Sebulan setelah penyerangan di Gedung Capitol, anggota Kongres AS dari Partai Demokrat, Alexandria Ocasio-Cortez (AOC) membuat pengakuan bahwa dirinya merupakan penyintas kekerasan seksual. Hal itu disampaikannya 2 Februari lalu lewat Instagram Live tentang apa yang terjadi di Capitol dan disaksikan lebih dari 150 ribu penonton. Video tersebut disimpan dalam Instagram TV (IGTV) dan telah ditonton lebih dari 5 juta kali serta mendulang ribuan komentar.
“Saya adalah penyintas serangan seksual dan saya belum menceritakan soal ini ke banyak orang. Tetapi saat kita melalui suatu trauma, ia akan berkelindan dengan trauma-trauma lainnya,” kata Cortez.
Ia bercerita bahwa dalam serangan perusuh di Capitol 6 Januari silam, ia sempat bersembunyi di kamar mandi di dalam kantornya. Dari dalam situ, ia mendengar suara gebrakan pada tembok serta teriakan seseorang, “Di mana dia [Cortez]?”.
Rasa takut menyergap dirinya saat itu dan membangkitkan trauma akibat kekerasan seksual yang pernah dialaminya. Tak hanya itu, bagaimana orang-orang bereaksi terhadapnya, seperti meminta dia untuk segera melanjutkan hidup pasca-serangan tersebut, juga mengingatkannya pada pengalamannya dulu.
“Alasan saya mengatakannya dan menjadi emosional sekarang ini adalah karena orang-orang menyuruh kita untuk meneruskan hidup, menganggap hal ini bukan perkara besar, kita harus melupakan apa yang terjadi, atau bahkan menyuruh kita untuk meminta maaf. Ini adalah taktik sama yang dipakai pelaku kekerasan,” ujar politisi berdarah Puerto Rico ini.
Baca juga: Penyintas Kekerasan Seksual Pulih Bersama dalam ‘House of The Unsilenced’
Perempuan Pemimpin Tak Lepas dari Kejahatan Seksual
Cortez memang tidak mengisyaratkan kapan kekerasan seksual yang menimbulkan trauma mendalam itu dialaminya dan oleh pelaku di posisi apa. Namun, ia menambah panjang daftar perempuan anggota Kongres AS yang bersuara tentang hal tersebut.
Pada 2017, Vox membuat laporan tentang sejumlah anggota kongres perempuan AS yang pernah mengalami pelecehan seksual dari rekan kerjanya di Capitol. Mary Bono dari Partai Republik misalnya, mengaku pernah mendapat beberapa komentar sugestif secara seksual dari seorang anggota kongres laki-laki.
Dalam Vox dinyatakan, peristiwa pelecehan seksual yang sudah berkali-kali terjadi di Capitol ini dapat terjadi karena lingkungan kerja yang didominasi laki-laki. Pelecehan seksual lebih mungkin dialami perempuan yang baru bekerja di sana atau berada di level bawah karena mereka tidak punya posisi tawar tinggi untuk melawan.
Namun, sebuah penelitian yang dirilis pada 2020 oleh Swedish Institute for Social Research (SOFI), Stockholm University, yang melibatkan studi di AS, Jepang, dan Swedia, menemukan bahwa perempuan di posisi tinggi pun tidak lepas dari pelecehan seksual. Di sana dikatakan, perempuan supervisor mengalami sekitar 30-100 persen lebih banyak pelecehan seksual dibanding karyawan perempuan lain.
Perempuan di posisi tinggi tidak lepas dari pelecehan seksual. Perempuan supervisor mengalami sekitar 30-100 persen lebih banyak pelecehan seksual dibanding karyawan perempuan lain.
“Ada alasan-alasan logis mengapa ini terjadi: Seorang supervisor terpapar dua kelompok orang yang potensial jadi pelaku. Dia bisa dilecehkan baik oleh orang di posisi subordinatnya, maupun orang di level manajemen yang lebih tinggi di perusahaan,” kata Johanna Rickne, profesor ekonomi di SOFI.
Sementara itu, dari riset LeanIn.Org dan McKinsey di AS ditemukan bahwa 55 persen perempuan di posisi pemimpin senior mengalami pernah pelecehan seksual di tempat kerja. Hal itu mungkin terjadi karena mereka mendobrak norma gender tradisional yang menempatkan perempuan di bawah laki-laki dalam berkarier.
Akibat lingkungan kerja yang masih rawan pelecehan seksual, perempuan yang mau buka suara tentang itu harus mengambil risiko kehilangan kesempatan naik jabatan atau bahkan pekerjaan. Dalam penelitian Chloe Grace Hart, kandidat PhD bidang Sosiologi Stanford University yang dimuat di The Conversation, ditemukan bahwa para partisipan survei ragu untuk mempromosikan seorang perempuan apabila melaporkan pelecehan seksual di kantornya.
Lebih lanjut dalam penelitian tersebut dikatakan bahwa perempuan yang melaporkan pelecehan seksual di kantor sering dilihat tidak bermoral, penipu, atau terlalu sensitif. Ia juga dipandang membuat-buat cerita hanya untuk menyabotase rekan kerjanya atau bereaksi berlebihan terhadap sebuah “komentar ramah”.
Baca juga: Pelecehan Seksual di Industri Film dan Pentingnya Ruang Aman untuk Penyintas
Suara yang Menguatkan Penyintas Kekerasan Seksual
Suara Cortez dan berbagai perempuan berpengaruh lainnya, mulai dari pejabat publik, tokoh perempuan pemimpin, hingga selebritas, memiliki dampak besar terhadap para penyintas kekerasan seksual lain. Salah satu yang menyebabkan demikian adalah karena mereka memiliki banyak pengikut di media sosial. Semakin banyak orang terpapar, semakin mungkin kesadaran akan isu kekerasan seksual dan penyintas yang terdorong untuk berbicara bertambah.
Atas tindakan Cortez tersebut, banyak pihak mengapresiasinya karena dianggap memberi kekuatan bagi para penyintas lainnya, terlebih dari kalangan ras minoritas di AS.
“Banyak orang berjuang dan menderita dalam kesunyian, dan kadang ketika kamu melihat satu orang muncul dan terlihat di publik, itu memberikan kekuatan bagi yang lainnya,” ungkap Tarra Bates-Duford, perempuan kulit hitam yang juga seorang terapis dan pendiri Family Matters Counseling Group kepada The Lily.
Hal ini tecermin dari gerakan #MeToo yang diinisiasi Tarana Burke di AS pada 2006, dan diamplifikasi selebritas seperti Alyssa Milano pada 2017. Sejak hal itu disoroti media, banyak orang di mancanegara mulai dari pesohor sampai orang-orang biasa yang tidak ragu membuka hal yang masih dianggap aib oleh masyarakat, bahkan menuntut si pelaku.
Seiring dengan itu, makin banyak bermunculan ruang aman dan kelompok pendukung para penyintas yang membantu mereka berkumpul dengan sesama penyintas lainnya dan berusaha saling menguatkan, serta mencari keadilan atas peristiwa yang mereka alami.