Azizah Assattari dan Persepsi terhadap Perempuan di Dunia Game
Jika ada anak yang sangat senang main game, mungkin orang tua jangan apriori dulu dan melarangnya. Karena kegilaan main game sampai mengurung diri di kamar ternyata telah mendorong Azizah Assattari untuk menciptakan game yang disukai sampai mancanegara, dan mendirikan perusahaan pengembang permainan.
Tak hanya itu, sebagai perempuan gamer dan game developer, Azizah Assattari juga telah berkontribusi dalam memberikan keragaman karakter perempuan dalam permainan. Karakter Suri dalam Ghost Parade, permainan keluaran Lentera Nusantara Studio yang didirikan Azizah adalah hasil riset Azizah mendalam dan memakan waktu lama.
“Nama panjangnya Suri Utari Dirgadewi, yang artinya reinkarnasi dewi kehidupan. Ada dua nama dewi di dalamnya, yaitu Dewi Sri dan Dewi Durga,” kata Azizah Assattari, dalam wawancara dengan podcast FTW Media.
“Suri Utari itu maksudnya Bhatari Sri, Dewi Sri. Dirgadewi itu Bhatari Durga. Soalnya dari hasil riset saya, sebenarnya Dewi Sri dan Dewi Durga itu satu orang. Jadi ketika dunia sudah memasuki fase Kaliyuga, istilahnya akhir era dunia manusia lah, seluruh kitab akan ditarik ke langit. Dan di situ lah dewi kehidupan dan dewi kematian terlahir kembali jadi satu orang—jadi manusia,” ujar perempuan berusia 32 tahun itu.
Makna di balik nama tersebut memang menggambarkan karakternya: Suri adalah anak SD berambut keriting dan berkulit gelap, yang berteman dengan manusia dan juga hantu yang menghuni hutan suaka. Sebagai karakter anak perempuan indigo, ia dicintai oleh yang hidup dan yang mati.
Ghost Parade menjadi game yang mendunia sejak dirilis tahun 2019. Berkat kepopulerannya di negara-negara Asia hingga Eropa, permainan ini diadaptasi ke dalam serial komik yang terbit Februari lalu.
Detail dalam karakter Suri mencerminkan pentingnya konsep dan gambaran perempuan di dunia game. Menurut Azizah Assattari, penggambaran karakter perempuan dalam game telah mengalami perkembangan pesat. Apabila dulu mereka sering terlalu diseksualisasi dengan lekukan tubuh dan pakaian terbuka, kini aspek itu telah berkurang; representasi perempuan pun lebih beragam.
Namun, itu tidak membuat pekerjaan Azizah Assattari lebih mudah. Masih banyak tuntutan untuk karakter perempuan agar jadi sesempurna mungkin, lebih dari karakter laki-lakinya.
Di luar layar game, perempuan pemain dan pencipta game pun masih mengalami seksisme dan pelecehan di ruang kerja. Hal ini menjadi tantangan besar bagi Azizah; tidak hanya dalam membuktikan dirinya sendiri, tetapi juga dalam membujuk perempuan lainnya untuk ikut berkarya di ranah multimedia. Berikut ringkasan perbincangan Azizah Assattari, yang berbasis di Bandung, dengan Redaktur Pelaksana Magdalene, Hera Diani.
Magdalene: Bisa diceritakan, apa yang mendorong Azizah untuk mendirikan Lentera Nusantara?
Aku kan dulu ngajar di bidang multimedia, games, animation, dan bergabung dalam riset juga, seperti dulu di Microsoft Innovation Center. Games itu memang my natural passion. Dari kecil memang sukanya main games, menonton animasi, dan bermimpi menciptakan dunia sendiri. Tapi masalahnya, ada titik di mana aku merasa bahwa Indonesia itu ada masanya kita tidak dianggap sama sekali, bahkan sebagai konsumen. Bahkan tahun 2011 pun belum.
