Dewi Sartika

Dewi Sartika, Pahlawan Nasional yang Suarakan Isu Buruh Perempuan

Lahir di Cicalengka, Jawa Barat, pada 4 Desember 1884, Raden Dewi Sartika dikenal sebagai tokoh emansipasi dan perintis pendidikan bagi kaum perempuan. Atas jasanya tersebut, pada 1966 (hampir dua dasawarsa setelah mangkatnya pada 1947) ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Ia adalah salah satu dari 15 perempuan yang diangkat sebagai Pahlawan Nasional (sementara di kategori tersebut sudah ada 176 laki-laki yang diakui).

Di dalam berbagai buku teks pelajaran masa kini, kisah hidupnya digariskan sebagai tokoh pendidikan. Memang, ia telah berjasa dengan mendirikan Sekolah Isteri/ Sekolah Kautamaan Isteri di Bandung pada 1904, yang kemudian tersebar di banyak tempat hingga pada 1912 sudah ada sembilan sekolah. Di kemudian hari, sekolah ini dikenal sebagai sekolah Dewi Sartika.

Namun, ada beberapa segi dari pemikiran dan tindakannya yang masih belum banyak kita kenal. Salah satu yang utama adalah pengamatannya tentang buruh perempuan.

Pahlawan Perempuan yang Sadar Isu Ekonomi Politik

Pada 1914, pemerintah kolonial Hindia Belanda menyusun laporan umum tentang kedudukan perempuan di tanah jajahan. Hal ini adalah bagian dari Politik Etis yang dilancarkan sejak 1901.

Laporan tersebut memuat pendapat dari sembilan perempuan yang dianggap terdidik, yakni Raden Ajoe Soerio Hadikoesoemo (Raden Ajeng Sunarti, adik Kartini), Raden Ajoe Ario Sosrio Soegianto, Oemi Kalsoem (istri Mas Soepardi), Raden Adjeng Karlina, Raden Adjeng Amirati (putri Pangeran Adipati Ario Paku Alam VI), Raden Adjeng Martini (putri Raden Mas Singowigoeno, Bupati Lumajang), Nyonya Djarisah (seorang bidan di Bandung), Raden Dewi Sartika, dan Raden Ajoe Siti Soendari.  

Baca juga: 10 Nama Pahlawan Perempuan Indonesia yang Harus Kalian Ketahui

Masalah yang mereka bahas umumnya terkait tentang poligami dan pernikahan anak. Ini membuktikan bahwa kedua masalah tersebut memang sudah lama jadi perhatian dan keprihatinan kaum perempuan (hingga hari ini juga).

Berbeda dari delapan perempuan lainnya, Dewi Sartika tidak hanya membahas kedua masalah tersebut saja. Ia juga menyatakan pendapatnya tentang kondisi buruh perempuan pada masa itu. Dewi Sartika menjadi satu-satunya tokoh yang berani menyuarakan isu buruh perempuan.

Ukuran perempuan terdidik pada masa itu adalah bisa baca-tulis dan menuangkan pikirannya dalam bahasa Belanda (seperti Kartini). Namun, Dewi Sartika melampaui itu: Ia sadar isu ekonomi politik tanah jajahan.

Dewi Sartika tampak mengerti betul perubahan ekonomi politik masa itu. Ia paham ada kekuatan besar yang mendorong perubahan di tanah jajahan. Bukan hanya Politik Etis yang digaung-gaungkan membawa “terang di tanah jajahan”, tetapi juga kekuatan modal yang menggerakkan sendi-sendi kehidupan dari hierarki tertinggi hingga terendah di Hindia Belanda.

Pada dasawarsa pertama abad ke-20, setelah berakhirnya masa tanam paksa, keran ekonomi tanah jajahan dibuka sehingga mulai masuk sistem ekonomi bebas. Modal-modal asing masuk dalam bentuk pabrik dan perkebunan swasta. Mereka membutuhkan banyak buruh.

Baca Juga: 10 Nama Pahlawan Perempuan Indonesia yang Harus Kalian Ketahui

Berbeda dari sistem tanam paksa yang tidak mengenal pengupahan, dalam sistem ekonomi bebas ini, buruh memperoleh upah. Banyak petani laki-laki yang kehilangan tanahnya mulai bekerja sebagai buruh dengan upah seadanya. Pabrik dan perkebunan membutuhkan banyak buruh sehingga perempuan mulai diperkerjakan sebagai buruh upahan.

Tiga Isu Utama Buruh Perempuan Masa Kolonial

Berdasarkan pemahaman ekonomi politiknya, ada tiga hal utama yang diangkat Dewi Sartika dalam menyuarakan isu buruh perempuan. Pertama, soal kesenjangan upah. Buruh perempuan tidak memperoleh upah yang sama seperti buruh laki-laki, meski melakukan pekerjaan yang sama. Sebagaimana dikatakannya:

Hendaknya janganlah dilupakan perempuan kita dari ‘golongan jelata’ yang tidak memperoleh pelatihan ketrampilan, dan yang mesti mencari sesuap nasi dengan bekerja sebagai buruh di banyak pabrik dan perkebunan. Sebagai seorang perempuan, hati saya rasanya tersayat, bahwa para perempuan tersebut, meskipun melakukan pekerjaan yang sama seperti buruh laki-laki, yang juga tidak memperoleh pelatihan ketrampilan, ternyata menerima upah yang lebih sedikit daripada buruh laki-laki.  

