Bagaimana caranya agar pemuka agama sadar bahwa ekologi merupakan suatu yang penting?
Membicarakan tentang kebersihan lingkungan, menjaga lingkungan itu seperti kita bernapas dengan kesadaran. Tarikan napas itu kita sadari, sangat disadari. Apalagi pemimpin, apalagi level ulama, kalau tidak disadari oleh mereka, rasa-rasanya harus dievaluasi. Mereka harus diingatkan dengan cara-cara sederhana, utamanya dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan konkret.
Hal-hal konkret ini yang jarang kita lakukan, padahal itu adalah bagian tanggung jawab sosial kita terhadap lingkungan. Misalnya saja pesantrenAth-Thariqketika bekerja, ketika melakukan pemulihan ekologi, tidak hanya berpikir untuk pesantrennya saja, tapi untuk lingkungan globalnya. Ini yang tidak banyak dimilik ulama, karena jarang sekali ulama yang punya perspektif pemulihan ekologi.
Contohnya begini, kami punya kebun dan di dalam kebun kami ada banyak sekali sarang ular, dan kami memelihara ular-ularnya itu. Ular-ular itu bermanfaat untuk mengendalikan perkembangbiakan tikus yang memakan padi, bukan hanya di tempat kami tapi juga di area sekitar kami. Jadi berpikirnya sampai situ.
Jadi bayangkan saja kita buang hajat gitu di sungai, itu secara tidak langsung akan memberikan dampak yang sangat kuat bagi lingkungan sekitarnya. Hal itu harus disadari dalam pemulihan ekologi tidak bisa sekonyong-konyong hadir begitu saja. Ini berdasarkan kesadaran. Bernapas aja kita sadar, masa membuang sampah tidak sadar, membuang hajat di mana saja tidak sadar.
Kenapa masih banyak ulamanya yang jauh dari perspektif pemulihan ekologi?
Sebenarnya pada umumnya, kembali lagi kepada sistem pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan Indonesia itu tidak berbasis lingkungan, tapi berbasis kapitalis atau keuntungan. Contohnya, sekolah kita itu dari mulai SD-SMA bukan untuk menyelamatkan lingkungan, semua kurikulumnya bukan untuk itu. Kalaupun ada, hanya sedikit sekali sekolah yang menerapkan kesadaran akan lingkungan.
Sekolah-sekolah kita itu ada untuk membuat orang menjadi pekerja, untuk membuat orang mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, untuk membuat orang menjadi pergi dari desa, pergi ke kota, untuk mencari pekerjaan. Anak-anak desa yang pintar, sekolah di kota, kuliah di kota, mereka bukan berusaha untuk mengembangkan desanya sekembalinya bersekolah. Tapi, mereka pergi ke kota untuk mencari pekerjaan yang layak, paling tidak menjadi karyawan-karyawan bank, menjadi buruh-buruh pabrik, jadi itu masalahnya.
Itu sistem pendidikannya, bukan ulamanya. Sistem pendidikannya yang tidak menjunjung tinggi kearifan lokal, peduli terhadap perbaikan lingkungan dan menjaga budaya-budaya positif. Di dunia pendidikan, itu dihilangkan. Semua berorientasi pada uang, makanya hal-hal itu tidak terjadi di lingkungan banyak pesantren.
Bayangkan, ketika pesantren besar mendidik anak-anaknya menjadi penghafal Al-Quran, 24 jam menghafal Al-Quran, dan mereka difasilitasi makannya, minumnya, kamarnya, laundry-nya, lantas apa yang terjadi? Anak-anak tidak bisa mencuci piring. Ketika pulang ke rumah, ibunya repot, karena mereka tidak dibiasakan mengerjakan hal-hal rumah tangga. Jangankan mencuci baju, menjemur pakaian saja enggak bisa, kemandiriannya tidak ada.
Memang pesantren Ath-Thariq ini didirikan sebagai lembaga kritik dan autokritik terhadap lembaga pesantren yang ada. Anak-anak di sini diajarkan kemandirian, cuci piring sampai makan pun diurus bersama-sama, diambil dari kebun sendiri, agar mampu mandiri, agar mampu mencari jawabannya.