Sejak saya berada di bangku Sekolah Menengah Pertama, ibu saya selalu berkata, sebagai perempuan, saya harus rajin belajar dan bersekolah setinggi mungkin. Di matanya, pendidikan tinggi penting bagi perempuan agar ia menjadi sosok yang kuat dan mandiri. Berbekal hal tersebut, seorang perempuan bisa mendapatkan pekerjaan yang baik dan tidak lagi bergantung pada laki-laki yang nanti kelak akan menjadi suaminya.
Mendengar hal itu saya lalu bertanya, mengapa perempuan mesti memiliki penghasilan sendiri. Ia pun dengan santai menjawab,
“Suatu hari, kalau amit-amit nanti pernikahanmu enggak berjalan dengan baik, kamu bisa lepas dari suamimu. Atau, kalau suamimu meninggal duluan, kamu enggak bakal ketakutan untuk menghidupi anak-anak kamu nanti.”
Benar juga apa kata ibu saya. Ia adalah salah satu perempuan yang rumah tangganya tidak berjalan dengan baik. Selama pernikahan, ibu saya yang mencari nafkah, sedangkan Ayah kerjanya cuma menyusahkan ibu saya. Dari situ, saya pun bercita-cita untuk menjadi perempuan kuat dan mandiri seperti ibu saya.
Saya membiasakan diri untuk melakukan semuanya sendiri. Ketika saya tengah menjalin hubungan romantis dengan laki-laki, saya selalu berkata pada mereka, saya lebih memilih untuk split bill ketika kami berkencan, atau bisa juga kami berganti-gantian membayari kencan. Namun, ada juga mantan saya yang kadang suka tersinggung dengan hal ini, dan memaksa untuk membayari. Aduh, memang susah sih, berhadapan dengan laki-laki yang memiliki maskulinitas rapuh seperti ini.
Dari salah satu contoh pengalaman itu, tersirat bahwa tidak semua orang bisa menerima pemikiran ibu dan saya tentang perempuan mandiri ini. Mereka menganggap, jika perempuan diberikan kesempatan untuk menjadi kuat dan mandiri, nantinya mereka akan ngelunjak. Sebagian masyarakat takut, nantinya bakal sedikit perempuan yang enggak mau menikah dan lebih memilih untuk fokus berkarier. Ketakutan seperti ini yang disertai pembatasan ruang gerak tentunya menghambat perkembangan diri perempuan di ranah publik. Padahal, itu adalah hak perempuan, seperti halnya dengan mengambil pilihan menjadi ibu rumah tangga penuh waktu.
Bagi kamu perempuan yang tengah menggapai mimpimu atau sedang galau dengan pilihan hidupmu, ingatlah bahwa semua keputusan ada di tanganmu, dan kamulah yang akan menjalani segala konsekuensinya. Tak peduli bagaimana pun orang sekitar menekanmu supaya tidak terlalu mandiri, kamu tetap sah-sah saja menjadi sosok seperti itu karena itu juga demi kebaikanmu.
Sebagai sesama perempuan, saya ingin sedikit berbagi tips bagaimana menempa diri agar semakin menjadi perempuan kuat dan mandiri. Berikut beberapa di antaranya.
1. Patahkan Segala Pandangan Soal Perempuan yang Menghambat Perkembangan Dirimu
Sedari kecil hingga dewasa, perempuan tumbuh besar dengan pandangan dan anjuran yang menghambat dirinya. Contohnya, perempuan itu pantasnya di rumah saja, perempuan tidak baik untuk menunda pernikahan, perempuan tak perlu sekolah tinggi, perempuan tidak boleh ambisius, dan lain sebagainya.
Walaupun sulit, sebagai seorang perempuan kita tidak boleh lelah untuk terus berjuang melawan pandangan dan anjuran tersebut. Bekali diri dengan pengetahuan tentang kesetaraan gender dan carilah teman-teman dan support system yang mendukungmu meraih mimpi.
