lanjutkan. Tak ada pilihan benar dan salah.

Read More