Pengamatan Dewi Sartika tentang kesenjangan upah buruh perempuan sungguh jitu. Hal ini baru teratasi lewat hukum setelah pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi ILO No. 100 (1951) tentang Upah Setara, atas desakan Gerwani pada 1958. Meski demikian, sampai sekarang kesenjangan upah masih dialami buruh perempuan di semua sektor lapangan kerja.  

Kedua, soal hak cuti hamil. Buruh perempuan pada masa itu tidak memperoleh hak cuti hamil. Jika sakit, sekalipun karena usai melahirkan, buruh perempuan mesti kembali kerja seperti semula. Menurut Dewi Sartika:

Tampaknya sampai sekarang tidak pernah diperhatikan bahwa sesudah melahirkan diperlukan waktu istirahat, buruh perempuan juga harus hidup, sehingga berdasarkan keadilan adalah wajar ia memperoleh tunjangan keuangan selama waktu istirahat tersebut yang sekurang-kurangnya tiga puluh hari.

Bagi kita yang hidup di abad ke-21 ini, hak cuti hamil sudah dianggap lumrah dan merupakan bagian dari hak-hak reproduksi sebagai perempuan. Kiranya Dewi Sartika adalah orang pertama yang mengangkat wacana tersebut–dan bahkan, menyatakan bahwa buruh perempuan harus tetap “memperoleh tunjangan keuangan” selama cuti hamil, tak terkecuali.  

Baca juga: 4 Pahlawan Perempuan dari Jawa Barat adalah Tokoh Feminisme

Ketiga, soal perlakuan yang tidak adil di tempat kerja. Pada masa itu, perempuan mengalami perlakuan tidak adil tidak hanya di rumah atau ranah privat, tetapi juga di lapangan kehidupan sosial, terlebih bagi mereka yang bekerja. Dewi Sartika berpendapat,

Sebagai perempuan yang sehat jasmaniah bekerja di pabrik dan perkebunan, mereka menerima upah yang rendah, kemungkinan akan hilang pekerjaannya tersebut karena mengalami sakit alamiah seperti saat melahirkan dan lain sebagainya, dan juga tidak diperlakukan adil seperti buruh laki-laki, meski melakukan pekerjaan yang sama – itu semua tidak akan menjadikan mereka tertarik untuk membanting tulang sebagai buruh di pabrik dan perkebunan lebih lanjut.  

Buruh perempuan yang bekerja di pabrik dan perkebunan kerap diperlakukan tidak adil di tempat kerja. Menjadi buruh upahan justru tidak serta-merta membebaskan perempuan seperti yang dijanjikan oleh kaum liberal terdidik Belanda. Malah, buruh perempuan mengorbankan kesehatan jasmaninya.

Karena itu, menurut Dewi Sartika, perempuan perlu mendapatkan pelatihan keterampilan agar bisa berkarya bebas menjadi dirinya sendiri. Inilah dasar mengapa ia mendirikan sekolah bagi kaum perempuan.  

Dewi Sartika Kritisi Patriarki dan Kapitalisme

Tiga masalah utama yang disebut oleh Dewi Sartika dalam menyuarakan isu buruh perempuan pada masa itu memang, sayangnya, masih tetap menjadi masalah utama bagi kita yang hidup seratus tahun kemudian. Ini bukti bahwa masalah-masalah tersebut adalah masalah ekonomi politik dalam kapitalisme, baik dalam sistem kolonialisme maupun dalam sistem globalisasi masa kini. Pengamatan Dewi Sartika sudah sangat tajam, dan ini bisa menjadi dasar pengamatan bagi kita juga di masa kini.

Kartini boleh jadi dianggap mewakili suara perempuan yang tertindas budaya patriarki pada masanya, tapi Dewi Sartika lebih mengerti suara perempuan yang tertindas dalam budaya patriarki dan sekaligus kapitalisme dalam sistem kolonialisme pada awal abad ke-20.

Baca Juga: Cerita Perjuangan Martha Christina Tiahahu Pahlawan dari Tanah Maluku

Kartini bisa dibilang feminis pertama dari tanah Jawa, tapi Dewi Sartika lebih punya perspektif ekonomi politik soal peran gender perempuan, dan paham masalah-masalah konkret buruh perempuan. Boleh jadi, kiprah Dewi Sartika ini diperkecil dalam sejarah kolonial (dan juga sejarah Orde Baru) karena kesadarannya akan isu ekonomi politik ini, dan sebagian menganggap pemikirannya lebih “berbahaya” daripada pemikiran Kartini.

Sudah saatnya kita perlu melihat kiprah Dewi Sartika dalam terang sejarah yang lebih mendalam.  Ia adalah yang pertama dan menjadi pelopor bagi kita untuk lebih kritis menyoroti masalah ekonomi politik yang bersinggungan dengan kehidupan perempuan.

Jafar Suryomenggolo adalah penerima LITRI Translation Grant 2018 atas terjemahan beberapa cerpen karya buruh migran dalam kumcer At A Moment’s Notice (NIAS Press, 2019). Saat ini ia bermukim di Paris, Perancis.

Read More