2. Menjadi Perempuan Kuat Harus Kenali Apa Saja Kelemahanmu dan Temukan Cara Memperbaikinya
Untuk menjadi perempuan yang mandiri dan kuat, kamu juga perlu untuk melakukan refleksi, apa sih kelemahan-kelemahan dari diri kita. Ketika kita mengetahui apa saja kelemahan yang kita miliki, kita bisa mencari solusi untuk memperbaiki diri.
Kamu juga bisa bertanya loh, pada teman dekatmu atau orang-orang yang bisa melihat dirimu dengan objektif, untuk membantumu melakukan refleksi.
3. Kamu tidak Perlu Terus Menerus Bersikap Kuat
Walau kamu sedang dalam perjalanan untuk mandiri, tidak salah loh, kalau sewaktu-waktu kamu merasa lelah dan berhenti tampak kuat. Itu manusiawi sekali.
Kalau kamu sudah lelah secara fisik dan emosional, tapi tetap memaksakan untuk pura-pura kuat, kamu dan sekitar juga yang akan rugi nantinya. Tidak hanya buruk untuk kesehatan tubuh dan jiwamu, hal ini juga bisa berdampak negatif terhadap performa studi/kerja dan relasimu dengan orang sekitar.
Semua orang pantas untuk mendapat jeda istirahat, termasuk kamu. Perempuan yang kuat dan mandiri adalah perempuan yang tahu kapan waktunya ia istirahat dan kembali berjuang.
4. Menjadi Perempuan Kuat dan Mandiri dengan Terus Menantang Dirimu Sendiri
Jika kamu ingin menjadi perempuan yang kuat dan mandiri, cobalah untuk terus menantang dirimu sendiri. Ada kalanya, ketika kita keluar dari zona nyamanmu, kamu bakal dihadapkan dengan berbagai hal baru yang nantinya akan membantumu bertumbuh.
Memang sih, hal ini lebih sulit dilakukan ketimbang cuma jadi omongan saja, tetapi tidak ada salahnya untuk kamu coba, bukan?
5. Jangan Bergantung pada Orang Lain untuk Membahagiakan Dirimu
Jika kamu ingin menjadi perempuan kuat dan mandiri, hal utama yang perlu kamu ingat adalah jangan bergantung pada orang lain untuk membuatmu bahagia. Tidak kepada orang tua, pasangan, anak, teman, atau siapa pun. Yang bisa menentukan kebahagiaanmu adalah dirimu sendiri.
Bayangkan jika kamu bergantung pada orang atau hal lain, lantas dia pergi tanpa kamu duga? Kamu bisa saja merasa hidupmu tak berarti lagi. Padahal, kamu punya berbagai potensi untuk dikembangan dan masih ada beragam kesempatan yang menanti di depan. Bukankah itu semua terlalu sayang untuk disia-siakan hanya karena kita terpuruk lantaran terlalu bergantung pada orang lain?
6. Berbaikhatilah pada Dirimu Sendiri
Di satu sisi, memang kita perlu menantang diri sendiri supaya setahap demi setahap bisa merasakan kehidupan dan menjadi pribadi lebih baik. Namun, di sisi lain, kamu tetap perlu ingat untuk tidak terlalu keras pada dirimu dengan terus-terusan mengkritiknya, atau menampik apresiasi orang lain yang ditujukan kepadamu.
Ada kalanya juga karena melihat pencapaian seseorang, kita malah jadi berfokus pada hal itu dan menuntut diri kita agar bisa seperti orang tersebut. Padahal, setiap orang memiliki titik start dan proses yang berbeda-beda sehingga kapan mereka mencapai sesuatu pun tidak layak dipukul rata. Kalau memang temanmu sudah bisa mapan dan mandiri pada usia 25, sedangkan kamu yang sudah menginjak 30 saja belum bisa, tidak perlu berkecil hati. Toh hidup ini bukan semata-mata perlombaan yang mesti dimenangkan saja.