Sebelumnya aku mengajar di ITB dan di Binus Internasional, bidangnya juga sama, media interaktif, game, teknologi, dan animasi. Keduanya adalah benchmark university di Indonesia. Tapi di situ pun ada titik aku enggak puas. Rasanya itu semua masih sebatas wacana. Setiap ada riset di lab, itu kayak produk yang belum sampai. Belum benar-benar produk jadi yang dimainkan banyak orang.
Lalu ada mahasiswaku, dia bukan dari kampus yang kayak gimana, itu salah satu kampus yang aku diminta untuk mengajar. Tapi he’s bright dan kita sama-sama suka main game. Dan pada satu titik dia bilang, “Ibu tuh pernah enggak sih sebenarnya bikin game? Yang beneran, kayak Ubisoft dan lain-lain.” Ya sudah kuajak dia kerja bareng bikin game setelah tugas akhirnya beres. Aku akhirnya keluar dari ranah akademis dengan membawa prototipeyang waktu itu sempat dibuat.
Itu tuh baru resmi jalan tahun 2015 akhir, dan kita baru mencoba. Kita brainstorming terus dan lihat mana game yang lebih cepat diserap market. Kita coba tes aja Ghost Parade, salah satu konsep game kita. Cara ngetes-nya harus dimainkan banyak orang. Kebetulan waktu itu ada pameran Anime Festival Asia di Singapura, jadi game-nya kita coding tiga hari sebelum berangkat. Nekat aja masukin ke Steam. Ternyata di Singapura booth kecil kita malah heboh dan ramai banget, padahal cuma 3×3. Orang yang main itu betul-betul sudah kayak mengantre sembako. Ada yang hari pertama datang sendiri, hari kedua bawa suaminya, dan hari ketiga bawa suami dan anak.
Apa yang menarik mereka sampai mengantre begitu? Apa daya tariknya?
Indonesian culture, that’s for sure!
Jadi Ghost Parade ini dibuat dengan konsep yang mewakili semua mitologi Indonesia dalam satu platform. Karakternya itu anak SD, yang mewakili anak Indonesia, dan dia punya kemampuan indigo. Mythical things kan Indonesia banget tuh. Dia juga bisa berteman dengan 101 hantu, yang semuanya menghuni hutan suaka dan wujud-wujudnya mewakili banyak budaya Indonesia.
Aku menjalani riset terhadap budaya Indonesia dan mitologi tuh sudah cukup lama. Supernatural beings, mythological things, ghosts… mereka itu sebenarnya representasi bagaimana manusia berpikir pada satu era. Nah, hantu-hantu itu mewakili fase trauma kemanusiaan yang dilewati satu era dan tidak terjawab. Jadi aku melihat, pantas Indonesia masalahnya banyak, lihat saja, hantunya banyak.
Baca juga: Pro Player Perempuan: Selain Jago, Harus Cantik
Banyak baggage ya, haha.
Iya, hantu tuh semacam sebuah ketakutan, tabu, trauma yang tidak terjawab.
Jadi dengan game ini, I want to heal my country first. I want them to be proud of their culture. Karena setiap hantu itu menampilkan entitas budayanya, entah itu dari bagaimana cara dia mati, visualnya, namanya, eranya, kapan dia muncul. Ketika kita sudah berhasil membuat hantu itu lucu dan menertawakannya, itu kita sudah bisa menertawakan ketakutan kita. Dan kita akhirnya belajar mengenal satu sama lain. Kan itu prinsip negara kita: Bhinneka Tunggal Ika.
Sebenarnya kalau kita duduk di kelas dan sebelah kita kulitnya putih, gelap, rambutnya ikal lurus, dan sebagainya, itu harusnya biasa saja. Tapi di dunia kita, keberagaman budaya malah menjadi salah satu masalah terbesar saat ini. Dan di sini yang jadi korban, sama seperti saat aku meneliti tentang hantu di seluruh dunia, adalah perempuan. Hantu pun yang paling banyak adalah perempuan.
Read More